Mampukah UU Perampasan Aset Menuntaskan Budaya Korupsi?


Oleh : Nikita Sovia, S.Pd

Kasus korupsi di negeri ini sudah begitu menggurita, Kerugian negara dari kasus korupsi sudah tak terbilang. Padahal uang tersebut adalah aset negara yang sebagian besar diperoleh oleh pajak rakyat. Belum lama ini KPK berhasil mencekal 10 tersangka dalam penyelidikan terkait kasus dugaan korupsi Tunjangan Kinerja (Tukin) di Kementrian ESDM pada tahun anggaran 2020-2022 keluar negeri. Kerugian negara dalam kasus ini diperkirakan sebesar 30 M. Dan kasus yang menjadi perbincangan dan diperkirakan akan merugikan negara dengan angka yang fantastis adalah transaksi janggal di kementerian keuangan senilai Rp. 349 Triliun. Di awali dari kasus ini pulalah rancangan undang undang perampasan aset tindak pidana kembali menjadi isu panas  setelah menteri koordinator bidang politik hukum dan keamanan (Menko polhukam) Mahfud MD mengusulkan pembahasan RUU kepada DPR. Sementara Anggota Komisi III DPR Arsul sani mengatakan pihaknya menyetujui pengesahan rancangan Undang Undang Perampasan Aset Tindak Pidana. Menurut Arsul RUU tersebut diperlukan agar proses pengembalian kerugian negara bisa di maksimalisasi lebih baik dan lebih cepat. Sebab kewenangan untuk menyita dan melelang bisa dilakukan tanpa putusan pengadilan yang prosesnya cukup lama. 

Memang benar, bahwa RUU Perampasan Aset Tindak Pidana hingga kini belum ada kejelasan. Padahal Indonesia telah menandatangani Konvensi PBB Melawan Korupsi, Indonesia meratifikasinya dengan membuat UU 7/2006. Namun, hingga kini, Indonesia belum memiliki aturan terkait perampasan aset. Pada praktiknya, perampasan aset baru bisa dilakukan melalui putusan pengadilan. Anggota Komisi III DPR Nasri Djamil pernah mengungkapkan bahwa terhambatnya pembahasan RUU Perampasan Aset diakibatkan adanya  kekhawatiran pemerintah dan DPR. Mereka khawatir bahwa RRU tersebut berpotensi menjadi bumerang bagi kepentingan individu maupun kelompok mereka sendiri yakni pemerintah dan DPR. Sebab, mekanisme yang ada dalam RUU Perampasan Aset ini akan mempermudah proses pelacakan hingga perampasan aset yang diduga berasal dari harta kejahatan untuk dapat kembali ke kas negara. 

Namun melihat kasus korupsi yang sudah membudaya di negeri ini dan kuatnya sekularisasi merasuki negara ini, sehingga banyak yang meragukan pengesahan RUU Perampasan Aset mampu mencegah korupsi. Pasalnya pejabat negara dalam sistem demokrasi kapitalisme sangat jauh dari sosok pemimpin yang amanah, berkepribadian islam dan teladan bagi umat. Mereka hidup dalam sistem sekuler kapitalisme yang menjauhkan peran agama dalam kehidupan, alhasil para pemimpin dalam sistem ini terbentuk menjadi pemimpin yang liberalis, hedonis dan kapitalis. Tak heran mereka menjadi sosok yang serakah, uang rakyat pun di embat. Ditambah lagi produk hukum dalam sistem demokrasi berasal dari akal manusia yang lemah dan terbatas. 

Oleh karena itu pemberantasan korupsi disistem demokrasi kapitalis adalah ide utopis. Berbeda dengan islam, Islam memiliki berbagai mekanisme efektif untuk mencegah korupsi mulai dari penanaman akidah yang kuat hingga sistem sanksi yang tegas. Oleh karena itu penerapan syariah islam sebagai satu satunya sistem hukum tunggal di negeri ini adalah solusi yang tepat. 

Syariah Islam sangat efektif dalam memberantas korupsi baik dari sisi pencegahan (Preventif) maupun penindakan (Kuratif). Dalam aspek preventif, Islam melakukan langkah  penerapan sistem sosial masyarakat berdasarkan syariat secara kafah. Dengan penerapan ini, pembiasaan amar makruf nahi mungkar akan terbentuk. Selanjutnya syariah islam akan mengaudit harta kekayaan pejabat secara berkala. Hal ini dilakukan sebagai bentuk pengontrolan dan pengawasan negara agar mereka tidak menyalahgunakan kekuasaan untuk meraup pundi-pundi uang ke kantong pribadinya. Khalifah Umar bin Khathab ra. selalu mengaudit jumlah kekayaan pejabatnya sebelum dan sesudah menjabat.

Begitu juga dalam aspek kuratif, penegakan sanksi hukum Islam adalah langkah terakhir jika masih terjadi pelanggaran seperti korupsi. Sistem sanksi yang tegas memiliki dua fungsi, yaitu sebagai jawabir (penebus dosa) dan zawajir (pencegah dan berefek jera). Sebagai jawabir (penebus) dikarenakan uqubat dapat menebus sanksi akhirat. Sanksi akhirat bagi seorang muslim akan gugur oleh sanksi yang dijatuhkan negara ketika di dunia. Sementara zawajir, yaitu mencegah manusia berbuat jahat karena hukumannya mengandung efek jera. Demikianlah tahapan Islam memberantas korupsi secara tuntas. Dengan penerapan hukum Islam, korupsi dapat dicegah dan ditindak secara efektif. Wallahu’alam.



Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar