Perzinahan Berujung Pernikahan Di Sistem Kapitalisme


Oleh : Diah Setyarini (Aktivis Muslimah)

Membicarakan tentang pernikahan dini itu tidak akan pernah ada habisnya. Meskipun data prevalensi perkawinan anak Indonesia menunjukan penurunan pertahun, nyatanya angka pernikahan dini naik di setiap tahunnya. Diperlukan pengarahan yang sistematis untuk menekan angka perkawinan anak di bawah umur.

Pada tahun 2023 Kementrian Agama (Kemenag) mencatat ada sekitar 156 Pasangan di bawah umur mengajukan pernikahan atau nikah dini di Kabupaten Pangandaran. Pengajuan pernikahan di lakukan karena hubungan atau gaya pacaran mereka sudah kebablasan, sampai ada yang hamil di luar pernikahan.

Ujang Sutaryat sebagai Kepala Seksi Bimbingan Masyarakat Islam di Kemenag Pangandaran mengatakan bahwa, usia mereka rata-rata di bawah 19 tahun. "Makanya mereka yang mau menikah di bawah usia 19 tahun harus mengajukan dispensasi, agar mereka bisa melangsungkan pernikahan." Kata Ujang.  

Sebelumnya calon pengantin laki-laki dan perempuan terlebih dahulu harus mengajukan permohonan nikah di KUA, lalu KUA menerbitkan penolakan. "Setelah terbit penolakan dari KUA kemudian diajukan ke Pengadilan Agama untuk mendapatkan dispensasi. Setelah itu baru bisa di lakukan perkawinan." Tambah Ujang 

Dalam proses ini Ujang mengatakan bahwa pihaknya harus mengkaji terlebih dahulu terkait kasusnya. Namun proses dispensasi nikah di bawah usia 19 tahun tersebut minimal  1 bulan dan maksimal 3 bulan, baru bisa di lakukan perkawinan. detikJabar, Kamis (16/05/2024)

Akar permasalahan terjadinya pernikahan dini itu sangat kompleks, salah satunya adalah pemahaman pergaulan bebas dengan lawan jenis. Tidak adanya aturan yang membatasi mereka sehingga memberikan peluang kepada mereka untuk bebas berekspresi.

Karena tidak adanya aturan yang jelas maka semakin memuluskan mereka untuk melakukan seks bebas (liberalisasi seks). Anak-anak tidak bisa menahan hawa nafsunya hingga terjadi kehamilan di luar pernikahan. Kalaupun mereka menikah, mereka belum siap. Di tambah adanya batasan usia yang sudah di tentukan oleh negara untuk melangsungkan pernikahan. Laki-laki 25 tahun dan perempuan 20 tahun baru mereka bisa menikah.

Selain paham kebebasan (liberalisasi), pendidikan di sekolah hanya tentang ilmu yang berorientasi pada materi saja dan bukan pendidikan agama yang benar. Sehingga berpengaruh pada intelektual mereka. Mereka tidak memiliki standar yang jelas untuk membedakan mana yang benar dan salah. Mereka cenderung hanya mengikuti hawa nafsu.

Penerapan sistem Kapitalisme yang memberikan kebebasan berprilaku kepada setiap manusia. Agama hanya digunakan ketika mereka melakukan kegiatan ibadah ritual saja. Sedangkan, ketika berhubungan dengan hal yang lain mereka menggunakan aturan manusia. Padahal, manusia itu memiliki nafsu yang tidak bisa dibendung, kecuali dengan kekuatan akidah yang benar. Kapitalisme juga melahirkan materialisme yang berpangku pada kepuasan materi saja. 

Agar setiap keluarga, termasuk keluarga muda bisa mencapai keluarga sakinah, mawadah, dan rahmah, maka semestinya tidak perlu terus-menerus mempermasalahkan pernikahan dini dan membatasi usia nikah. Justru yang harus diperhatikan adalah pertama, kurikulum di sekolah dan pendidikan keluarga harus mampu menyiapkan anak yang sudah balig agar mampu menanggung taklif hukum yang menjadi tanggung jawabnya.

Dalam Islam, tidak ada batasan umur pernikahan. Artinya, berapa pun usia calon suami istri, tidak menghalangi sahnya pernikahan, bahkan usia belum balig sekalipun. Di dalam ilmu fikih, balig—jika dikaitkan dengan ukuran usia—adalah berkisar 15 tahun (laki-laki) dan 9 tahun (perempuan). Tidak tercapainya keluarga sakinah, mawadah, dan rahmah bukan karena umur mereka yang masih dini, melainkan karena mereka tidak disiapkan secara matang untuk memasuki pernikahan.

Dengan demikian, pemerintah wajib menyiapkan kematangan anak agar siap menikah, bahkan seharusnya memberi kemudahan menikah.

Kedua, Berkaitan dengan sistem pergaulan laki-laki dan perempuan, ajaran Islam mewajibkan menutup aurat, melarang khalwat, melarang komunikasi yang tidak ada kebutuhan syar’i antara keduanya, juga mewajibkan untuk menundukkan pandangan, atau dengan kata lain melarang pacaran dan pergaulan bebas. (Taqiyuddin an-Nabhani, Nizham Ijtima’i fil Islam).

Sungguh, pergaulan bebas adalah fenomena gunung es yang sangat mengkhawatirkan. Jika tidak segera dihentikan, berarti negeri ini mengundang azab Allah.

Rasulullah saw. bersabda,
إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِيْ قَرْيَةٍ، فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ
“Jika zina dan riba sudah menyebar di suatu negeri, sesungguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah atas diri mereka sendiri.” (HR Al-Hakim, Al-Baihaqi, dan Ath-Thabrani).

Islam tegas mengharamkan pergaulan bebas, perzinaan, dan hal-hal yang mendekati zina. Allah berfirman dalam QS Al-Isra: 32,
وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلاً
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”

Ketiga, sanksi bagi para penzina. Pelaku zina layak mendapat hukuman berupa hukum cambuk 100 kali (bagi yang belum pernah menikah) (QS an-Nur: 2) dan diasingkan selama setahun (HR al-Bukhari).  Pezina yang sudah menikah dikenai hukum rajam (dilempari dengan batu) sampai mati. Dan sanksi bagi orang yang memfasilitasi perzinahan adalah penjara 5 tahun dan hukum cambuk.

Demikian solusi yang harus kita lakukan. Tidak ada jalan lain menyelamatkan negeri ini, kecuali kembali merujuk pada penerapan syariat Islam kafah agar negeri ini berkah, masyarakat sejahtera, dan bahagia dunia akhirat. Wallahua'lam Bissawab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar