DEMOKRASI DALAM SELIMUT KORUPSI


Oleh : Siami Rohmah (Pegiat Literasi)

Tercoreng, kembali peradilan di negeri ini terwarnai korupsi, pasalnya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dalam operasi tangkap tangan menyasar 10 orang yang diduga terlibat dalam kasus suap penanganan perkara di MA (Mahkamah Agung). Dari 10 orang ini satu diantaranya adalah hakim agung, yakni Sudrajad Dimyati. Sementara 9 orang lainnya, 5 orang dari pegawai Mahkamah Agung, 2 orang pengacara dari Intidana, 2 orang pengurus koperasi Intidana.

Sudrajad Dimyati, diduga menerima suap Rp 800 juta atas keputusan pailit untuk perusahaan Intidana. Penangkapan Sudrajad menambah panjang daftar hakim di Indonesia yang terjerat korupsi. Indonesia Corruption Watch (ICW) melalui Laoli Easter menyebutkan, setidaknya ada 21 hakim yang sudah terlibat korupsi. Sementara untuk Sudrajad sendiri memang memiliki rekam jejak yang kurang baik, di tahun 2013 Sudrajad diduga berusaha menyuap komis III DPR RI dalam fit and proper test pencalonan hakim agung. Meskipun saat itu dugaan tidak terbukti, dan Sudrajad tidak lolos menjadi hakim agung. Namun, di tahun 2014 Sudrajad diangkat sebagai hakim agung kamar perdata.

Merespon penangkapan hakim agung Sudrajad Dimyati, Menkopolhukam (Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan) Mahfud MD mengundang 29 orang dari kalangan pakar hukum dan aktivis. Mahfud menyebut langkah mengundang para pakar dan aktivis ini dalam rangka upaya reformasi hukum, sebagai tindak lanjut penugasan dari presiden Jokowi kepada Menkopolhukam dalam upaya reformasi ini.

Demokrasi sebagai bagian dari kapitalisme yang dianut negeri ini dalam menentukan arah kebijakan negara memang memberikan ruang yang memungkinkan terjadinya korupsi. Itu terlihat dari bagaimana perkembangan grafik korupsi yang semakin menggurita. Mulai dari pejabat eksekutif, legislatif sampai yudikatif. Dari pusat sampai daerah demokrasi diselimuti korupsi.

Sudah menjadi tabiat kapitalisme sebagai ibu demokrasi yang menghalalkan segala cara untuk mendapat keuntungan. Budaya suap sudah mendarah daging dalam demokrasi. Ketika mereka ingin menjabat, apapun jabatannya, sudah menjadi rahasia umum, suap-suap mudah saja dilakukan. Bahkan dengan nominal yang tidak sedikit. Contoh saja disaat pemilu atau pilkada para kontestan berebut pengaruh dengan tawaran materi. Ini tentu sudah nyata di pelupuk mata.

Kemudian yang sudah kita saksikan, ketika mereka yang berhasil dalan kontestasi, kemudian menjabat, apapun itu jabatannya, berpikir bagaimana mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan ketika pencalonan, maka suap kanan kiri akan diterima tanpa perduli halal haram lagi. Belum lagi mental rakyat yang juga sudah teracuni, sehingga biasa melakukan suap sana sini untuk memuluskan tujuan yang dicari. Ditambah lagi lemahnya penegakan hukum bagi para pelaku yang terlibat suap tidak memberikan efek jera sama sekali. Bahkan ketika pejabat yang melakukan aksi korupsi, dipenjarapun mereka difasilitasi.

Fenomena korupsi dalam demokrasi memang seperti gunung es. Yang tidak tampak jauh lebih besar. Jika demokrasi tak kunjung memberi solusi untuk masalah korupsi, berbeda dengan Islam yang akan memberikan solusi tanpa tapi. Berikut solusi Islam dalam mencegah dan mengatasi korupsi.

Pertama, membentuk individu bertakwa. Ketika seorang manusia bertakwa, apapun jabatannya, maka dia akan merasa terus diawasi oleh Allah. Mereka tidak akan berani melanggar laranganNya, termasuk korupsi. Membentuk individu seperti ini tentu tidak instan, butuh sistem yang mendukung kesana. Islam mensuasanakan pembentukan individu bertakwa, mulai dari dalam lingkungan keluarga dan pendidikannya.

Kedua, masyarakat yang peduli. Masyarakat akan terbiasa melakukan amar ma'ruf nahi munkar. Jadi ketika melihat pelanggran, atau mengetahui orang lain akan melakukan pelanggaran mereka tidak segan melaporkan kepada petugas yang berwenang. Bukan mendiamkan, apalagi bersama ikut arus dalam pelanggaran.

Ketiga, pengawasan yang ketat. Umar bin Khattab pernah mengangkat Muhammad bin Maslamah sebagai pengawas keuangan.Tugasnya adalah mengawai kekayaan pejabat negara. Islam menerapkan pembuktian terbalik. Jika pejabat memiliki kelebihan harta yang tidak wajar, maka dia harus membuktikan darimana hartanya didapat. Jika tidak dapat membuktikan berarti korupsi. Sungguh sederhana.

Keempat, sanksi tegas. Sanksi dalam Islam berfungsi sebagai penebus dosa dan efek jera. Tidak ada pandang bulu dalam pelaksanaannya. Sehingga orang akan berpikir seribu kali jika akan melakukan tindakan yang sama.

Namun, semua ini hanya bisa dilakukan jika syari'at Islam diterapkan. Jika masih demokrasi kapitalisme yang diterapkan, maka bisa dipastikan kenyataan akan tetap jauh dari harapan. Wallahualam bissawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar