Oleh : Amey Nur Azizah (Pegiat Literasi)
Rumah bukan semata tentang bangunannya saja, melainkan rumah merupakan tempat untuk pulang dan berkumpul bersama keluarga. Maka banyak di antara para pejuang keluarga berusaha mati-matian untuk mewujudkan rumah impian mereka. Namun kini kondisi perjuangan mereka kian hari kian terjal.
Berdasarkan apa yang dilansir dari tirto.id-Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan alias Undang-Undang (UU) HPP tak hanya mengatur kenaikan Pajak Pertambahan Nilai menjadi 12 persen pada 2025. Beleid ini juga mengatur kenaikan tarif PPN atas kegiatan membangun rumah sendiri (KMS) dari yang sebelumnya 2,2 persen menjadi 2,4 persen per 1 Januari 2025.
Kegiatan membangun rumah sendiri adalah kegiatan mendirikan bagunan yang dilakukan oleh orang pribadi dan bangunan tersebut digunakan sendiri atau oleh pihak lain. Artinya, bangunan yang didirikan tidak digunakan untuk kegiatan usaha atau pekerjaan apapun.
Tarif PPN membangun rumah sendiri diatur secara rinci di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 61/PMK.03/2022 tentang PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri.
Dengan demikian impian masyarakat untuk memiliki rumah idaman makin sulit untuk diwujudkan. Sudahlah mencari pekerjaan susah, jikalau pekerjaan sudah ada tetapi tidak memungkinkan rakyat untuk bisa membangun rumah yang memadai. Sementara rakyat yang bisa membangun rumah yang memadai atau layak, dikenai pajak yang makin tinggi. Lantas kapan rakyat bisa hidup tenang tanpa pungutan yang membebani? Kapan rakyat bisa merasakan kedamaian dalam menjalani hari-hari nya tanpa takut kena pajak?
Dari kebijakan ini tampaklah bahwa negara tidak ada upaya untuk meringankan beban rakyat, apalagi adanya penetapan pajak rumah justru makin menambah beban berat di pundak rakyatnya. Maka hal ini menunjukkan bahwa negara lepas tanggung jawab dalam menjamin kebutuhan papan/perumahan masyarakat. Hal ini sudah pasti menjadi sebuah keniscayaan bagi negara yang menganut ekonomi kapitalis, di mana sumber pendapatan negara Kapitalisme itu berasal dari pajak. Maka tidak heran jika tiap tahun pajak di negara ini akan makin naik, dan naik lagi.
Bahkan menurut apa yang dilansir oleh KONTAN.CO.ID bahwa Pemerintah dan Badan Anggaran (Banggar) DPR RI telah menyepakati target penerimaan pajak sebesar Rp 2.490,9 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.
Hal ini tidak akan terjadi jika negara menerapkan sistem ekonomi Islam. Dalam penerapan sistem ekonomi Islam negara menjamin kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya. Kebutuhan sandang, pangan dan papan masing-masing individu dijamin oleh negara. Untuk pemenuhan kebutuhan papan misalnya, negara akan mewujudkan dengan memberikan kemudahan dengan adanya hukum-hukum tentang tanah. Dengan adanya larangan penelantaran tanah, adanya kebijakan kepemilikan bagi yang menghidupkan tanah mati, dan lain sebagainya.
Bahkan kebutuhan yang sifatnya komunal yakni pendidikan, kesehatan dan keamanan juga akan diprioritaskan oleh negara, maka tidak ada ceritanya dalam negara Islam rakyatnya kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokoknya. Karena negara akan menyediakan pekerjaan yang layak dan gaji yang layak, jika kemudian kebutuhan pokok sudah dipenuhi oleh negara, tentu gaji yang layak yang mereka terima bisa untuk memenuhi kebutuhan sekunder atau bahkan tersier. Maka kesejahteraan dan ketentraman akan bisa diwujudkan.
Terlebih lagi dalam negara Islam pajak tidak boleh diwajibkan kepada rakyat selama di dalam baitulmal dijumpai uang/harta untuk pembiayaan operasional negara.
Negara tidak boleh mewajibkan pajak tanpa adanya kebutuhan yang mendadak (mendesak). Demikian juga negara tidak boleh mewajibkan pajak dalam bentuk keputusan pengadilan, atau untuk pungutan biaya di muka (dalam urusan administrasi) negara. Negara juga tidak boleh mewajibkan pajak atas transaksi jual beli tanah dan pengurusan surat-suratnya, gedung-gedung, timbangan (atas barang-barang dagangan), atau lainnya yang bukan bagian dari bentuk-bentuk pajak yang telah dibahas. Dengan mewajibkannya berarti telah berlaku zalim, dan ini dilarang.
Bahkan termasuk ke dalam tindakan memungut cukai (al-maksu), seperti sabda Rasulullah saw.:
«Ù„ا ÙŠَدْØ®ُÙ„ُ الْجَÙ†َّØ©َ صَاØِبُ Ù…َÙƒْسِ»
"Tidak akan masuk surga orang-orang yang memungut cukai." (HR. Ahmad, Ad-Darami dan Abu Ubaid)
Pada dasarnya, pemasukan rutin baitulmal, yang telah ditetapkan Allah Swt. sebagai hak kaum muslim dan menjadi kewajiban baitulmal, seperti dari fai, kharaj, ‘usyur, dan dari milik umum yang dialihkan menjadi milik negara. Semua itu adalah cukup untuk membiayai apa yang diwajibkan atas baitulmal, baik dalam kondisi ada harta maupun tidak, yang berhubungan dengan pemeliharaan urusan umat dan mewujudkan kemaslahatannya. Pada kondisi itu, negara tidak memerlukan pungutan pajak atas kaum muslim.
Selain itu, Syari' (Allah dan Rasul-Nya) telah menetapkan pembiayaan atas berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran, harus dipenuhi oleh baitulmal, baik dalam kondisi ada uang/harta di dalamnya maupun tidak. Jika tidak ada uang/harta di baitulmal, maka kewajibannya (beralih) kepada kaum muslim untuk membiayainya. Wallahualam bissawab. []
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar