Oleh : Nur Amaliyah
Perilaku korupsi di negeri ini agak nya telah menjadi persoalan yang amat kronis. Ibarat penyakit, korupsi telah menyebar luas ke seantero negeri dengan jumlah yang dari tahun ke tahun cenderung semakin meningkat. Pelakunya pun mulai dari pejabat daerah hingga para pejabat tinggi negeri ini.
Yang tengah mencuat kali ini kasus korupsi yang terjadi di Papua. Yaitu kasus Lukas Enembe yang merupakan salah satu dari sekian banyaknya korupsi yang ada di Papua.
Dilansir dari IDN Times bahwa Direktur Eksekutif Progressive Democracy Watch (Prodewa) Wilayah Papua, Leonardus O. Magai mendesak pemerintah memberantas kasus korupsi yang ada di bumi Cendrawasih. Leonardus menyebut kasus dugaan korupsi Gubernur Papua, Lukas Enembe, hanya salah satu dari sekian banyaknya kasus korupsi yang terjadi di Papua.
Leonardo optimistis diperlukan peran negara untuk membuktikan bahwa Lukas Enembe telah melakukan tindak korupsi sebab menurut dia, kasus korupsi Enembe juga melibatkan sejumlah pejabat elit di Papua. "Karenanya negara harus mampu membuktikan bahwa hukum harus mampu ditegakkan sampai ke akar-akarnya," kata Leonardo dalam keterangan tertulis, Minggu (25/9/ 2022)
Kasus korupsi yang terjadi pada saat ini bukanlah satu-satunya kasus tindak korupsi yang pelakunya dilakukan oleh pejabat daerah. Beberapa waktu lalu kasus korupsi berupa suap pun dilakukan oleh pejabat negara, yakni Dirjen Kemendagri yaitu Ardian Noervianto. Atau masih kita ingat terkait dengan tiga kasus korupsi terbesar di Republik Indonesia yang dilakukan oleh Surya darmadi dengan kerugian negara yang ditaksir mencapai 78 triliun atau Mega korupsi Asabri dengan nilai sebesar 23 triliun dan terakhir yang merupakan kasus besar pula yakni Jiwasraya dengan kerugian negara masing-masing sebesar 17 triliun. 3 kasus korupsi terbesar tersebut membuat negara merugi hingga sampai 118 triliun.
Sejatinya pada hari ini kasus korupsi yang dilakukan oleh begitu banyaknya pejabat daerah maupun pejabat negara tidak lepas dari pengaruh sistem yang diterapkan. Di mana sistem Demokrasi menjadi lahan yang subur untuk tindak kasus korupsi. Hal itu disebabkan karena aturan yang diterapkan adalah buatan manusia.
Praktek politik demokrasi yang mahal dalam hal ini adalah pemilu, memberi peluang yang sangat besar bagi para pelaku kapitalis alias pemilik modal untuk masuk dan mencari posisi. Hingga ketika tujuan itu tercapai, pembuatan aturan pun dapat disesuaikan dengan kepentingan pribadi maupun kelompok mereka sendiri. Tidak lagi fokus pada pelayanan terhadap masyarakat. Sebab bagi para pemilik modal tidak ada sesuatu yang gratis. Kembali lagi, selain modal yang harus utuh, pun ada keuntungan yang bisa diambil dari itu. Maka tidak heran jika kemudian banyak sekali kasus korupsi yang menjerat para petinggi negeri.
Sungguh hal ini sangat jauh berbeda ketika sistem Islam diterapkan. Bagaimana para Khalifah hidup dengan cara yang sangat sederhana. Salah satu kebijakan Khalifah Umar bin Khattab RA berkaitan dengan harta, calon pejabat atau pegawai negara akan dihitung kekayaannya sebelum menjabat.
Selanjutnya saat menjabat pun kekayaan mereka dihitung, dicatat harta kekayaannya dan juga seberapa besar penambahannya. Hal itu semata-mata dilakukan sebagai bentuk kehati-hatian agar tidak adanya kecurangan. Apabila penambahan harta yang ada setelah menjabat itu meningkat bahkan jumlahnya begitu naik drastis, harus segera dilakukan verifikasi. Jika terbukti melakukan tindak korupsi maka harta tersebut akan disita dan dimasukkan ke kas negara serta pejabat atau pegawai tersebut akan diproses secara hukum.
Islam memandang korupsi sebagai salah satu perbuatan yang sangat keji, perbuatan korupsi dalam konteks agama Islam sama dengan fasad yakni perbuatan yang merusak tatanan kehidupan yang pelakunya dikategorikan melakukan jinayat Al kubro atau dosa besar.
Korupsi dalam Islam jelas termasuk perbuatan melanggar syariat. Maka ketika itu terjadi, Khalifah tidak akan mentolerir perbuatan tersebut. Menindak tegas para pelaku korupsi dengan memberikan sanksi sesuai perbuatannya. Karena selain membahayakan Negara, para pelaku korupsi juga berbahaya karena bisa mempengaruhi pejabat yang lain. Itulah kenapa sanksi yang diberikan kepada para pelaku korupsi dalam Islam begitu tegas, hukum potong tangan bahkan sampai hukum mati bukan menjadi hal yang mustahil dilakukan. Hal ini selain memberikan efek jera bagi pelaku korupsi, pun menjadi ancaman bagi mereka yang ingin melakukan. Agar tidak terjerumus dalam hal yang sama. Sangat jauh berbeda seperti pada hari ini, saat sistem Demokrasi yang diterapkan pelaku korupsi justru beberapa kali mendapat potongan masa tahanan.
Demikianlah bentuk kesempurnaan syariat Islam saat diterapkan oleh negara. Sejak awal akan menutup pintu korupsi. Jikapun terjadi, maka pelaku akan menerima efek jera. Karenanya, dengan menerapkan hukum-hukum Islam secara menyeluruhlah, korupsi tidak senantiasa menjadi-jadi di negeri ini. "Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik hukumnya bagi orang-orang yang yakin?" (QS. Al-Maidah: 50).
Wallahua alam bi ash-shawab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar