Skor PPH Tidak Menggambarkan Realita


Oleh : Sri Setyowati (Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)

Pola Pangan Harapan (PPH) adalah komposisi kelompok pangan utama yang bila dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya. PPH merupakan susunan beragam pangan yang didasarkan atas proporsi keseimbangan energi dari berbagai kelompok pangan untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya, baik dalam jumlah maupun mutu dengan mempertimbangkan segi daya terima, ketersediaan pangan, ekonomi, budaya dan agama. PPH ini ditunjukkan melalui skor dengan skor maksimal 100. Oleh karena itu semakin beragam dan proporsional konsumsi pangan masyarakat maka skor PPH-nya makin tinggi.

Badan Pangan Nasional (Bapanas) mengatakan bahwa skor PPH yang merupakan indikator tingkat kualitas konsumsi pangan masyarakat, mengalami peningkatan pada tahun 2023. Hal ini dijelaskan oleh Plt Sekretaris Utama Bapanas, Sarwo Edhy, bahwa sebuah tolok ukur dalam melihat situasi keberagaman konsumsi pangan yang merupakan salah satu titik masuk (entry point) untuk memantapkan ketahanan pangan nasional yang kokoh, mandiri dan berdaulat.

Skor PPH Tahun 2023 sebesar 94,1. Capaian ini lebih tinggi dari skor PPH tahun 2022 yang tercatat di angka 92,9. Dengan capaian tersebut, Bapanas menetapkan target capaian skor PPH untuk tahun 2024 sebesar 95,2 dari skor ideal 100. Peningkatan ini, dalam usaha mendorong pola konsumsi masyarakat Indonesia, yang Beragam, Bergizi Seimbang dan Aman (B2SA) yang berdasarkan target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2023 mencapai PPH 94. Dan target tahun 2024, diyakini dapat mendorong percepatan penganekaragaman konsumsi pangan masyarakat untuk menangani berbagai permasalahan pangan, seperti pengentasan daerah rawan pangan dan gizi serta penurunan angka stunting di Indonesia.

Bapanas juga terus memastikan masyarakat memiliki akses pangan yang cukup, merata, dan terjangkau melalui berbagai upaya seperti intervensi bantuan pangan, hingga sosialisasi pangan B2SA ke anak sekolah, kalangan ibu-ibu hingga komunitas.Sedangkan tujuan akhir yang ingin dicapai adalah setiap individu mampu memperoleh pangan yang cukup, beragam, bergizi seimbang, dan aman sehingga dapat hidup sehat, aktif, dan produktif. (antaranews.com, 16/02/2024)

Sedangkan Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kemenko PMK Y. B. Satya Sananugraha mewakili Menko PMK Muhadjir Effendy menjadi pembicara kunci dalam acara Executive Forum dengan tema “Menuju Indonesia Bebas Stunting” yang diselenggarakan oleh Media Indonesia di Hotel Ritz Carlton Kuningan Jakarta, pada Kamis (20/7/2023) mengatakan bahwa angka stunting kita masih termasuk tinggi, sebesar 21,6 persen menurut SSGI tahun 2022. Secara global, berdasarkan data UNICEF dan WHO angka prevalensi stunting Indonesia menempati urutan tertinggi ke-27 dari 154 negara yang memiliki data stunting, menjadikan Indonesia berada di urutan ke-5 diantara negara-negara di Asia. (kemenkopmk.go.id, 21/07/2023)

Tentu saja hal tersebut berbanding terbalik dengan realitas kondisi masyarakat yang ada saat ini. Skor PPH naik, namun kemiskinan dan  angka stunting masih tinggi. Stunting merupakan indikator buruknya kuantitas dan kualitas pangan pada anak karena akses rakyat terhadap makanan tidak terwujud dengan baik akibat kemiskinan. Harga pangan,  khususnya beras terus melaju naik. Kenaikan itu tentu akan menurunkan daya beli masyarakat karena ketidakmampuan mereka dalam mengakses pangan yang berkualitas. Jangankan untuk memenuhi pangan secara seimbang, untuk bisa memenuhi makan sehari-hari saja masih sulit dicapai oleh masyarakat bawah. Hanya orang-orang kaya saja yang bisa mengakses pangan yang berkualitas dan seimbang,  sedangkan masyarakat yang mayoritas miskin makin sulit mengaksesnya.

Sistem politik ekonomi kapitalis yang diterapkan saat ini menjadikan negara hanya sebatas sebagai regulator dan fasilitator. Negara tidak sepenuhnya mengurusi urusan pangan tetapi diserahkan kepada korporasi baik BUMN maupun swasta. Seperti yang kita ketahui semua, prinsip kapitalis dalam mengelola pangan hanya berdasarkan bisnis semata. Mengejar sebanyak-banyaknya keuntungan dan tidak ada fungsi pelayanan kepada rakyat. Selain itu, korporasi bebas menguasai seluruh jaringan penyediaan pangan, sehingga harga, jenis dan kualitas pangan yang dikonsumsi masyarakat bisa ditentukan oleh korporasi.

Islam memiliki sistem politik dan ekonomi yang sangat berbeda dengan kapitalisme di mana politik ekonomi Islam benar-benar berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Jaminan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat individu per individu dengan standar yang layak. Tanggung jawab utama ada pada kepala negara, tidak boleh dialihkan kepada yang lain, apalagi korporasi. Rasulullah SAW bersabda,  “Imam (khalifah) itu laksana penggembala dan dia  bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Aset publik tidak boleh diprivatisasi oleh swasta. Negara hanya mengelola, hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat. Pemenuhan jaminan pangan diberikan secara langsung dan tidak langsung. Secara tidak langsung dijalankan dengan cara memampukan para penanggung jawab nafkah (laki-laki) untuk bekerja sehingga peran negara adalah menyediakan pendidikan, pelatihan hingga membuka lapangan kerja. Sedangkan yang secara langsung,  diterapkan kepada anggota masyarakat yang tidak mampu, baik karena cacat, sakit, lemah, dan sebagainya, diberikan secara langsung dari baitulmal.

Penerapan sistem ekonomi Islam akan mewujudkan stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan karena mekanisme ekonominya juga menjamin terwujudnya distribusi kekayaan ke seluruh rakyat sehingga kemiskinan bisa diturunkan secara signifikan.

Hanya sistem Islam yang mempunyai keunggulan dalam menyelesaikan masalah karena datangnya dari Allah SWT.

Wallahu a'lam bi ash-shawab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar