Oleh : Masrina Sitanggang, S.Pd (Guru dan Aktivis Dakwah)
Deforestasi adalah kegiatan menebang hutan atau tegakan pohon sehingga lahannya dapat dialihgunakan untuk penggunaan nonhutan, seperti pertanian dan perkebunan, peternakan, atau permukiman. Sejatinya, berdasarkan data Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) tahun 2022, Indonesia adalah negara dengan luas hutan nomor delapan di dunia. Luas hutan Indonesia mencapai 92 juta hektare. Dengan hutan yang demikian luas, Indonesia memiliki peran besar dalam menyerap emisi karbon dan menyelesaikan persoalan iklim secara global.
Sayangnya, peran ini tidak dipertahankan oleh Indonesia karena hutan kita justru makin habis. Databoks Katadata pada 19-1-2024 menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara kedua yang paling banyak kehilangan hutan primer tropis (humid tropical primary forest) dalam dua dekade terakhir. Hutan primer tropis adalah hutan berusia tua yang memiliki cadangan karbon besar dan kaya akan keragaman hayati. Hal ini tercatat dalam laporan Global Forest Review dari World Resources Institute (WRI).
Berikut daftar 10 negara yang paling banyak kehilangan hutan tersebut selama periode 2002-2022: Brasil: 29,5 juta hectare, Indonesia: 10,2 juta hectare, Rep. Demokratik Kongo: 6,3 juta hectare, Bolivia: 3,7 juta hectare, Malaysia: 2,8 juta hectare, Peru: 2,5 juta hectare, Kolombia: 1,9 juta hectare, Kamboja: 1,4 juta hectare, Paraguay: 1,1 juta hectare, Laos: 1 juta hectare.
Sementara itu, data dari Badan Informasi Geospasial (BIG) juga mengonfirmasi masifnya deforestasi. Pada 2022, luas hutan Indonesia mencapai 102,53 juta hektare. Salah satu wilayah yang banyak mengalami deforestasi adalah Riau. Catatan Akhir Tahun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) region Sumatra menunjukkan bahwa Riau mengalami deforestasi hutan hingga 20.698 hektare sepanjang 2023. Angka deforestasi tersebut lebih luas dari rata-rata per tahun dalam lima tahun terakhir. Walhi mengungkapkan bahwa sekitar 57% daratan Riau telah dikuasai investasi. (CNN Indonesia, 12-1-2023).
Demi investasi di wilayah tersebut, pemerintah telah memberikan izin kepada 273 perusahaan kelapa sawit, 55 hutan tanaman industri (HTI), 2 hak pengusahaan hutan (HPH), dan 19 pertambangan. Luas kebun kelapa sawit di Riau yang berada dalam kawasan hutan mencapai 1,8 juta hektare. Walhi memandang UU 6/ 2023 tentang Cipta Kerja telah memfasilitasi keberadaan kebun sawit di dalam kawasan hutan. Mirisnya, alih-alih menghentikan alih fungsi hutan, pemerintah justru memutihkan 3,3 juta ha kebun sawit. Artinya, deforestasi tersebut seolah dibenarkan dan direstui negara.
Akibat masifnya deforestasi, terjadilah bencana dan kesulitan hidup bagi rakyat. Rakyat kehilangan ruang hidup dan menjadi korban bencana alam seperti banjir bandang, kebakaran hutan, tanah longsor, kenaikan suhu secara global, hilangnya sumber air, punahnya ekosistem, dan lainnya. Pada saat para kapitalis (pemilik modal) berpesta cuan sebagai hasil menggunduli hutan, rakyat menangis dalam penderitaan.
Faktanya pada tanggal 13 januari 2024 Riau diterpa banjir yang mengakibatkan ribuan warga terpaksa mengungsi. Edya Afrizal mengatakan jumlah korban banjir di Provinsi Riau yang mengungsi terus bertambah dan jumlah warga provinsi itu yang mengungsi akibat banjir sudah mencapai 6.467 jiwa. Untuk kabupaten dengan jumlah pengungsi terbanyak adalah Kabupaten Rokan Hilir, yakni 3.992 warga karena rumah mereka terendam banjir. "Di Kabupaten Kepulauan Meranti tercatat sebanyak 2.240 jiwa yang mengungsi akibat terdampak banjir. Di Kabupaten Bengkalis ada 191 jiwa dan di Kota Dumai 44 orang. Kita turut berduka, karena banjir mengakibatkan empat meninggal. Sebanyak 4.686 kepala keluarga (KK) atau 18.744 jiwa warga Riau yang terdampak," katanya. Banjir menggenangi ribuan unit rumah dan fasilitas umum, seperti jalan, masjid dan sekolah. 29 SMA sederajat di Riau meliburkan siswa mereka, karena ruang kelas terendam, begitu juga untuk sekolah dasar.
Masifnya deforestasi merupakan akibat penerapan sistem kapitalisme yang memisahkan aspek pembangunan dengan pelestarian lingkungan yang diperintahkan oleh agama. Seolah melesatnya pembangunan hanya bisa diperoleh dengan mengorbankan lingkungan. Pada akhirnya, pertumbuhan ekonomi dinomorsatukan. Demi meraih pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pembangunan harus digenjot, meski dengan merusak hutan. Kapitalisme juga menuhankan keuntungan materi sehingga segala cara boleh ditempuh demi menangguk untung. Keuntungan menjadi sesuatu yang sangat dominan dan bahkan menjadi tujuan setiap perbuatan. Akibatnya, pengusaha kapitalis menghalalkan segala cara demi meraih keuntungan, termasuk dengan merusak hutan, membakarnya, dll.
Adapun terjadinya krisis ruang kehidupan yang menyertai deforestasi adalah karena hutan alam juga sebagai habitat sebagian besar spesies tumbuhan dan hewan darat yang kehidupan sehari-hari tergantung padanya.
Sungguh, konsep sekularisme kapitalisme bertentangan dengan tujuan keberadaan masyarakat Islam dan paradigma, serta konsep yang menyertainya. Khususnya pada konsep hutan sebagai milik umum. Rasulullah saw. bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal, yakni air, rumput, dan api. Harganya adalah haram.” (HR Ibnu Majah).
Barang tambang dengan deposit berlimpah juga berstatus milik umum. Ini ditegaskan dalam HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi tentang perbuatan Rasulullah saw. yang mencabut pemberian tambang garam karena depositnya yang melimpah.
Sementara itu, aspek yang membahayakan kehidupan harus disterilkan dalam pengelolaannya, termasuk pemberian hak konsesi. Ini ditegaskan Rasulullah saw., “Tidak boleh membahayakan diri dan membahayakan orang lain.” (HR Ahmad, Malik, dan Ibnu Majah). Juga sabdanya, “Tidak ada hima, kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya.” (HR An-Nasa’i).
Hal ini selaras dengan konsep keberadaan negara sebagai perisai dari segala kerusakan. Negara adalah pihak yang berada di garda terdepan, pencegah segala perkara yang akan menjauhkan masyarakat dari tujuan keberadaan masyarakat Islam.
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Ia akan dijadikan perisai yang orang-orang akan berperang di belakangnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian, negara berfungsi sebagai pihak yang bertanggung jawab langsung dan penuh atas pengurusan kehidupan mereka, termasuk perkara pengelolaan SDA, seperti hutan, barang tambang, dan lahan.
Bukan hanya bisa menjaga kelestarian, tetapi juga berfaedah maksimal bagi kehidupan masyarakat. Ini karena negara menjadi pihak yang bertanggung jawab sepenuhnya menjamin pemenuhan kebutuhan hidup, yakni sandang, pangan, pemukiman, dan perumahan sebagai kebutuhan pokok individu. Juga kebutuhan pokok publik berupa pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Rasulullah saw. bersabda, “Imam/khalifah laksana gembala dan hanya ialah yang bertanggung jawab terhadap yang ia gembalakan.” (HR Bukhari dan Muslim).
Proyek ini dijamin sukses karena berlangsung di atas sejumlah prinsip sahih yang terpenting. Pertama, falsafah amal dalam Islam sebagai spirit khalifah dan jajarannya dalam pelaksanaan megaproyek ini. Kedua, kekuasaan sentralisasi dan administrasi desentralisasi. Ketiga, anggaran mutlak berbasis baitulmal. Keempat, strategi pelaksanaan (termasuk pemanfaatan teknologi terkini) mengacu pada tiga hal, yakni kesederhanaan aturan, cepat dalam pelaksanaan, dan dilakukan oleh individu yang kapabel.
Di dalam sistem Islam, manusia diperintahkan untuk menjaga kelestarian alam dan tidak boleh melakukan kerusakan di muka bumi. Allah berfirman, “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik.”
Pembangunan bertujuan untuk kemaslahatan masyarakat sehingga dilakukan dengan cara yang bertanggung jawab, bukan cara yang eksploitatif. Pembangunan di dalam sistem Islam membawa kebaikan dan keberkahan bagi manusia, hewan, maupun alam.
Komitmen penuh Khilafah dalam pelestarian hutan akan membawa dampak global, yaitu lestarinya bumi. Dengan demikian, terwujudlah rahmat bagi semesta alam. Wallahualam bissawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar