Nasib Dosen: Islam vs Kapitalisme


Oleh : Sherly Agustina, M.Ag. (Penulis dan Pemerhati Kebijakan Publik)

"Ada kesenjangan yang signifikan pada kebijakan upah dosen di Indonesia. Masalah ini muncul akibat dari kebijakan negara terkait keuangan, pendidikan yang masih belum optimal, dan tuntutan ekonomi. Dulu, lulusan terbaik itu biasanya menjadi dosen, sekarang lebih memilih bekerja di bidang lain yang tunjangan atau gajinya lebih baik. Dulu, orientasi pekerjaan itu diploma, sedangkan pengembangan ilmu sarjana sampai doktor. Saat ini berubah, semua kaitannya dengan pekerjaan." (Pakar Kebijakan Publik Universitas Airlangga (Unair), Gitadi Tegas Supramudyo)

Mayoritas dosen menerima gaji bersih kurang dari Rp3 juta pada kuartal pertama 2023, termasuk dosen yang telah mengabdi selama lebih dari enam tahun. Hal ini diungkap dari hasil penelitian Serikat Pekerja Kampus atau SPK. Dari 76 responden atau dosen harus mengambil pekerjaan sampingan karena rendahnya gaji dosen. Pekerjaan tersebut tentu membuat tugas utama mereka sebagai dosen menjadi terhambat dan berpotensi menurunkan kualitas pendidikan. 

Adapun dosen swasta jauh lebih rentan terhadap gaji rendah. Peluangnya tujuh kali lebih tinggi untuk menerima gaji bersih kurang dari Rp 2 juta. Sebanyak 61 persen responden merasa kompensasi mereka tidak sejalan dengan beban kerja dan kualifikasi mereka. (Tempo.co, 01-05-2024)

Viral di jagad maya, sejumlah dosen mengungkapkan gaji mereka yang masih di bawah Upah Minimun Regional (UMR) disertai tagar #JanganJadiDosen. Pengamat pendidikan mengatakan, gaji dosen rendah berdampak buruk pada kualitas pendidikan di perguruan tinggi. Lalu, sejumlah dosen lain pun ikut membagikan slip gaji mereka dengan tagar #JanganJadiDosen yang sudah digunakan lebih dari 7.000 kali. Mirisnya, seorang dosen dari universitas swasta hanya menerima gaji Rp1,2juta setelah potongan. 

Sebanyak 42,9% dosen menerima gaji yang masih di bawah Rp3juta per bulan. Data ini hasil survei tim riset kesejahteraan dosen dari Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) yang melibatkan 1.200 dosen dari berbagai institusi. Padahal, sebagian besar harus mengeluarkan biaya hidup sebesar Rp3-10 juta per bulan. Bahkan, sekitar 12,2% memiliki pengeluaran bulanannya lebih dari Rp 10 juta. (BBC.com, 25-02-2024)


Dosen dalam Kapitalisme 

Koordinator KIKA, Satria Unggul Wicaksana, menyatakan banyak masyarakat yang memiliki persepsi bahwa dosen di Indonesia memiliki kondisi sosial-masyarakat yang cukup baik. Padahal, realitanya masih banyak yang menerima pendapatan yang tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Karena ketika gaji dosen di bawah UMR pasti dosen mencari proyek di luar dan lainnya. Sehingga dosen tidak fokus dalam menjalankan tugasnya mengajar dan mendidik mahasiswa yang akhirnya berdampak buruk pada kualitas pendidikan tinggi.

Fenomena ini sepertinya biasa terjadi di negeri ini, belum selesai masalah honor para honorer dengan status PPPK yang masih jauh dari harapan. Dosen pun memiliki nasib yang sama, terkatung-terkatung mendapat upah yang setimpal dengan perjuangan dan kehormatannya dengan profesi yang mulia. Tentu menjadi pertanyaan, mengapa fenomena ini terjadi di negeri yang sebenarnya kaya akan sumber daya alam?

Nyatanya, anggaran pendidikan yang dirancang oleh pemerintah tak mampu memenuhi hak yang layak bagi para guru dan dosen. Apabila alasannya karena tak ada uang, lalu ke mana hasil sumber daya alam yang begitu melimpah dan pemasukan dari pajak yang menjadi sumber pendapatan utama negara?


Sumber Pendapatan Negara, Ke Mana?

Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan, sektor migas di tahun 2023  menyumbang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) SDA mencapai Rp117 triliun, melebihi dari target yang dipatok yaitu Rp103,6 triliun. Ditambah dengan setoran penerimaan dari BLU Migas yang ditargetkan sebesar Rp150 miliar, tetapi berhasil terlampaui jauh di angka Rp230,4 miliar. Selain itu, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati realisasi penerimaan pajak pada tahun 2023 mencapai Rp1.869,2 triliun, melampaui target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 yang sebesar Rp1.718,0 triliun. Apakah dari pemasukan ini, tidak masuk anggaran gaji dosen yang layak? 

Ada tata kelola keuangan dan sumber daya alam yang kurang tepat, karena semestinya dari melimpahnya SDA mampu memberi gaji yang layak bagi para dosen dan guru. Bahkan, lebih dari itu bisa menyejahterakan mereka. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa SDA negeri ini tak dimiliki sepenuhnya oleh negara. Akan tetapi, asing dan aseng banyak menguasai aset negara di antaranya sumber daya alam. Sebut saja PT Freeport di Papua, sudah 51 tahun berkuasa di Papua. 

Belum lagi sumber daya alam yang lainnya, seperti batu bara dan nikel. Privatisasi telah merusak kepemilikan, yang seharusnya dimiliki bersama rakyat bisa menikmatinya dengan gratis dan mudah. Dalam sistem kapitalisme, sumber daya alam dimiliki oleh para oligarki. Jika terus seperti ini, maka berharap kesejahteraan bagi pada guru, dosen, dan seluruh rakyat Indonesia bagai pungguk merindukan bulan. Sesuatu yang mustahil terwujud, hanya bermimpi dan berangan-angan tanpa pernah terwujud secara pasti. 


Dosen dalam Islam

Apabila ingin merubah semua ini, harus ada political will dari semua elemen untuk berubah. Terutama pemerintah yang memiliki wewenang memegang kebijakan. Apakah tetap memakai sistem yang dianut saat ini? Atau segera kembali pada aturan Allah yang jelas menjamin kesejahteraan? Terlihat dari bukti sejarah penerapan Islam dengan adanya peradaban Islam yang cemerlang. 

Islam sangat menghargai para ahli ilmu (dosen/guru), posisi guru sangat dimuliakan seperti yang disampaikan oleh Fudhail bin ‘Iyadh:  “Orang alim yang mengajar dijuluki sebagai ‘orang besar’ (kabir) di kerajaan langit.” (Imam Ibnu Jama’ah, Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, [Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 2013], halaman 22).  

Dalam kitab An-Nafaqat wa Idaratuha fid Daulatil Abbasiyyah, Dr Rudhaifullah Yahya Az-Zahrani memberikan perincian yang menarik terkait besaran gaji para pengajar kala itu.  Di masa Umar bin Al Khathab, beliau memberikan gaji rutin kepada warga yang mau menghapal dan mempelajari Al-Qur’an.  Pada masa Daulah Umawiyyah, Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga mengambil kebijakan yang sangat menghargai aktivitas belajar-mengajar. Ketika itu beliau mengundang ulama-ulama untuk mengajari anak-anak suku Arab pedalaman tentang persoalan agama dan memberikan mereka gaji rutin. (Rudhaifullah Yahya Az-Zahrani, An-Nafaqat wa Idaratuha fid Daulatil Abbasiyyah, [Az-Zarqa, Maktabatul Manar: 1982], halaman 356). (nu.or.id)


Gaji yang Fantastis  

Di masa Daulah Abbasiyyah, khalifah memberikan gaji yang fantastis.  Gaji tersebut diberikan baik kepada para guru yang mendidik para putra khalifah maupun tenaga pengajar di masyarakat.  Beberapa ulama yang turut mengajar para putra khalifah adalah Imam Al-Kisa’i yang mengajar putra Harun Al-Rasyid. Sebagai upah awal, sang khalifah memberinya 10.000 dirham, seorang budak perempuan yang cantik serta kebutuhannya, beberapa pelayan, dan seekor kuda pembawa barang beserta peralatannya. 

Upah yang melimpah juga diberikan kepada Ibnu As-Sikkit yang mengajar putra-putra Khalifah Al-Mutawakkil. Beliau diberi upah mencapai 50.000 dinar di luar gaji rutin sepanjang hidup, tempat tinggal, makanan, dan hadiah-hadiah lainnya. Sebagai pengajar elite, upah sedemikian banyak mungkin  dirasa wajar, tetapi melimpahnya gaji juga diberikan kepada guru di luar istana.   Pada masa Harun Al-Rasyid, upah tahunan rata-rata untuk penghapal Al-Qur’an, penuntut ilmu, dan pendidik umum mencapai 2.000 dinar. Sementara periwayat hadits dan ahli fikih mendapatkan dua kali lipatnya, yaitu 4.000 dinar.  

Semakin tinggi otoritas keilmuan yang dimiliki, semakin tinggi pula upah yang diberikan. Imam Al-Waqidi, ulama ahli Al-Qur’an dan hadits paling populer di masanya, bahkan mendapatkan upah tahunan mencapai 40.000 dinar. (nu.or.id)  Apabila  dikonservasi ke rupiah, sebagai gambaran jika harga emas pada saat ini 1,2 juta rupiah. 1 Dinar 4,25 gram, maka 40.000 Dinar yaitu: 4,25 gramx40.000= 170.000 gramx1,2 juta rupiah= 204 miliar bagi ahli Al-Qur'an dan hadis.

Upah tahunan untuk penghapal Al-Qur'an, penuntut ilmu, dan pendidik umum 10,2 miliar. Sementara untuk periwayat hadis dan ahli fikih dua kali lipatnya yaitu 20,4 miliar rupiah. Sungguh penghargaan yang sangat fantastis. Selain itu, pendidikan, kesehatan, dan keamanan seluruh warga negara dalam Islam dijamin oleh negara. Adapun dana yang dibutuhkan dari kas negara, baitulmal. Lalu, apakah mungkin saat ini bisa seperti di masa keemasan Islam? Sangat mungkin jika kita kembali menerapkan aturan Allah dalam semua aspek kehidupan. 


Khatimah 

Hal tersebut ditunjang dengan sistem ekonomi Islam yang hebat, serta sistem politik yang luar biasa. Dalam Islam, harta yang seharusnya menjadi milik umum seperti sumber daya alam gratis untuk rakyat, negara membantu mengelolanya agar bisa dinikmati dengan mudah oleh rakyat. Islam tidak melarang warga negaranya kaya, yang terpenting jalan menuju kaya tidak melanggar syariat. Abdurrahman bin 'Auf salah salah satu sahabat Rasul yang kaya dan dermawan, kekayaannya bahkan disalurkan untuk dakwah dan Islam. Sudah saatnya Islam kembali memimpin dunia seperti dahulu. Allahua'lam bishawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar