Ironi Gurita Korupsi


Oleh : Thoyibah (Muslimah Pejuang Peradaban)

Kasus korupsi di negri ini benar-benar sudah menggurita, padahal uang yang dikorupsi tersebut adalah aset negara yang sebagian besar diperoleh dari pajak rakyat. Baru-baru ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan 10 orang sebagai tersangka atas kasus korupsi pemotongan tunjangan kerja (tukin) pada tahun 2020-2022 yang menyebabkan kerugian hampir 30M di Kementrian ESDM. Para tersangka telah dicegah untuk bepergian keluar Negri.

Selain itu dikutip dari Kompas.com bahwa mantan komisioner KPK era 2007-2011, M Jasin, menyatakan temuan transaksi mencurigakan sebesar 349 triliun memperlihatkan belum terlihat perubahan mendasar dari sistem pencegahan korupsi di Kemenkeu. Menurut Jasin, pada 2008 silam KPK sudah pernah melakukan inspeksi mendadak (sidak) di Bea Cukai di Pelabuhan Tanjung Priok yang menjadi salah satu bagian dari Kemenkeu, dan berhasil menemukan praktik suap dari Importir terhadap Petugas.

Diawali dengan kasus kejanggalan di Kemenkeu inilah rencana pembahasan Undang-undang Perampasan Aset Tindak Pidana kembali menjadi perbincangan hangat setelah Mentri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengusulkan pembahasan RUU tersebut kepada DPR, sementara itu dikutip dari kompas.com- Anggota komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) Arsul sani mengatakan pihaknya menyetujui pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana. Menurut Arsul RUU Perampasan Aset diperlukan agar proses-proses pengembalian kerugian Negara bisa dimaksimalisasi lebih baik dan cepat. Sebab kewenangan untuk menyita dan melelang dapat dilakukan tanpa putusan Pengadilan yang prosesnya cukup lama. RUU Perampasan Aset sampai saat ini belum ada kejelasan padahal Indonesia telah menandatangani Konvensi PBB tersebut pada 2003 dan melakukanratifikasi dengan membuat Undang-undang nomor 7 Tahun 2006 namun hingga kini Indonesia belum juga memiliki aturan hukum soal perampasan aset.

Dalam kesempatan terpisah, Anggota Komisi III DPR. Nashir Djamil mengungkapkan bahwa terhambatnya RUU perampasan aset diakibatkan adanya kekhawatiran dari Pemerintah dan DPR sebagai pembuat kebijakan, meraka khawatir bahwa pengesahan RUU ini akan berpotensi menjadi bumerang bagi kepentingan Individu dan kelompok mereka sendiri yakni Pemerintah dan DPR sebuah mekanisme yang ada dalam RUU Perampasan aset ini akan mempermudah prosea pelacakan aset yang diduga berasal dari tindak kejahatan dan kembali ke kas Negara.

Namun melihat kasus korupsi yang makin menggurita di Negeri ini dan kuatnya Sekulerisme merasuki Negara ini, banyak yang meragukan Pengesahan RUU ini mampu mencegah korupsi. Pasalnya Pejabat Negara dalam sistem demokrasi kapitalisme sangat jauh dari sosok pemimpin yang amanah, berkepribadian islam dan teladan bagi umat. Mereka hidup dalam sistem kehidupan sekuler kapitalisme yang menjauhkan peran agama dalam kehidupan alhasil para pemimpin dalam sistem ini terbentuk menjadi Pemimpin yang liberalis, hedonis dan kapitalis. Tidak heran mereka menjadi sosok yang serakah uang rakyatpun diembat. Ditambah produk hukum dalam sistem demokrasi berasal daru akal manusia yang lemah dan terbatas, perundang-undangan yang dibuat oleh manusia mengedepankan nafsunya, hal ini akan memberi celah bagi para koruptor untuk terbebas dari jeratan hukum. Oleh karena itu pemberantasan korupsi di sistem demokrasi kapitalis tidak efektif.

Berbeda dengan Sistem Islam. Islam memiliki berbagai mekanisme efektif untuk mencegah korupsi mulai dari penanaman aqidah yang kuat hingga sistem sanksi yang tegas, oleh karena itu penerapan syariat Islam sebagai satu-satunya sistem hukum tunggal di negri ini adalah sistem jitu. Syariah islam akan sangat efektif memberantas korupsi baik dari sisi pencegahan (preventif) dan penindakan (kuratif).

Secara preventif paling tidak ada 7 langkah untuk mencegah korupsi menurut syariah islam sebagai berikut :
1. Merekrut SDM aparat negara wajib berdasarkan profesionalitas dan integritas bukan berdasarkan koneksitas atau Nepotisme.
2.Negara wajib melakukan pembinaan kepada aparat dan pegawainya 
3.Negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparat.
4.Islam melarang para aparat menerima suap dan hadiah Rosulullah bersabda "Siapa saja yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja ia ambil diluar itu adalah hal yang curang" (HR Abu Dawud).
5.Islam memerintahkan melakukan perhitungan kekayaan aparat negara.
6.Adanya teladan dari pemimpin karena manusia cenderung mengikuti orang terpandang dalam masyarakat termasuk pemimpin.
7.Pengawasan oleh Negara dan masyarakat jika ditemukan kasus korupsi syariah islam mangatasi dengan cara memberikan hukuman yang tegas dan setimpal. Hukuman untuk koruptor masuk kategori Ta'dzir yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim (Qadhi). Sanksi tegas dan setimpal akan memberikan efek jera kepada yang lain sehingga manpu mencegah dilakukan tindak korupai pada masa yang akan datang. Demikianlah penerapan aturan islam akan mencegah tindak kejahatan sebagaimana korupsi. Wallahu alam bissawab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar