Sertifikasi Halal, Untuk Kepentingan Kapitalis?


Oleh : Erni Setianingsih (Aktivis Muslimah)

Sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), produk yang masuk, beredar dan diperdangangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Kewajiban bersertifikat halal ini sesuai dengan peraturan pemerintah nomor 39 tahun 2021 tentang penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal (BJPH). Di atur dengan penahapan di mana masa penahapan pertama kewajiban sertifikat halal akan berakhir 17 oktober 2024.

"Berdasarkan regulasi Jaminan Produk Halal (JPH), ada tiga kelompok produk yang harus bersertifikat halal seiring dengan berakhirnya penahapan pertama tersebut. Pertama, produk makanan dan minuman. Kedua, bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk makanan dan minuman. Ketiga, produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan." Kata Kepala BPJPH Kemenag Muhammad Aqil Irham, di Jakarta, Kamis (1/2/2024). (bpjph.halal.go.id, 02/02/2024).

Tidak dapat dimungkiri, bahwa saat ini masih banyak produk makanan dan minuman yang masih belum memiliki label sertifikasi halal. Untuk itu, Badan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementrian Agama mengharuskan semua produk makanan dan minuman yang diperniagakan di Indonesia mengurus sertifikasi halal. 

Kebijakan yang dibuat berlaku bagi seluruh pedagang, termasuk pelaku usaha mikro dan kecil (UMK). Apabila ditemukan tidak memiliki sertifikasi halal, maka akan dijatuhi sanksi. Seperti yang tercantum dalam perpu no 39 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal. Dan adapun bentuk sanksinya bisa berupa peringatan tertulis, denda administrasi, atau penarikan produk dari peredaran tersebut. 

Dari pemberlakuan kebijakan tersebut seharusnya memberi kemudahan bagi para pelaku usaha, agar semua kalangan bisa melaksanakannya dengan baik. Namun, sayangnya semua itu tinggal harapan. Sebab, untuk mendapatkan sertifikasi halal, para pelaku usaha tidak bisa mendapatkan dengan cuma-cuma. Meskipun Badan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (BPJPH) telah menyediakan kuota satu juta sertifikat halal gratis pada tahun 2023. Ternyata jumlah tersebut tidak seimbang dengan banyaknya pelaku usaha yang mencapai 22,7 juta. 

Dengan demikian, masih ada 21,7 pelaku usaha yang belum memiliki sertifikasi halal. Maka, mau tidak mau mereka harus merogoh saku untuk mendapatkan sertifikasi halal tersebut. Adapun besaran biaya yang harus dikeluarkan untuk usaha mikro dan kecil Rp.300.000, usaha menengah Rp.5.000.000. Sementara itu, usaha besar dan berasal dari luar negeri Rp.12.500.000.

Dengan wajib adanya sertifikasi halal sangat memberatkan bagi para pelaku usaha atau pedagang itu sendiri. Karena para pedagang harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Apalagi para PKL (Pedagang Kaki Lima), yang berjualan dengan keuntungan yang pas-pasan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pun belum tentu cukup.

Beginilah kondisi saat ini, akibat dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang diberlakukan. Yang main adalah orang-orang yang bertujuan meraih asas manfaat semata. Sebab, watak dari sistem kapitalisme tolok ukurnya asas manfaat. Bahkan sistem kapitalisme ini dijadikan sistem kehidupan. Maka, tidak heran ketika hubungan antara rakyat dan penguasa seperti pedagang dan pembeli. Penguasa tidak segan mengambil keuntungan dari rakyatnya. 

Beda halnya dengan sistem Islam yang menjadikan sertifikasi halal sebagai layanan dari negara untuk melindungi rakyatnya atas kewajiban yang ditetapkan oleh syariat. Tapi, dalam sistem sekuler Kapitalisme saat ini, sertifikasi halal menjadi alat komoditas yang dikapitalisasi dengan biaya yang telah ditentukan. Lebih mirisnya lagi, pemerintahan sekuler saat ini yang memberikan label halal, tidak didorong dengan keimanan kepada Allah Swt., melalui karena faktor ekonomi dan matrealistis. Begitulah wajah asli sistem kapitalisme, yang menjadikan rakyatnya sebagai sasaran untuk kepentingan mereka sendiri. 

Dalam syariah Islam, halal dan haram bukanlah perkara ringan. Sebab, hal itu akan menentukan keselamatan kita kelak di akhirat. Apakah berakhir di surga atau terjerumus dalam azab neraka. Dengan demikian, menyediakan Jaminan halal bagi rakyat merupakan tanggungjawab negara selaku pelayan untuk mengurus urusan rakyat. Hal ini menjadi kebutuhan umum yang final, sehingga negara sendiri yang turun tangan dalam mengawasi kehalalan maupun kualitas konsumsi. 

Rasulullah Saw. bersabda terkait pemimpin negara sebagai perisai: "Sesungguhnya imam itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang dibelakangnya dan berlindung kepadanya." (HR. Muslim).

Dan Rasulullah Saw. juga bersabda, bahwa pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. 

"Masing-masing dari kalian adalah seorang pemimpin dan setiap pemimpin akan bertanggungjawab terhadap orang-orang yang dipimpinnya." (HR.Bukhari dan Muslim).

Oleh sebab itu, pemimpin di negara tersebut wajib memberikan sertifikasi halal secara cuma-cuma, bukan malah memalak rakyatnya. Hal ini karena pemimpin memberikan perlindungan pada setiap kepentingan rakyat yang merupakan kewajiban negara dalam melayani. Sehingga, dalam memberikan pelayanan,  tidak boleh mengambil pungutan. 

Dalam pengurusan sertifikasi halal pun akan dilakukan pengawasan mulai dari penentuan bahan, proses produksi, hingga sampai ke proses distribusi, itu semua akan diawasi. Dan biaya proses pengawasan tersebut akan diambil dari kas negara yaitu dari baitul Mal.

Selain itu, agar masyarakat tidak khawatir dan ragu dalam memilih bahan-bahan. Maka, negara akan membersihkan barang-barang haram di pasar. Apabila ada industri yang menggunakan cara dan zat yang haram, serta memproduksi barang haram, maka negara akan memberikan sanksi tegas. Negara juga akan memberikan sanksi bagi pedagang yang menjualbelikan barang haram kepada kaum muslim. Sedangkan bagi kaum muslimin yang mengkonsumsi barang haram, negara pun akan memberikan sanksi sesuai ketentuan syariat Islam. Seperti, ta'zir bagi pemakan barang yang mengandung babi, dan jilid bagi peminum khamar.

Jadi, untuk mewujudkan itu semua tentu dengan adanya negara yang menerapkan sistem Islam secara keseluruhan. Sehingga dengan aturan sistem Islamlah umat mendapatkan perlindungan dan kesejahteraan dalam segala urusan kehidupan. 

Wallahu'alam bish shawwab. 




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar