Oleh: Ferdina Kurniawati (Aktivis Dakwah Muslimah)
Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda tak henti mengupayakan peningkatan pendapatan daerah di setiap tahunnya.
Agar mencapai target realisasi pendapatan yang diinginkan, sejak akhir tahun lalu Pemkot Samarinda melalui Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) menjalankan sensus pajak secara door to door, dengan harapan pihaknya dapat menghimpun data pajak dengan maksimal.
Diketahui, sensus pajak ini mencakup Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta pajak lainnya seperti hotel, restoran, hiburan, dan parkir, yang merupakan turunan dari Pajak Bumi dan Jasa Tertentu (PBJT). Hal ini disampaikan oleh Kepala Bapenda Kota Samarinda, Hermanus Barus saat ditemui TribunKaltim, Senin (26/8/2024).
"Ini dibedakan karena PBB paling besar, semua tanah dan bangunan itu satu nomor objek pajak sendiri, kalau restoran kan hanya restoran, katering, warung dan sebagainya. Pajak parkir ya hanya parkir otonom saja seperti yang di mal dan rumah sakit, itu kita buat tim sendiri,” terangnya.
Dalam pelaksanaannya, Hermanus mengatakan tak ada kendala yang signifikan. Hanya saja dalam sensus ini, tim fokus mendata objek pajak baik yang telah terdaftar atau belum serta memperbarui objek pajak yang mengalami perubahan. Setelahnya, data tersebut akan dilaporkan kepada Bapenda untuk diproses lebih lanjut.
"Misal tadinya masih tanah kosong, tapi sekarang sudah ada bangunannya. Atau sudah ada bangunannya tapi bertambah atau berkurang ukurannya. Demikian juga pajak lainnya," jelas Hermanus.
Meski belum genap berjalan satu tahun, pihaknya sudah memaparkan progres sensus pajak dari akhir tahun lalu kepada Walikota Samarinda Andi Harun.
Kebijakan Zalim
Pajak terus dioptimalkan berbanding dengan kehidupan para aparatur negara yang dimanjakan dengan fasilitas mewah. Negara menagih pajak dari rakyat, semua tak luput dari pungutan. Padahal ada sumber pendapatan yang jauh lebih besar berupa kekayaan alam justru diserahkan ke pihak lain.
Di tengah masyarakat, keberadaan mafia pajak memang sudah dimaklumi secara terbuka. Publik pun tidak akan pernah lupa dengan berbagai skandal yang dilakukan para pegawai pajak dan institusi lainnya, mulai level bawah hingga level pejabat.
Bisa dibayangkan betapa muak perasaan masyarakat. Di satu sisi, mereka terus diburu dan dipalak dengan berbagai pungutan pajak. Di sisi lain, korupsi dan skandal mafia pajak terus bermunculan. Padahal sejauh ini, gaji dan tunjangan para pegawai pajak tergolong paling tinggi di antara pegawai negara lainnya.
Dalam sistem sekuler kapitalisme neoliberal, pajak memang menjadi sumber terbesar bagi pemasukan keuangan negara. Ia bersifat memaksa, dan dipungut dari rakyatnya sebagai hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara.
Pemerintah pun mengeklaim, pajak ini banyak fungsinya, antara lain (1) fungsi anggaran, yakni membiayai semua pengeluaran negara seperti gaji pegawai negeri, gaji tentara, pembayaran utang pemerintah, dan membiayai pembangunan; (2) fungsi regulasi terkait kebijakan fiskal seperti bea masuk untuk menekan impor; (3) fungsi stabilitas, seperti untuk mengendalikan gejolak harga; dan (4) Fungsi pemerataan untuk menebar keadilan.
Namun secara faktual, pajak lebih banyak memudaratkan kehidupan rakyat banyak. Semua fungsi yang disebutkan, tidak satu pun berbicara kepentingan rakyat. Ia semacam upeti yang pada masa lalu menjadi bukti ketundukan rakyat kepada rajanya. Saat penguasa berkehendak, maka tidak ada celah untuk mengelak.
Bagaimana rakyat tidak merasa muak? Di tengah berbagai kesempitan hidup yang mereka rasa, berbagai kewajiban pajak terus dibebankan. Nyaris tidak ada objek kekayaan milik rakyat yang tidak kena beban pajak. Mereka yang menolak, akan ditohok dengan slogan, “Apa kata dunia?” dan tentu saja, cap warga yang tidak taat pada negara.
Pemerintah beralasan, kas negara memang sudah tidak sepadan dengan beban. Semua ikhtiar menambah pendapatan, tidak juga membawa keberhasilan. Selain menambah utang, solusinya ya menarik berbagai macam pungutan. Sampai-sampai, cukai kresek pun tidak luput dari incaran.
Masalahnya, di tengah kehidupan sekuler liberal yang tidak mengenal Tuhan, mental para pejabat negara banyak yang diragukan. Pamer kemewahan seolah jadi tujuan. Korupsi jadi budaya, dan setiap melihat celah mendapatkan cuan, lupa diri tidak peduli halal haram.
Wajar jika kehidupan masyarakat jauh dari kesejahteraan. Bayang-bayang kezaliman terus mewarnai keseharian mereka. Hidup para penguasanya pun jauh dari keberkahan. Uang haram yang dimakan keluarga, menjauhkan mereka dari hidup tenteram dan damai. Ujungnya terhina dan anak-anak mereka pun tumbuh tanpa moral dan terjauh dari fitrah kebaikan.
Pandangan Islam
Sebagai din yang sempurna, Islam mengatur soal sumber-sumber keuangan negara. Sandarannya sendiri tidak lain adalah ketetapan syariat yang digali dari Al-Qur’an dan Sunah Rasulullah saw.. Inilah yang menjamin pelaksanaannya akan membawa kebaikan dan manfaat bagi semua pihak, jauh dari kezaliman.
Sumber-sumber keuangan negara dalam Islam jumlahnya sangat banyak. Mulai dari pos anfal, fai, ganimah, kharaj, jizyah, dan harta kepemilikan umum, berupa kekayaan alam (tambang, perairan, hutan, dll). Ada juga harta kepemilikan negara (seperti gunung, pantai, bangunan-bangunan, instalasi, infrasruktur, bandara, pelabuhan, stasiun, dll). Juga usyur, rikaz, harta sitaan, harta orang murtad, khumus, dan sebagainya.
Dalam Islam, haram mengambil utang yang akan menggadai kedaulatan negara. Haram pula menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara.
Pajak dalam Islam hanya akan dipungut negara saat sumber-sumber pemasukan tadi sama sekali tidak ada hingga menyebabkan kas negara kosong adanya. Itu pun tidak semua warga negara dipungut pajak. Yang dipungut hanya orang-orang kaya saja dan akan dihentikan jika kebutuhan negara sudah tercukupi.
Memungut pajak tanpa hak, bahkan dipandang sebagai keharaman. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka” (HR Ahmad dan Abu Dawud)
Dengan demikian, sumber keuangan negara Islam tidak bergantung pada pajak dan utang. Melainkan pada sumber-sumber yang sangat memungkinkan negara Islam menjadi negara yang kaya raya dan mampu menyejahterakan rakyatnya.
Semua harta-harta tadi akan dikelola oleh lembaga keuangan negara yang disebut Baitulmal, lalu pengeluarannya pun diatur berdasar syariat. Tidak ada celah bagi penguasa, termasuk para pegawainya untuk melakukan tindakan curang karena sistem Islam memiliki tiga pilar yang menjamin tindakan curang tidak berkembang di tengah umat.
Pertama, adanya ketakwaan individu. Akidah yang ada pada setiap orang akan menjadi sistem pengawasan yang melekat pada internal. Kedua, adanya kontrol masyarakat, berupa budaya amar makruf nahi mungkar yang akan mencegah perilaku curang merajalela. Ketiga, penegakan Islam kafah oleh negara yang mengeliminasi berbagai kerusakan di tengah masyarakat.
Di antaranya, penerapan sistem pendidikan Islam yang melahirkan sosok individu berkepribadian Islam. Untuk mencegah korupsi, negara akan menetapkan sistem penggajian yang memadai, serta layanan publik dan birokrasi yang serba mudah, murah, bahkan gratis. Penerapan sistem sanksi Islam yang dikenal keras juga menjadi pencegah terjadinya berbagai pelanggaran, termasuk di antaranya, tindak pidana korupsi.
Pernah ada di masa baginda Rasulullah saw., seorang petugas pemungut zakat yang didapati telah berbuat kelalaian. Ia menyetorkan uang zakat yang terkumpul pada negara dan mengambil hadiah yang diberikan rakyat untuk dirinya. Rasulullah saw. saat itu bersabda dan dengan nada marah di hadapan para sahabat lainnya, “Kenapa kamu tidak duduk-duduk saja di rumah ayahmu atau ibumu sampai hadiahmu datang kepadamu jika kamu jujur?” Bahkan, beliau bersabda, “Demi Allah, tidaklah salah seorang diantara kalian mengambil sesuatu yang bukan haknya, selain ia akan menjumpai Allah pada hari kiamat dengan memikul hak itu. Aku tahu salah seorang diantara kalian menjumpai Allah dengan memikul unta yang mendengus, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik.” Na’uudzubillaah.
Adapun di masa kepemimpinan Umar, harta para pejabat dihitung sebelum dan setelah mereka menjabat. Jika ada keanehan, mereka diminta melakukan pembuktian terbalik. Jika tidak berhasil, harta mereka akan disita dan dimasukan dalam pos penerimaan negara.
Khatimah
Kisruh pajak sejatinya hanya satu dari daftar panjang problem yang lahir dari kepemimpinan sekuler kapitalis liberal. Kasus-kasus seperti ini akan terus bermunculan dan kian menjauhkan umat dari kehidupan yang sejahtera dan penuh keberkahan.
Hanya Islamlah satu-satunya harapan karena aturan-aturannya bersumber dari wahyu Allah, Sang Pemilik segala kesempurnaan. Allah SWT berfirman,
ÙŠٰٓاَÙŠُّÙ‡َا الَّØ°ِÙŠْÙ†َ اٰÙ…َÙ†ُوا اسْتَجِÙŠْبُÙˆْا Ù„ِÙ„ّٰÙ‡ِ ÙˆَÙ„ِلرَّسُÙˆْÙ„ِ اِØ°َا دَعَاكُÙ…ْ Ù„ِÙ…َا ÙŠُØْÙŠِÙŠْÙƒُÙ…ْۚ ÙˆَاعْÙ„َÙ…ُÙˆْٓا اَÙ†َّ اللّٰÙ‡َ ÙŠَØُÙˆْÙ„ُ بَÙŠْÙ†َ الْÙ…َرْØ¡ِ ÙˆَÙ‚َÙ„ْبِÙ‡ٖ ÙˆَاَÙ†َّÙ‡ٗٓ اِÙ„َÙŠْÙ‡ِ تُØْØ´َرُÙˆْÙ†َ
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (QS. Al-Anfal: 24).
Wallahualam.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar