Oleh : Asti Marlanti
Perubahan adalah keniscayaan yang akan terjadi dalam kehidupan ini dan membutuhkan upaya untuk mewujudkanya, sebagaimana firman Allah Swt., yang artinya, “…Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…” (TQS Ar-Ra’d: 11)
Terkait ayat ini, Imam Ath-Thabari menjelaskan: “(Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum) yang berupa sehat sejahtera dan penuh kenikmatan kemudian kenikmatan itu menjadi dibuang dan dirusak oleh Allah, (sampai mereka mengubah sesuatu yang ada para pribadi mereka) yaitu dengan sikap zalim antarsesama dan permusuhan terhadap orang lain” (Muhammad bin Jarir at-Thabari, Jami’ul Bayan fi ta’wilil Qu’an, [Muassasah ar-Risalah: 2000], juz 16, hlm. 382).
Jadi, sungguh perubahan itu tidak terjadi dengan sendirinya, akan tetapi harus ada usaha yang dilakukan untuk mewujudkannya. Pertanyaannya, apakah perubahan yang diharapkan ini akan menuju pada keadaan yang lebih baik atau malah sebaliknya, yakni mengarah kepada kondisi yang lebih buruk atau bahkan mengarah kepada kehancuran? Inilah sesungguhnya yang penting untuk dibahas, bagaimana agar perubahan melahirkan perbaikan hakiki.
Memilih metode perubahan bukan semata berdasarkan selera atau mengikuti pilihan hati, tetapi betul-betul harus dilandaskan pada pertimbangan yang matang, bahwa jalan itulah yang tepat dan akan menghantarkan pada keberhasilan.
Berdasarkan faktanya, ada dua jenis perubahan. Perubahan yang bersifat parsial, yakni perubahan masalah cabang, dikenal dengan istilah ishlah. Dan yang kedua, perubahan yang bersifat mendasar, disebut juga dengan istilah taghyîr. Perubahan ini harus dimulai dengan mengubah asas yang menjadi dasar seseorang memandang permasalahannya.
Metode perubahan mana yang dipilih tergantung dari pemahaman seseorang. Siapapun yang memahami bahwa masalahnya terletak pada perkara cabang, maka wajar jika memilih ishlah sebagai jalan untuk memperbaiki keadaan. Misal, ketika penyebab atap bocor hanya karena gentingnya patah, maka cukup menggantinya dengan yang baru, dan masalah pun selesai. Inilah contoh ishlah.
Namun, berbeda halnya jika kebocoran disebabkan struktur atapnya yang salah, misal kemiringannya kurang, maka perlu perubahan total (taghyir), yakni dengan membongkar seluruh atap, kemudian membuat struktur baru dengan menambah kemiringannya.
Kerancuan dalam Implementasi Ishlah dan Taghyir
Penderitaan dan kesulitan hidup kian dirasakan oleh rakyat di negeri ini. Akumulasi petaka ini telah melahirkan tuntutan perubahan yang terus digaungkan. Ada derita yang sama dirasakan, akan tetapi terdapat perbedaan dalam solusi perubahan yang dilakukan.
Jika penderitaan yang dialami rakyat di negeri ini dianggap semata karena kezaliman rezim yang berkuasa. Maka ada yang berpandangan bahwa solusinya ganti orang yang memimpinnya, sementara sistem aturan yang diterapkan tetap melanjutkan yang sekarang diberlakukan, yakni demokrasi kapitalisme.
Berbeda halnya dengan pihak yang memiliki pandangan bahwa penyebabnya bukan hanya karena kesalahan orang yang menduduki pemerintahan, akan tetapi yang mendasar adalah karena kesalahan sistem yang diterapkan, yakni bukan sistem Islam yang ditegakkan. Maka mereka meyakini bahwa selama sistemnya tidak diganti, selama bukan Islam kafah yang diterapkan, maka penderitaan ini tidak bisa dihentikan dan kezaliman pun tidak mungkin dihilangkan sekalipun sudah berganti rezim. Di sinilah penting untuk lebih memahami konsep secara jelas dan gamblang terkait ishlah dan taghyir.
Lalu, untuk memahami konsep ishlah dan taghyir ini, maka ada hal yang harus diperhatikan. Diantaranya yang pertama, asas yang dijadikan dasar perubahan. Taghyir menjadikan ideologi sebagai asasnya. Ideologi akan mengarahkan perubahan. Tanpa kehadirannya akan membuat perubahan hakiki hanyalah mimpi yang tidak pernah terbukti. Tanpa landasan ideologi, boleh jadi dorongannya hanya semata akumulasi kebencian dan kemarahan terhadap kondisi yang sedang melanda. Kedua, perubahan mendasar juga memerlukan kesadaran terhadap akar masalah. Kesalahan dalam menetapkan masalah berimplikasi pada ketidaktepatan dalam menghadapinya.
Adapun ishlah, tidak mempermasalahkan pangkal perkara. Sudah merasa aman manakala penampakan sudah berubah, sekalipun hanya berganti wajah, sementara sistem yang mendasarinya tak ada beda. Perbaikan dilakukan melalui pergantian rezim. Tuntutan perubahan berawal dari kesadaran atas kekurangan- kekurangan dalam peraturan-perundangan yang diterapkan akibat ketidakmampuan rezim dalam menjalankan sistem.
Sesungguhnya, akar masalah yang diindera dalam metode ishlah ini bukan terletak pada ideologi dan sistem yang diterapkan rezim. Perbaikan sistem secara bertahap ini juga dikenal dengan nama reformasi.
Ketiga, perlu ada konsep dan arah perubahan yang jelas, terarah, dan terukur. Ketegasan dan kejelasan arah perubahan ini penting dan urgen untuk menjaga agar perubahan tetap berada di jalan yang akan menyampaikan pada tujuan, tidak terbawa oleh arus yang kadang berlawanan, atau terjebak pada godaan yang melintas. Perubahan juga perlu terukur agar diketahui dengan tepat kapan target dan tujuan telah terwujud. Jika tidak memiliki konsep dan arah perubahan yang jelas, maka proses perubahan rawan terjebak pada perubahan semu yang justru akan memalingkan dari tujuan hakiki.
Keempat, harus ada pihak yang memimpin umat melakukan perubahan. Kepemimpinan ini harus ada pada kelompok yang menghendaki perubahan, yang menjadikan ideologi sebagai dasar perjuangannya, serta memahami konsep dan arah perubahan. Mereka harus hadir dan menjadi pemimpin di tengah umat. Mereka akan membina dan mencerdaskan umat sehingga umat pun memiliki pemahaman yang sama atas kerusakan yang sedang terjadi dan mempunyai arah perubahan yang sama. Mereka menempuh suatu proses untuk membangun keyakinan di tengah umat, mengokohkan standar, dan memunculkan pemahaman baru pada masyarakat.
Dengan demikian, pada saat itu akan terbangun opini umum tentang kerusakan sistem yang sedang berjalan dan opini tentang sistem pengganti yang akan menyejahterakan dan memberikan keamanan. Fase ini harus ditempuh, karena di tengah masyarakatlah sistem kehidupan yang baru akan diterapkan secara keseluruhan, bukan secara bertahap.
Dengan demikian, hasil dari upaya ini adalah umat dan kelompok tersebut menjadi kesatuan yang melebur dalam perjuangan untuk perubahan. Pihak yang memimpin bukan menjadi kelompok yang ekslusif, dan umat pun tidak merasa asing dengan mereka. Karena ketika belum ada kepemimpinan yang jelas, siapapun bisa tampil mengambil komando. Akibatnya, arah perubahan menjadi tidak tetap dan rawan dibelokan oleh berbagai kepentingan sesaat.
Kelima, ada dukungan dari pemilik kekuatan yang berpengaruh (ahlul quwwah) di tengah umat. Kesadaran umat akan pentingnya perubahan berpadu dengan dukungan pihak-pihak pemilik kekuatan menjadi tanda bahwa pintu kemenangan segera terbuka.
Dengan demikian, maka jalan perubahan hakiki adalah dengan menerapkan metode taghyir, sehingga pintu kemenangan berpihak kepada umat. Islam sebagai ideologi pun akan terterapkan di muka bumi ini secara kafah.
Wallahu a'lam bishshawaab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar