Menaikkan Pajak Kendaraan Bermotor Untuk Atasi Polusi, Tepatkah?



Oleh: Maria Ulfa, S.S (Anggota Lingkar Studi Muslimah Bali)

Untuk mengatasi polusi udara di Jabodetabek pemerintah berencana akan menaikkan pajak kendaraan bermotor. Solusi ini tentu perlu dikaji lagi mengingat banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya polusi udara. 

Dipaparkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya, terkait peningkatan kualitas udara Jabodetabek, dalam Rapat Terbatas Kabinet di Istana Negara, Jakarta Senin (14/8/2023), bahwa sektor transportasi dinilai sebagai pengguna bahan bakar paling besar di Jakarta (CNBCIndonesia.com 28/9/2023). Ia menyebutkan bahwa dari sisi penghasil emisi karbon monoksida (CO) terbesar, yakni disumbang dari sektor transportasi sebesar 96,36% atau 28.317 ton per tahun, namun ia juga menyebutkan bahwa  sektor industri manufaktur menjadi kontributor utama penghasil emisi SO2 yakni sebesar 2.631 ton per tahun atau sebesar 61,9%. Sedangkan posisi kedua penghasil emisi SO2 terbesar ditempati industri energi yaitu 1.071 ton per tahun atau sebesar 25,17%. Sedangkan kendaraan bermotor hanya 11% sebesar 493 ton per tahun (CNBCIndonesia.com 28/9/2023).

Dari paparan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa polusi udara tidak hanya berasal dari kendaraan bermotor. Sehingga, rencana untuk menaikkan pajak kendaraan bermotor perlu dikritisi dan ditolak. Perlu dicari solusi alternatif selain menaikkan pajak, karena rakyat sudah cukup sengsara dengan tingginya harga-harga kebutuhan pokok, maka jangan ditambah lagi dengan mencekik dengan kenaikan pajak kendaraan bermotor. Sedangkan pemerintah tidak memahami betul kondisi rakyatnya, tidak mengetahui apa sebabnya rakyat lebih memilih menggunakan kendaraan bermotor dibandingkan kendaraan yang lain.


Mengapa Masyarakat Lebih Memilih Kendaraan Bermotor dibanding Kendaraan lain?

Kendaraan bermotor, khususnya sepeda motor memang menjadi pilihan nomor satu bagi masyarakat saat ini dikarenakan lebih memudahkan orang untuk menuju suatu tempat tanpa perlu berhenti di halte-halte atau terminal-terminal. Hal ini disebutkan pula oleh Kepala Pusat Data dan Informasi (Kapusdatin) Dishub DKI Jakarta, Anton Parura walaupun belum ada survei terkait fenomena itu. Ia juga mengakui bahwa pengguna roda dua itu dari tahun ke tahun pasti naik, antara lain karena begitu mudahnya mendapatkan kendaraan roda dua dengan sistem kredit yang cukup terjangkau (MediaIndonesia.com 27/2/2023).

Dari sini, harusnya pemerintah memahami bahwa masyarakat menghendaki kendaraan yang memudahkan dan berongkos rendah. Di samping itu, saat ini kendaraan sudah bisa dikategorikan sebagai kebutuhan primer yang mengantarkan masyarakat untuk mencari nafkah. Pengecualian bagi pengguna motor yang sekedar untuk bergaya. Oleh karena itu perlu dilakukan pula pembatasan yang tegas terkait jumlah kendaraan bermotor yang boleh dimiliki oleh satu keluarga. Perlu pula peraturan yang tegas bagi perusahaan yang memproduksi kendaraan bermotor, beserta dealer yang menjual kendaraan bermotor agar mau tunduk dengan regulasi pemerintah demi menekan jumlah penggunaan kendaraan bermotor yang semakin meningkat setiap tahunnya.

Jika pemerintah berinisiasi untuk mengalihkan penggunaan kendaraan bermotor ke penggunaan kendaraan listrik, maka pemerintah perlu memperhatikan kesiapan warga terlebih dahulu.

Kalau memang dinilai kendaraan listrik akan mampu mengurangi polusi udara, maka perlu pemerintah memudahkan masyarakat untuk memiliki kendaraan listrik. Misal dengan memberikan harga yang murah, atau menetapkan tarif transportasi umum listrik yang murah. Tentu saja dengan memperbaiki tingkat keamanannya juga, karena masih sering terjadi kecelakaan angkutan umum, bahkan kecelakaan kereta api.


Tidak Adakah Cara Lain, Selain Menaikkan Pajak?

Menaikkan pajak seringkali diambil dalam kebijakan sistem pemerintahan demokrasi kapitalisme. Pemerintah tidak memahami bagaimana kondisi rakyat yang sesungguhnya. Mereka lebih cenderung mengedepankan kepentingan para pengusaha dan investor yang membangun perusahaan-perusahaan besar di dalam negeri yang dalam prakteknya juga menghasilkan polusi udara yang tinggi. Mengapa tidak ada wacana untuk menaikkan pajak bagi mereka juga? Apakah beraninya hanya kepada rakyat biasa saja, kepada pengusaha dan investor tak bisa berkutik.


Bagaimana Islam Memandang Penerapan Pajak?

Istilah yang tepat untuk menyebutkan kata pajak dalam sistem ekonomi Islam adalah 'dharibah', yang artinya beban. Disebut beban karena pajak merupakan kewajiban tambahan (tathowwu') bagi kaum muslimin setelah zakat, sehingga dalam penerapannya akan dirasakan sebagai sebuah beban atau pikulan yang berat (Qardhawi, Fiqhuz Zakah, bab Zakah wa Dharibah, 1973). Secara etimologi, 'dharibah' yang berasal dari kata dasar (dharaba, yadhribu, dharban) yang artinya mewajibkan, menetapkan, menentukan, memukul, menerangkan atau membebankan, dan lain-lain.  Dalam Al-Qur'an, kata dengan akar kata dha-ra-ba terdapat dalam beberapa ayat, antara lain dalam QS. Albaqarah: 61......wa dhorobat 'alaihimudz dzillata wal masakanah..., yang artinya "lalu ditimpakanlah kepada mereka nista dan kehinaan". 'Dharaba' adalah bentuk kata kerja (fi'il), sedangkan 'dharibah' adalah kata bendanya (isim), yang dapat diartikan 'beban'. 'Dharibah' adalah isim mufrad (kata benda tunggal), dengan bentuk jamaknya adalah 'dharaaib'. Dalam contoh pemakaian, jawatan perpajakan di negara Arab disebut dengan maslahah 'ad-dharaaib'.

Ada juga ulama atau ekonomi muslim dalam berbagai literatur menyebut pajak dengan padanan kata / istilah 'kharaj' (pajak tanah) atau 'ushr' (bea masuk) selain 'jizyah' (upeti), padahal ketiganya berbeda dengan dharibah. Objek pajak (dharibah) adalah al-maal (harta/penghasilan) , objek jizyah adalah jiwa (an-nafs), objek kharaj adalah tanah (status tanahnya) dan objek  'ushr adalah barang masuk (impor). Oleh karena objeknya yang berbeda, maka jika dipakai istilah jizyah, kharaj atau ushr untuk pajak akan rancu dengan dharibah.

Oleh sebab itu, biarkanlah pajak atas tanah disebut kharaj, sedangkan istilah yang tepat untuk objek pajak berupa harta atau penghasilan adalah dharibah.

Pendapatan dalam sistem ekonomi Islam sudah sangat besar diperoleh dari ghanimah, fa'i, 'ushr/ 'usyur,  kharaj, jizyah, harta kepemilikan umum, khumus (barang temuan dan barang tambang), harta yang tidak ada ahli warisnya, dan zakat. 

Sedangkan pajak atau dharibah adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh kaum muslimin golongan aghniya' atau orang kaya untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang diwajibkan atas mereka di saat Baitul Mal (kas negara) defisit atau tidak ada harta atau saat kondisi paceklik. Maka pada saat ekonomi pulih, penarikan pajak pun dihentikan.

Maka dalam Islam tidak akan ada pajak atas semua barang dan urusan umat. Berbeda sekali dengan sistem kehidupan demokrasi saat ini, di mana kita jumpai dan rasakan sendiri terkait tarikan pajak di berbagai kebutuhan umat. Penarikannya pun tak pandang bulu, dan entah sampai kapan waktunya rakyat harus terus menerus membayar pajak atas harta yang mereka miliki. Maka wajar, jika disebutkan bahwa pendapatan terbesar negeri demokrasi berasal dari pajak. 

Anehnya, kekayaan negara berupa tambang yang sangat besar nilainya justru diserahkan kepada swasta, dan dominannya swasta dan investor asing. Negara yang seharusnya mengelolanya sendiri dan mengalokasikan hasilnya untuk pos-pos kebutuhan mendasar bagi rakyatnya, seperti kebutuhan dalam bidang pendidikan, kesehatan dan keamanan, negara demokrasi kapitalisme hanya berperan sebagai fasilitator bagi para kapitalis raksasa untuk mengeksploitasi kekayaan negara dengan hanya mendapatkan keuntungan sebagian kecil saja. Yang terbesar tetap didapat dari pajak yang ditarik kepada rakyatnya. Ini adalah bentuk kedzaliman yang nyata! Padahal perusahaan industri dan pertambangan itu juga sering melanggar aturan dan merusak lingkungan dan turut meningkatkan polusi udara.

Sudah saatnya umat bangkit dengan menyuarakan Islam sebagai pedoman kehidupan atau ideologi yang juga memuat pemecahan segala permasalahan kehidupan. Sudah saatnya umat menyuarakan pentingnya pengaturan Islam dalam kehidupan yang hanya dengannya kedzaliman dapat terhapuskan secara tuntas. 

Wallahua'lam bishawwab




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar