Pencetak Generasi Peradaban


Oleh : Ulianafia (Ummu Taqiyuddin)

Untuk Hari Esok yang Dekat

Hari esok, dalam pandangan siapapun, adalah waktu yang amat dekat; amat pendek; amat cepat kedatangannya; tak lebih dari beberapa jam saja setelah hari ini. Sebagaimana hari esok yang disebutkan dalam surat Al Hasyr ayat 18 berikut, "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan hendaknya setiap diri memperhatikan apa yang telah dia perbuat (sebagai bekal) untuk hari esok. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha awas atas apa saja yang kalian lakukan".

Imam ath-Thabari, Imam al-Alusi dan para mufassir lainnya dalam kitab tafsirnya masing-masing umumnya sepakat yang dimaksud hari esok dalam ayat di atas adalah Hari Kiamat. Mengapa Hari Kiamat Allah SWT istilahkan dengan hari esok? Tidak lain karena begitu dekatnya Hari Kiamat itu sehingga laksana hari esok. Dengan kata lain, kehidupan dunia ibarat hari ini, sementara kehidupan akhirat ibarat hari esok. 

Untuk membayangkan betapa dekatnya Hari Kiamat ini sehingga Allah SWT menyebutnya dengan hari esok, bisa dengan kita membayangkan masa kecil kita, saat usia TK atau SD. Seakan semua masih terbayang dengan jelas di pelupuk mata kita. Padahal saat ini usia kita ada yang 20 tahun, 40 tahun, 60 tahun dan bahkan sudah mempunyai anak dan cucu. Namun, saat kita membayangkan masa kecil, sepertinya hal itu baru kemarin kita alami. Artinya, usia 20, 30, atau 60 tahun sesungguhnya bukanlah usia yang panjang. Rentang waktu tersebut sesungguhnya amatlah pendek. 

Tentu akan terasa lebih pendek lagi jika usia kita bandingkan dengan usia jagad raya yang menurut para ahli diciptakan oleh Allah SWT miliaran tahun yang lalu. Tentu usia manusia hanya setitik noktah yang tidak kelihatan dibandingkan dengan panjangnya garis usia jagad raya yang mungkin miliaran kilometer. Maka, dari itu, Allah SWT menyebut tibanya Hari Kiamat itu yang sebagai ujung kehidupan ini dengan istilah hari esok. Bahkan karena begitu amat cepat kedatangan Hari Kiamat itu, Allah SWT sampai berfirman (yang artinya): "Tidaklah (waktu kedatangan) Hari Kiamat itu kecuali seperti kedipan mata atau lebih cepat dari itu" ( QS an-Nahl:77).


Bekal untuk Hari Esok

Setiap perjalanan manusia pasti membutuhkan bekal. Maka, menjadi kepastian bekal itu untuk perjalanan yang begitu panjang. Yaitu perjalanan hari esok yang tentunya tidak ada batasan waktu. Sebagaimana Allah SWT telah mengingatkan kita dalam firmanNya untuk memperhatikan bekal kita.

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dia perbuat untuk hari esok; bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah mengawasi apa saja yang kalian lakukan" (TQS al Hasyr:18)

Imam Ali ash-Shabuni, di dalam kitab tafsirnya, Shafwah at-Tafasir, saat menafsirkan ayat tersebut menjelaskan antara lain 3 (tugas) hal penting. Pertama: Bertakwalah kepada Allah, maknanya adalah takut kepada Allah dan merasa khawatir dengan azab-Nya, dengan cara menjalankan seluruh perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Sebab, iman sendiri, sebagaimana sabda Baginda Nabi Saw., bukan sekedar pengakuan di mulut, dan pembenaran di kalbu, tetapi butuh pembuktian dalam amal perbuatan. 

Hal ini bisa dipermisalkan, meski kondisi membutuhkan namun tidak akan tergiur dengan pinjaman riba, meski cuaca sedang panas namun tetap ia menutup aurat secara sempurna, meski dalam kondisi sakit tetap ia jalankan kewajiban sholat, dll. 

Kedua: Hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dia perbuat untuk hari esok, maknanya adalah: hendaklah setiap orang memperhatikan amal sholih apa yang telah dia perbuat untuk bekal menghadapi Hari Kiamat. 

Amal sholih di sini ialah seluruh amal kebajikan yang menurut para ulama harus memenuhi 3 (tiga) syarat: (1) Dilandasi oleh imam kepada Allah SWT. Dengan demikian, amal apapun yang dalam pandangan manusia dianggap baik (misal: gemar menolong sesama, dermawan, dll) tidak disebut sebagai amal sholih di mata Allah SWT selama pelakunya adalah kafir. (2) Didasari niat semata-mata ikhlas karena Allah SWT.

Cirinya, tidak riya dan sum'ah (berharap pujian dari manusia) serta beramal dengan amal yang terbaik kualitasnya. Ikhlasnya sholat seseorang misalnya, selain tidak disisipi sikap Riya dan sum'ah, tampak dari kualitas sholatnya yang khusuk dan khundu', tuma'ninah, tidak tergesa-gesa, bacaannya tartil dll. Dakwah yang ikhlas misalnya, dakwah yang selalu disiapkan dengan optimal dan direncanakan dengan matang, tegas dan lurus dalam penyampaian/tidak samar dalam menyatakan halal-haram, didasarkan pada hujjah yang Haq, dengan tutur kata yang baik serta didasarkan pada rasa cinta kepada yang didakwahi, dll. (3) Sesuai dengan tuntutan Rasulullah Saw. Termasuk dalam hal tatacara kecuali dalam hal yang terkait dengan uslub dan wasilah. Semua amal kebajikan seperti, sholat, shaum, zakat, haji, cara berpakaian (menutup aurat), mencari rezeki, menjemput jodoh, bersedekah, menuntut ilmu, berdakwah, berjual beli, berpolitik, mengurus rumah tangga dan keluarga, dll bisa dikategorikan sebagai amal shalih jika memenuhi kriteria di atas. Semua amal shalih itu adalah bekal seseorang untuk menghadap Allah SWT pada Hari Akhir nanti. 

Ketiga: Hari Kiamat disebut dengan hari esok karena begitu dekat saat kedatangannya. Berdasarkan penjelasan Imam Ali ash-Shabuni ini, jelas bahwa terjadinya hari kiamat sangatlah cepat. Hal ini bisa dipahami karena usai kehidupan manusia di dunia ini sesungguhnya amatlah singkat dibandingkan kehidupannya nanti di akhirat yang abadi. Usia manusia di dunia saat ini rata-rata berkisar 60-70 tahun. Dan jika dibandingkan dengan kadar sehari diakhirat sama dengan 50.000 tahun di dunia (QS. al Ma'arij:4), sungguh usia manusia ini hanya berkisar 2 menitan saja. 

Namun, kehidupan yang super singkat inilah yang menentukan apakah manusia bahagia (masuk surga) atau sengsara (masuk neraka) di kehidupan akhirat nanti. Akhirat itulah yang Allah SWT sebut dengan hari esok. Maka, tentu tidak ada waktu lagi untuk manusia yang paham akan perjalanan hidup ini, kecuali seluruhnya untuk menjalankan ketaatan kepada Rabbnya secara totalitas. 

Wallahu'alam.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar