Oleh: Widya Rahayu (Lingkar Studi Muslimah Bali)
Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia baru-baru ini telah menjadi sorotan media internasional dan dalam negeri. Paus, dalam pidatonya saat bertemu Presiden Joko Widodo, menekankan pentingnya toleransi, kasih sayang, dan perdamaian sebagai nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi oleh umat manusia.
Paus juga menyebutkan bahwa kekayaan terbesar Indonesia bukanlah tambang emasnya, tetapi harmonisasi di tengah keragaman bangsa ini. Ucapan ini diterima dengan hangat, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat Muslim Indonesia, yang tampak antusias menyambut kedatangan pemimpin umat Katolik dunia tersebut.
Namun, di balik sambutan hangat itu, muncul pertanyaan mendasar: Apakah pesan-pesan toleransi dan moderasi yang disampaikan oleh Paus Fransiskus selaras dengan ajaran Islam, atau justru berpotensi menggerus akidah umat?
Lebih jauh lagi, bagaimana kita memahami respon kepemimpinan sekuler yang tampak begitu mendukung narasi-narasi yang dibawa oleh Paus, terutama dalam konteks moderasi beragama?
Toleransi ala Moderasi: Target di Balik Kunjungan
Dalam berbagai kesempatan selama kunjungannya, Paus Fransiskus menyuarakan konsep toleransi dan perdamaian global, yang ia sebut sebagai wujud kasih sayang dan saling pengertian. "Politik bukanlah perang, tetapi kasih sayang," ungkap Paus dalam pidatonya di Istana Merdeka, sebagaimana dilaporkan oleh CNNIndonesia.co. Ia juga menekankan bahwa harmonisasi dalam keberagaman adalah kekayaan terbesar Indonesia, sebuah pernyataan yang seolah menegaskan bahwa tantangan global saat ini adalah bagaimana umat beragama bisa hidup berdampingan dengan damai, tanpa konflik.
Namun, jika ditelusuri lebih dalam, narasi yang dibawa Paus ini bukanlah sekadar ajakan untuk hidup damai. Ada target yang lebih besar, yaitu mengarusutamakan *tadlil siyasi*, atau upaya pengaburan politik, yang menekan umat Islam untuk menerima konsep-konsep moderasi beragama yang sejatinya melemahkan akidah. Pesan-pesan seperti "harmonisasi di tengah keberagaman" atau "agama harus membawa kasih sayang, bukan konflik" seringkali digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk menekan penerapan syariat Islam secara kaffah, mengarahkan umat pada pemahaman yang dangkal tentang agamanya sendiri.
Hal ini semakin jelas ketika beberapa tokoh Muslim Indonesia, termasuk 33 tokoh yang menyambut kedatangan Paus dengan antusias, justru memuji upaya moderasi beragama yang didukung oleh pemimpin Katolik tersebut . Bahkan, dalam salah satu pertemuannya, Paus disambut dengan sebuah buku yang dianggap sebagai bentuk apresiasi umat Islam terhadap kunjungan ini . Ironisnya, antusiasme ini malah berpotensi menyesatkan umat Islam, seolah-olah ajaran moderasi yang dibawa oleh Paus sejalan dengan Islam, padahal bisa jadi hal ini justru menjadi ancaman bagi akidah mereka.
Respon Kepemimpinan Sekuler: Mendukung Program Moderasi yang Menggerus Akidah
Tidak dapat dipungkiri, respons positif dari kepemimpinan sekuler Indonesia terhadap kunjungan Paus dan pesan-pesan moderasi beragama yang dibawanya menunjukkan adanya dukungan penuh terhadap agenda moderasi.
Presiden Joko Widodo, dalam pertemuannya dengan Paus Fransiskus, menekankan pentingnya toleransi dan perdamaian sebagai fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara . Namun, yang perlu diwaspadai adalah bagaimana narasi ini digunakan untuk memenangkan program moderasi beragama yang sebenarnya bertentangan dengan syariat Islam.
Salah satu contoh nyata adalah usulan untuk menggunakan *running text* dalam azan, yang dianggap sebagai solusi modern yang wajar oleh sebagian kalangan mahasiswa Muslim. Padahal, usulan ini sebenarnya mengarah pada sekularisasi ajaran Islam, yang sedikit demi sedikit menghapus dimensi spiritual dan sakralitas ajaran Islam, termasuk dalam ibadah.
Hal ini mencerminkan betapa bahayanya pengaruh kepemimpinan sekuler yang mencoba memodernisasi ajaran Islam sesuai dengan standar global, tanpa memperhatikan konsekuensi terhadap akidah umat.
Sikap Umat Islam: Kritis dan Berpegang Teguh pada Syariat
Menyikapi situasi ini, umat Islam perlu memiliki sikap yang tegas dan kritis terhadap segala bentuk ajakan toleransi dan moderasi beragama yang justru melemahkan ajaran Islam. Islam tidak menolak toleransi. Namun, toleransi dalam Islam memiliki batas yang jelas, yaitu tidak boleh mengorbankan akidah dan syariat.
Sebagaimana disampaikan dalam Al-Qur'an, “Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku” (QS. Al-Kafirun: 6), prinsip ini mengajarkan bahwa Islam menghargai perbedaan, tetapi tidak dengan menerima kompromi dalam hal keimanan dan syariat.
Umat Islam harus memahami bahwa kunjungan Paus Fransiskus dan pesan-pesan toleransi yang ia bawa merupakan bagian dari strategi global untuk mendorong konsep moderasi yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Sebagai Muslim, kita harus selalu waspada terhadap setiap narasi yang berpotensi menggerus akidah, meskipun disampaikan dengan bahasa yang lembut dan penuh kasih sayang.
Dalam Islam, kepemimpinan adalah amanah besar yang harus dijalankan sesuai dengan tuntunan syariat. Pemimpin Muslim harus mengutamakan kepentingan umat dan menjadikan Al-Qur'an serta Sunnah sebagai landasan utama dalam setiap keputusan dan kebijakan. Sebagaimana diingatkan oleh Umar bin Khattab r.a., seorang pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban, bahkan jika ada seekor hewan yang jatuh di jalan karena kelalaiannya.
Solusi dalam Islam: Kepemimpinan yang Menjaga Akidah dan Syariat
Solusi dari Islam adalah menegakkan kepemimpinan yang berbasis pada syariat Islam secara kaffah. Pemimpin dalam Islam harus berperan sebagai pelindung akidah umat, bukan sekadar merespon tekanan global dengan ajakan toleransi yang ambigu. Negara harus mengarahkan kebijakannya untuk menjaga dan melindungi akidah umat dari pengaruh-pengaruh luar yang berpotensi menyesatkan.
Sebagai umat Islam, kita harus mendukung kepemimpinan yang tidak hanya melindungi hak-hak sipil, tetapi juga menjaga keteguhan akidah dan penerapan syariat. Program-program seperti moderasi beragama yang dibawa oleh pemimpin-pemimpin non-Muslim harus dipahami dengan kritis, dan tidak boleh diterima secara buta hanya karena dibalut dengan narasi kasih sayang dan toleransi.
Kesimpulan
Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia seharusnya menjadi momen refleksi bagi umat Islam. Alih-alih menyambutnya dengan antusias tanpa sikap kritis, kita harus waspada terhadap agenda-agenda moderasi beragama yang dibawa oleh pemimpin sekuler dunia, termasuk Paus. Toleransi dalam Islam memang diajarkan, tetapi tidak boleh mengorbankan akidah. Kepemimpinan Muslim harus selalu mengedepankan syariat dan menjaga umat dari pengaruh narasi global yang bisa menggerus keimanan dan keteguhan dalam menjalankan ajaran Islam.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar