Oleh: Puji Ariyanti (Pegiat Literasi untuk Peradaban)
Apa-apaan ini, korupsi tiada henti di negeri ini. Jika publik pernah dihebohkan oleh penegak hukum Jaksa Pinangki atas kasus suap dan gratifikasi dalam kasus Djoko Tjandra, pelaku skandal Bank Bali. Pada awal tahun 2020, KPK juga menangkapa Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi. Pasalnya ia menerima suap dan gratifikasi puluhan miliar rupiah.
Baru-baru ini KPK menetapkan Hakim Agung Sudrajad Dimyati sebagai tersangka kasus suap jual beli putusan di Mahkamah Agung. Ia ditetapkan sebagai tersangka bersama sembilan orang lainnya, termasuk pegawai negeri sipil (PNS) pada Kepaniteraan MA, pengacara, dan pihak swasta. Hakim Agung Sudrajad Dimyati bukan penegak hukum pertama yang terjerat kasus korupsi.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyebutkan hakim agung yang terseret operasi tangkap tangan (OTT) KPK bisa jadi lebih dari satu orang (Kompas, 21/9/2022).
Ungkapan Mahfud senada dengan penilaian Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari. Feri menilai bahwa fenomena "mafia peradilan" ini sudah menjadi rahasia umum. "Jika mau diselami lebih dalam, kita akan melihat jumlah kasus yang lebih besar," kata Feri kepada Kompas.com, Jumat (23/9/2022).
Feri menambahkan: apa yang terjadi dengan kasus penangkapan OTT hakim dan pegawai Mahkamah Agung beserta para lawyer (yang memberi suap) ini, sebenarnya adalah fenomena gunung es. Bahkan jika investigasi atas mafia peradilan ini dilakukan lebih jauh, tak tertutup kemungkinan bakal terdapat fakta-fakta yang lebih menakutkan, ketimbang yang terjadi dalam OTT KPK Rabu malam.
Feri mengungkapkan, fakta-fakta yang lebih menakutkan adalah permainan perkara di peradilan. Kata Feri, jika saja perkara di pengadilan di buka pengaduan publik, berapa banyak yang diminta suap. Benarkah demikian?
Fakta jika hakim MA tertangkap OTT menjadi indikasi bahwa korupsi makin menggurita, bahkan telah menjangkiti penegak keadilan tingkat tertinggi. Padahal pengadilan adalah tempat untuk memberi keadilan untuk berbagai perkara. Namun jika tempat ini menjadi darurat korupsi, lantas keadilan akan dicari di mana?
Kebiasaan korupsi yang terjadi pada pejabat bukan masalah moral individu yang rendah, intregritas kerja yang kurang atau struktur lembaga yang minus pengawasan. Ada hal yang lebih fundamental dari itu yaitu, penerapan sistem sekuler demokrasi kapitalisme. Sistem kehidupan ini adalah sistem yang batil. Apapun aturan yang keluar dari sistem ini akan membawa kerusakan. Sekularime adalah akidah batil karena memisahkan aturan Allah dari urusan publik. Agama tidak dijadikan pemutus perkara. Mereka tidak mengenal halal haram. Sistem ini menggiring manusia pada sikap egoisme, lemah iman, dan sikap hedonisme. Karena hal inilah yang menjangkiti pemikiran dan perasaan manusia.
Masalah korupsi sejatinya telah menggerogoti di seluruh lini. Semua itu tak lepas dari sistem politik yang mendukung eksistensi sekulerisme adalah Demokrasi. Demokrasi menjadikan manusia berdaulat atas hukum. Mereka bisa membuat, merevisi dan menghapus aturan sesuai kebutuhan. Seperti mekanisme untuk meraih kekuasaan. Dalam demokrasi suara mayoritas adalah syarat legal untuk berkuasa. Maka calon penguasa harus memiliki sokongan dana dari sponsor untuk memenangkan kontestasi pemilu. Inilah penyebab terjadinya korupsi akut dikalangan pejabat.
Sementara mindset yang menguasai manusia saat ini menjadikan materi sebagai orientasi kehidupan. Uang, jabatan dan pamor adalah segalanya. Maka tak ayal lembaga yang seharusnya memberi keadilan menjadi sarang para mafia keadilan.
Dengan demikian problem korupsi adalah problem sistemik dan merupakan cacat lahir dari sebuah sistem yang sulit memberantas korupsi walaupun telah memiliki kendali anti korupsi. Oleh sebab itu kita membutuhkan solusi yang mampu dalam memberantas korupsi hingga ke akar, yakni Syariat Islam yang membawa kebaikan bagi seluruh alam. Hukumnya berdasarkan wahyu yang tetap terjaga hingga akhir masa.
Allah SWT memerintahkan keadilan dalam menetapkan hukum di antara manusia. Seperti dalam Firman-Nya: “Sungguh Allah menyuruh kalian menyampaikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya, juga (menyuruh kalian) jika menetapkan hukum di antara manusia supaya kalian berlaku adil.” (QS An-Nisa’ [4]: 58).
Kita semua mengharapkan hukum ini memberikan rasa adil bagi siapa saja, dari kalangan pejabat hingga rakyat biasa. Namun, jika keadilan bukan bersumber dari zat Yang Maha Adil tentu saja akan memunculkan kezaliman. Karena sesungguhnya definisi adil adalah ketika menempatkan segala suatu atas kehendak Allah SWT.
Islam akan memberikan sanksi dengan tujuan memberi efek jera dan mencegah pihak lain melakukan kejahatan serupa (zawajir) juga sebagai penebus dosa bagi pelaku (jawabir). Tentu saja sanksi ini digali dari hukum syariat Islam dan dijalankan oleh Khalifah/Qadhi.
Hanya saja penerapan berbagai sistem kehidupan tersebut tidak akan terwujud jika sistem yang digunakan masih bermuara pada sistem demokrasi seperti saat ini. Butuh sistem yang dapat membingkainya agar dapat menjadi sebuah aturan yang diridai oleh Allah SWT. Tentu saja hanya sistem yang bersumber dari wahyu Ilahi, yakni syariat Islam. [] Wallahu'alam Bissawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar