Oleh : Desvita Ayu
Sederet berita yang beredar telah mempertontonkan politisasi bantuan sosial yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dan menteri-menteri yang tergabung dalam tim kampanye pasangan calon presiden-calon wakil presiden Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka dinilai kian masif menggunakan program bantuan sosial sebagai alat kampanye pendongkrak suara.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memberikan sederet bantuan sosial (bansos) sejak akhir tahun kemarin. Mulai dari bantuan pangan beras 10 kilogram (kg), BLT El Nino Rp 200 ribu per bulan, hingga yang terbaru BLT mitigasi risiko pangan Rp 200 ribu per bulan. Dikutip: finance.detik.com
Jokowi mengatakan, alasan utama pemberian sederet bansos yaitu untuk memperkuat daya beli masyarakat, khususnya masyarakat kelas bawah. Penguatan daya beli ini perlu dilakukan di tengah kenaikan harga pangan, meroketnya harga pangan juga diakui Jokowi terjadi di berbagai negara bukan cuma Indonesia.
Menurut Jokowi, bantuan sosial yang diberikan juga sama sekali tak ada kaitannya untuk dipolitisasi sebagai keuntungan pada paslon (pasangan calon) tertentu dalam Pemilu 2024.
Lantas, bukankah setiap lima tahun saat pemilu terselenggara, sederet kampanye yang dilakukan guna menyalurkan bantuan sosial, dana BLT dan parahnya penyogokan untuk memilih paslon tertentu sangat masif terjadi dalam demokrasi.
Bawaslu telah mengimbau langsung Presiden Jokowi agar tetap berada di koridor yang semestinya, kata Totok Hariyono, anggota Bawaslu. Titi Anggraini menilai Bawaslu tidak tegas. Apalagi, Bawaslu sebagai pengawas punya tanggung jawab untuk memastikan berjalannya pemilu yang jujur dan adil bagi semua kontestan yang terlibat, katanya.
Setidaknya, menurut Titi, Bawaslu bisa melakukan diseminasi masif kepada publik soal pelarangan politisasi bansos atau bahwa bantuan yang disalurkan adalah hak rakyat yang tidak ada urusannya dengan partai politik atau paslon tertentu. Dikutip: bbc.com
Tindakan para pejabat yang memanfaatkan bansos untuk mencapai kepentingan mereka merupakan ciri khas yang lahir dari sistem demokrasi. Kekuasaan akan menjadi tujuan yang harus diperjuangkan dengan segala cara sekalipun dengan melakukan skenario kotor. Jelas, sebab demokrasi meniscayakan kebebasan berperilaku. Apalagi sistem ini jelas mengabaikan agama dalam kehidupan.
Di samping itu, kesadaran politik masyarakat yang rendah. Kemiskinan yang terus meradang bahkan tidak ada solusi tuntas untuk mengentaskannya. Hanya janji-janji manis yang mereka ucapkan dengan solusi pragmatis serta apatis, namun nol dalam tindakan.
Dengan mudahnya masyarakat percaya akan solusi pragmatis itu. Seharusnya Negara mengentaskan kemiskinan dengan cara yang komprehensif dan teliti sampai ke akar persoalan. Bukannya justru hanya menyalurkan bansos dan segala bentuk dana lain yang bersifat sementara itu. Apalagi bansos dan bantuan dana kian masif terjadi menjelang pemilu 2024.
Lain halnya dalam Islam, kemiskinan akan teratasi dari dasar hingga terjamin kesejahteraan masyarakat individu per individu dan Islam tentu mempunyai berbagai mekanisme, misalnya kewajiban bagi laki-laki dewasa untuk bekerja, juga kewajiban nafkah laki-laki untuk istrinya. Bagi kalangan yang lemah fisiknya, ia akan mendapatkan santunan rutin dari negara sehingga kebutuhan dasarnya terpenuhi.
Islam menetapkan kekuasaan merupakan amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Sehingga penguasa akan mengurus rakyat dengan berpatokan pada hukum syara. Islam juga mewujudkan SDM berkepribadian Islam, termasuk Amanah, jujur, dan berakhlak baik.
Negara dalam hukum Islam akan mengedukasi masyarakat dengan nilai-nilai Islam termasuk dalam memilih pemimpin, sehingga masyarakat memiliki kesadaran akan kriteria yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin.
Seorang muslim yang menjadi pemimpin pun jelas berkualitas karena iman dan takwanya kepada Allah serta memiliki kompetensi yang baik, sehingga tidak perlu mengumbar pencitraan agar disukai rakyat. Yang ada hanyalah mengutarakan visi dan misi yang berbobot akan keberlangsungan kehidupan Islam yang lebih baik.
Wallahu ‘Alam bisshowwab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar