Oleh : Ayu Annisa Azzahro (Aktivis Dakwah Muslimah Mataram)
Sebuah video aksi bullying atau perundungan terhadap anak di bawah umur di Bandung, viral di media sosial TikTok. Pelaku menendang ke arah muka korban, memukul menggunakan botol kaca kosong ke kepala korban, dan mengancam menggunakan senjata tajam berupa pisau Video itu viral dan dibagikan ulang melalui media sosial, salah satunya lewat akun X atau Twitter @basebdg, Sabtu (27/4/2024).
Dalam video lain, pelaku mengaku bahwa dia punya saudara seorang jenderal. Bahkan tidak takut dibui karena sudah terlanjur melakukan perbuatan perundungan. Menurut laporan yang diterima dari Polrestabes Bandung, peristiwa penganiayaan kepada anak di bawah umur tersebut terjadi pada Sabtu (27/4/2024) pukul 05.30 WIB. Perundungan terjadi di pinggir jalan di Kota Bandung, Jawa Barat. Korban diketahui merupakan seorang anak laki-laki inisial DNS (14) berstatus pelajar yang tinggal di sekitar lokasi perundungan.
Hingga Minggu (28/4/2024), para pelaku perundungan belum ditangkap dan masih diburu polisi. Pelaku yang melakukan perundungan akan terjerat Pasal 80 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jucto Pasal 2 ayat (1) UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951. Sementara pelaku yang melakukan kekerasan atau penganiayaan terhadap anak akan dipidana dengan penjara maksimal tiga tahun enam bulan atau denda paling banyak Rp 72 juta. Jika korban mengalami luka berat, hukuman dapat bertambah menjadi penjara paling lama lima tahun dan denda maksimal Rp 100 juta.
Kasus perundungan ini bukan lagi prihal yang asing ditelinga kita. Apalagi, semakin ke sini, kasus perundungan semakin berani. Perundungan adalah tindakan kejahatan. Pelaku yang melakukannya bahkan melakukan siaran langsung dan tidak takut untuk dibui (dipenjara). Berarti kejahatan bukan lagi menjadi perilaku memalukan. Melainkan menjadi sesuatu yang menarik dan hiburan.
Tentu hal ini disebabkan oleh gaya hidup bebas tanpa batas dan tidak adanya aturan yang punya standar yang jelas. Selain itu bisa terjadi karena ketidakutuhan keluarga, kelemahan iman dari individunya, rusaknya pendidikan sekarang, masyarakat yang cenderung abai akan perilaku-perilaku menyimpang yang dilakukan oleh khusunya generasi muda. Lalu media sosial yang semakin deras informasi-informasi rusak berseliweran. Apalagi disebarkan dalam bentuk visual. Kemudian aparat penegak hukum yang lemah dan sanksi yang tidak tegas. Buktinya masih banyak pelaku-pelaku perundungan menggunakan koneksi pribadinya untuk melakukan kejahatan dan membebaskan diri dari hukuman.
Faktor-faktor di atas bukan tidak mungkin ada penyebabnya kalau bukan karena sistem sekulerisme yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat. Sistem sekulerisme merupakan sebuah sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Sehingga agama hanya sekedar formalitas semata, dilakukan hanya di tempat-tempat ibadah saja. Bukan sebagai pegangan hidup. Sistem sekulerisme ini kemudian melahirkan paham liberalisme yakni, paham kebebasan. Masyarakat bebas melakukan apa saja termasuk dalam hal berperilaku.
Berbeda dengan islam yang mempunyai standar hidup jelas berdasarkan syariatnya yang berasal dari al-Quran dan as-Sunnah. Dengan adanya standar halal dan haram yang jelas ini maka, tidak akan ada tindakan-tindakan menyimpang yang diwajarisasi seperti kejahatan perundungan di atas.
Sistem islam mempunyai solusi yang mengakar dalam menyelesaikan kasus serupa. Pertama, membentuk individu yang bertakwa. Individu yang punya kesadaran akan keimanannya bahwa Allah adalah maha pencipta dan pengatur, serta selalu mengawasi tindak-tanduk hamba-Nya. Pasti tidak akan berani melakukan kemaksiatan/kejahatan. Individu yang bertakwa akan merasakan rasa takut yang hakiki apabila melakukannya. Karena menyadari bahwa Allah punya balasan yang setimpal untuk pelaku maksiat.
''Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” [QS. Al-Hujurat (49) : 13].
''Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang gaib di langit dan di bumi. Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.'' (QS. Al-Hujurat: 18)
Kedua, membentuk masyarakat dengan pemikiran, perasaan dan aturan yang sama sesuai syariat islam yang menjadikan landasan terjadinya pola interaksi mereka. Sehingga masyarakat terbiasa dan tidak asing dengan aktivitas amar-ma'ruf nahi mungkar. Mereka senantiasa akan mencegah diantaranya melakukan kejahatan.
"Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS. Ali Imran/3 : 104).
Ketiga, yang tidak kalah penting dari dua unsur di atas adalah negara. Negara yang menerapkan aturan berdasarkan syariat islam sehingga akan terbentuk pola masyarakat seperti di atas. Negara juga akan menerapkan sistem sanksi yang tegas yang zawajir (pencegah) dan juga jawabir (penebus). Zawajir di sini adalah dengan adanya sanksi yang jelas dan tegas maka diharapkan masyarakat tidak mau melakukan tindakan kejahatan yang sama karena efek hukumannya. Kemudian jawabir sebagai penebus dosa bagi pelaku. Jika kita menoleh pada sejarahnya. Selama kurang lebih tiga belas abad islam memimpin hanya ada dua ratusan kasus kejahatan. Tidak sebanding dengan sistem sekarang yang bahkan setiap satu menit berselang selalu terjadi tindakan kejahatan.
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.'' (QS. An-Nahl: 90)
Begitulah islam, punya sistem dan solusi yang konkrit sampai ke akar-akarnya. Maka, tidak ada alasan bagi kita semua untuk kembali kepada islam kaffah. Kepada islam secara keseluruhan agar memperoleh kehidupan yang layak dan damai.
Wallahu a'lam.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar