Target Bebas Kemiskinan Ekstrem 2024: Mimpi Utopis Buah Sekulerisme


Oleh : Siti Nur Fadillah

Target Elit, Ekonomi Sulit

Pemerintah Indonesia lagi-lagi terlalu percaya diri menentukan target ekonomi, tanpa berkaca pada kondisi riil rakyat. Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mengungkapkan target ambisius kemiskinan ekstrem, yaitu masyarakat miskin dengan penghasilan Rp11.633/hari, menjadi 0% pada 2024. Sri Mulyani menilai momentum perekonomian saat ini dinilai cukup kuat dan akan dimanfaatkan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi 2023 dan 2024. Namun, target tersebut dirasa terlalu tinggi oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN), Suharso Monoarfa. Suharso menurunkan target pengentasan kemiskinan ekstrem 0% menjadi 2,5%. Penurunan target ini mempertimbangkan batas garis kemiskinan ekstrem versi Bank Dunia, yakni dengan penghasilan US$2,15 atau Rp 32.035 per orang per hari. Maka, untuk mencapai target nol, pemerintah perlu mengentaskan kemiskinan terhadap 5,6 juta orang pada 2024 (CNN, 06/04/2023). 

Yusuf Rendy Manilet, seorang Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, mengungkap hal senada dengan Suharso. Yusuf menilai upaya mengejar angka 0% kemiskinan ekstrem di tahun depan tidak mudah karena ada pergantian pemerintahan. Jika pemerintah serius mengejar target tersebut, Yusuf menyarankan untuk jangka pendek harus pemerintah memperbaiki data penyaluran bantuan sosial agar tepat sasaran. Sasarannya tak cuma penduduk miskin, tetapi juga kelompok di garis rentan dan hampir miskin (CNN, 23/02/2023).

Namun, bukannya membuat program yang dapat mengentaskan kemiskinan, pemerintah justru membuat kebijakan yang justru mempersulit masyarakat miskin. Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Abdul Halim Iskandar mengatakan, Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa diganti menjadi BLT Kemiskinan Ekstrem mulai 2023, dimana nilai bantuannya sama (Rp300 ribu) tapi jumlah penerimanya akan dikurangi. Alasan peniadaan BLT Dana Desa karena landasan program itu sudah tidak ada lagi, yakni pandemi COVID-19 (Tegalharum, 2023). 

Hingga saat ini, penilaian angka kemiskinan Indonesia adalah berdasarkan pendapatan per kapita yang menilai masyarakat bukan sebagai individu, namun sebagai kelompok individu. Kesenjangan ekonomi menjadi hal yang tak terbantahkan. Maka sekali lagi, pendapatan per kapita bukan tolok ukur kesejahteraan yang tepat. Salah satu contoh nyata yang terjadi di Indonesia yaitu, Provinsi yang masuk kategori upper middle income (berpendapatan tinggi menengah) seperti Kalimantan Utara, Riau, Kepulauan Riau, Sulawesi Tengah, Papua Barat, Jambi, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Bangka Belitung, dan Sumatera Utara. Sejumlah provinsi tersebut, menurut Suharso, merupakan provinsi dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita pada 2022 di atas US$4.200. Namun, memiliki jumlah rakyat miskin yang tinggi. Rasio Gini (ketimpangan) juga tinggi, yakni mencapai 0,5. Meski menyandang status sebagai provinsi tajir, provinsi tersebut justru memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi. “Yang kategori upper middle ini, penghasil CPO dan batu bara tinggi, tetapi di situ rakyatnya paling banyak miskin juga,” (CNBC, 07/04/2023). 


Sekulerisme, Sistem Penyubur Kemiskinan

Jika ditanya apa sebenarnya akar masalah kemiskinan di Indonesia? Jawabannya adalah sistem kufur yang bernyawa sekulerisme. Yaitu menihilkan peran agama dalam kehidupan, kecuali sebatas ritual ibadah semata. Sekulerisme mencabut peran Allah Swt. sebagai pembuat hukum serta memberikannya kepada manusia. Dengan adanya prinsip ini manusia bebas membuat aturan sendiri, menghapus kedaulatan Allah dan menggantinya dengan kedaulatan rakyat, hingga lupa perkara halal haram sebab merasa tidak terikat syariat. Awalnya sekulerisme memberikan kesempatan kepada rakyat untuk membuat aturan dan memilih pemimpin yang mereka kehendaki. Namun, kenyataannya sekelompok kecil rakyat yang memiliki uang dan kekuasaan melakukan berbagai rekayasa, sampai semua aturan dan pemimpin selalu mengabdi kepada kepentingan mereka. Sebab bagaimanapun juga, rakyat kondisinya beragam, ada yang miskin, berkecukupan, kaya, bahkan sangat kaya. 

Akibatnya muncul kelompok 1% yang menguasai 99% kekayaan, dan sisanya kelompok 99% memperebutkan 1% kekayaan. Dalam sistem kufur ini, yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin. Ketimpangan ini akan terus berlanjut, selama sekulerisme masih diterapkan, dan syariat Allah ditinggalkan. Meskipun ada kebijakan bantuan sosial rutin setiap bulan, namun kebutuhan pokok, sandang pangan papan tetap saja mahal, maka ini sama saja seperti mimpi utopis. 


Islam Solusi Terbaik Kemiskinan

Islam adalah agama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan dirinya sendiri. Dan peradaban islam yang kaffah berdiri diatas tiga pilar ini. Namun, kenyataannya pilar hubungan manusia dengan sesamanya, yang meliputi hukum-hukum muamalah seperti sistem ekonomi, sistem politik, sistem pendidikan, sistem peradilan, sistem pergaulan, ditinggalkan dan hanya menyisakan urusan sebatas ibadah ritual dan akhlak semata. Untuk bisa mengembalikan islam kaffah, maka islam harus kembali difahami dan diamalkan tidak sebatas ibadah-akhlak, tapi juga politik, ekonomi, pendidikan, militer dan hukum-hukum muamalah lain. Penerapan sistem islam secara menyeluruh hanya bisa terlaksana dalam bingkai negara islam yaitu khilafah islamiyyah. Dalam mengentaskan kemiskinan dan mensejahterakan rakyat secara keseluruhan, sistem ekonomi khilafah memiliki beberapa mekanisme.

Pertama, Islam mengatur tentang kepemilikan. Dimana pada sistem kufur sekuler ini, kepemilikan tidak diatur dan menjadi sumber persoalan. Akhirnya apapun boleh dijadikan komoditas bisnis. Termasuk sumber daya alam seperti minyak bumi, gas alam, hutan, dan lain-lain. Inilah yang menjadikan munculnya eksploitasi dan ketidakadilan ekonomi. Sebaliknya, islam sejak awal tegas mengatur kepemilikan menjadi tiga, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Sumber daya alam termasuk kepemilikan rakyat yang tidak boleh dikuasai swasta, sehingga BBM dan gas merupakan hak takyat yang diperoleh dengan gratis atau semurah mungkin. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw. “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api" (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Dalam hadis tersebut dengan jelas Rasulullah menyebutkan bahwa padang rumput (hutan), air, dan api (energi) merupakan milik umat yang harus dimanfaatkan untuk kebutuhan umum, bukan untuk pribadi.

Kedua, meniadakan sektor non-riil. Sudah bukan rahasia umum, dalam sistem sekuler ini pemanfaatan harta lagi-lagi dilupakan dan menjadi problem besar. Sektor non-riil seperti riba, jual beli valas, saham, dan surat utang yang menjadi sumber krisis ekonomi dihalalkan. Sebaliknya sistem ekonomi islam hanya bertumpu pada sektor riil dan tegas mengharamkan riba beserta turunannya, sehingga ekonomi lebih stabil dan nyata menyejahterakan. 

Segala puji hanya bagi Allah yang telah memberikan karunia bagi umat Islam dan seluruh penduduk bumi ini dengan kekayaan yang tiada tara.

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”

Negara khilafah dengan seluruh karunia dari Sang Maha Pencipta dan Maha Kaya, akan mengelola seluruh kekayaan yang diberiNya dengan tuntunan syariat-Nya, sehingga mampu mengentaskan kemiskinan, dan menebarkan berkah dan rahmat ke seluruh pelosok bumi. Wallahualam bishowab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar