Oleh : Indah Kania (Guru Tahfidz)
Sudah beberapa hari berlalu, tetapi tragedi Kanjuruhan masih menyisakan pilu. Sudah sejauh mana perkembangan kasus tersebut? Sabtu (1/10/2022) menjadi hari paling kelam dalam sejarah sepak bola Indonesia.
Ratusan nyawa melayang dan lainnya luka-luka akibat tragedi Kanjuruhan. Kejadian tragis itu bermula dari pecahnya kerusuhan pasca-laga lanjutan Liga 1 Arema FC vs Persebaya Surabaya di yang berakhir dengan skor 2-3.
Oknum suporter Arema FC merangsek masuk ke lapangan tak lama usai wasit meniupkan peluit panjang. Mereka lalu terlibat kericuhan dengan petugas keamanan. Aparat keamanan coba mengendalikan situasi dengan menembakkan gas air mata yang dilarang penggunaannya oleh FIFA.
Tembakan gas air mata tersebut disinyalir menjadi penyebab para suporter mengalami sesak napas, hingga menimbulkan korban jiwa. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Malang, Jawa Timur, pada Selasa (4/10/2022) pukul 10.00 WIB, korban tewas dalam tragedi Kanjuruhan mencapai 131 orang. Insiden di Stadion Kanjuruhan itu pun menjadi salah satu tragedi terbesar dalam sejarah sepak bola dunia.
Sangat disayangkan bisa terjadi trageni ini hingga menelan korban ratusan jiwa karena kelalaian manusia semata. Banyak nyawa yang sia-sia melayang di lapangan yang seharusnya menjadi tempat hiburan masyarakat.
Tidak dapat dipungkiri terjainya peristiwa ini juga karena sikap apatis dari pihak aparat, terbukti jatuhnya korban bermula dari aksi penembakan gas air mata kepada penonton dilapangan. Padahal sudah jelas tindakan itu dilarang oleh FIFA.
Namun begitulah wajah demokrasi sebetulnya. Sistem yang mengusung kebebasan hak Asasi Manusia justru penerapannya dinodai sendiri oleh para aparat didalamnya.
Hilangnya nyawa anak bangsa hanya karena alasan beda yang sepele merupakan tragedi yang sangat memprihatinkan. Tak hanya itu, berbagai peristiwa kriminal berujung pembunuhan dan kecelakaan akibat kelalaian dan salah prosedur yang menimbulkan korban jiwa menunjukkan betapa mudahnya nyawa melayang di negeri ini, seolah nyawa manusia begitu murah harganya. Ini membuat hilangnya rasa aman di tengah–tengah masyarakat.
Sangat berbeda dengan sistem islam atau khilafah. Islam sangat memuliakan manusia apalagi kaitannya dengan penyelamatan nyawa. Sistem yang bersumber pada hukum - hukum islam ini memprioritaskan kebutuhan pengelamatan jiwa menjadi yang utama setelah penyelamatan Deen (Agama).
Khilafah akan memberikan sanksi keras bagi pelaku kajahatan apalagi hingga menimbulkan korban jiwa. Khilafah juga tidak pandang bulu bagi siapa saja pelakunya.
Islam memandang bahwa nyawa manusia itu amat sangat berharga. Firman Allah SWT dalam Surat Al Maidah ayat 32 yang artinya: “… barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya …”
Dalam Islam, nyawa merupakan sesuatu yang sangat berharga. Islam memberikan serangkaian hukum sebagai wujud penjagaan atas nyawa manusia layaknya sesuatu yang sangat berharga. Sistem hukum pidana Islam atau Hudud menggolongkan orang yang membunuh dengan sengaja sebagai hukum Jinayah yaitu hukuman nyawa dibalas nyawa (Qishas).
Hal ini sebagaimana perintah Allah SWT dalam Surat Al Baqoroh ayat 178: “Wahai orang–orang yang beriman, diwajibkan atas kamu melaksanakan qishas berkenaan dengan orang–orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi, barangsiapa yang memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikutinya dengan cara yang baik, dan membayar diat (tebusan) kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhan kamu. Barangsiapa yang melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat siksa yang sangat pedih”.
Sifat hukum pidana Islam adalah sebagai Jawazir (pencegahan) dan Jawabir (penebus dosa maksiat sang pelaku). Hukum Qishas ini kesannya mengerikan (nyawa diganti nyawa), namun apabila Qishas ditegakkan maka akan mewujudkan rasa keadilan bagi keluarga korban. Hukuman ini juga akan memberikan efek jera bagi pelaku pembunuhan. Hukuman ini pula menunjukkan betapa Islam sangat menghargai nyawa manusia dengan memberi ancaman hukuman maksimal (mati) kepada pelaku pembunuhan.
Bahkan jika seandainya keluarga korban memaafkan, sang pelaku pembunuh tidak bisa lepas dari hukuman karena ia wajib membayar diyat (denda, ganti rugi) sebanyak 100 ekor unta, 40 ekor diantaranya harus unta yang sedang bunting (100 ekor onta setara dengan 1.000 Dinar. Jika 1 Dinar = 4,25 Gram emas X 1000 = 4,25 Kg atau kira-kira setara Rp 2,5 Milyar). Demikianlah syariat Islam telah mengatur untuk menjaga nyawa, kehormatan, dan darah manusia. Agar jangan sampai karena persoalan sepele nyawa jadi dihilangkan.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar