Pay Later? No Way!


Oleh: Imas Royani, S.Pd.

Jaman telah berubah, teknologi semakin canggih. Hal itu membawa perubahan kepada kehidupan manusia yang lebih modern dan ingin serba instan, mulai dari makanan dan minuman instan, ijazah instan hehe, sampai belanja instan. Bahkan tidak perlu cape kena macet, berdesakkan di pasar/swalayan, tidak perlu bawa payung jaga-jaga takut kehujanan atau kepanasan, karena cukup klik di hp, barang langsung diantar sampai rumah. Bahkan kini ada yang lebih mudah, buat yang tidak/belum ada uangnya, bisa memakai pay later, "belanja sekarang, bayarnya nanti!"

Tapi e tapi, yang namanya instan tidak hanya keuntungannya saja yang dinikmati, kerugiannya pun mau tidak mau harus ditanggung pula. Contoh saja makanan dan minuman instan, para pakar kesehatan menyebutnya dengan makanan/minuman sampah karena saking banyak banget kerugiannya bagi kesehatan tubuh, terutama pencernaan. Begitupun dengan pay later. Dikutif dari CNBC Indonesia, (16-1-2024), sebanyak 4,31% pengguna pay later tercatat mengalami gagal bayar. Sebanyak 39,2% usia 20—30 tahun dan 35,84% usia 30—40 tahun. Jumlah tunggakannya mencapai sekitar Rp1,12 triliun. Belum lagi bunga yang harus dibayar, karena pay later memakai sistem riba.

Berenang-renang ke hulu, berakit- rakit ketepian. Bersenang-senang dahulu, sakit kemudian. Itulah peribahasa yang pas untuk menggambarkan kondisi ini. Sangat berkebalikan dengan nasihat peribahasa semula. Harusnya susah payah dahulu, baru kemudian bersenang-senang. Itu karena kondisi saat ini berbeda dengan dahulu. Besar pasak daripada tiang. Orang yang telah kecanduan dengan pay later tidak akan menghiraukan lagi besarnya pengeluaran dibanding pemasukan. Sudah tidak dapat menentukan mana kebutuhan yang benar-benar harus dipenuhi, mana keinginan yang harus direm/diabaikan. 

Kondisi ini diperparah oleh lingkungan yang ikut mendukung. Filsafat sunda yang salah telah menancap dalam pemikiran sebagian orang, "mun teu gublag-goblog moal gableg"_"kalau tidak membeli meski dengan cara kredit, maka selamanya tidak akan punya". Pengaruh globalisasi juga semakin kuat, sehingga konsumerisme/hedonisme dianggap keren. Iya kalau punya untuk memenuhi keinginan tersebut, kalau tidak? Akhirnya harta habis, atau tidak sedikit yang berakhir di penjara bahkan bunuh diri karena malu tidak bisa membayar atau lelah dikejar depkolektor.

Negara yang seharusnya mencegah agar masyarakat tidak terjangkit penyakit hedonisme akibat pay later, malah menjembatani pihak pemberi pinjaman sehingga dengan mudah diakses oleh masyarakat. Iklannya tersebar di media sosial dan televisi seolah-olah itu adalah barang halal. Ini semua terjadi karena sistem yang dipakai adalah sistem kapitalis dimana prinsipnya adalah asas manfaat. Selagi bermanfaat bagi dirinya boleh dilakukan/diambil tidak peduli hal tersebut merugikan orang lain. Apalagi sistem ini telah memisahkan agama dari kehidupan sehingga ukurannya bukanlah halal dan haram. 

Berbeda dengan sistem Islam. Dalam sistem Islam, akidah dijadikan sandaran kehidupan, setiap perbuatan wajib terikat dengan hukum syara. Batasan baik dan buruk bukan berdasarkan pandangan manusia, apalagi asas manfaat. Batasan baik dan buruk berdasarkan aturan yang telah dibuat oleh Sang Pencipta dan Pengatur manusia, Dialah Allah SWT. Islam telah melarang riba termasuk pay later dimana seseorang meminjam uang ke pihak ketiga untuk membayar barang yang ia beli disertai tambahan bunga pinjaman.

Sistem Islam juga mengajarkan untuk hidup sederhana, hemat tapi bukan kikir. Apabila memang itu adalah kebutuhan dan bersifat mendesak, maka boleh bahkan harus segera ditunaikan. Tapi tetap ada aturannya, yaitu harus dengan pinjaman tanpa riba. Apabila hanya keinginan, sebaiknya hal itu disesuaikan dengan kondisi keuangan ketika berkelapangan, bukan dengan memaksa dipenuhi apalagi sampai berutang riba. 

Suasana keimanan menyelimuti masyarakat, sehingga masyarakat berlomba-lomba dalam kebajikan, bukan berlomba-lomba mengejar kepuasan dunia semata. Tidak ada foya-foya, atau hedonisme. Yang ada kedermawanan dan senantiasa meningkatkan keimanan dan ketakwaan. Hal ini didukung oleh hadirnya peran negara yang senantiasa mengurusi urusan ummat dan bertanggungjawab terhadap tegaknya pelaksanaan syariat. Negara akan menindak tegas pelaku riba, sehingga tidak ada kesempatan kedua bagi pelaku riba untuk mengulang perbuatannya, juga mencegah bagi yang lain untuk melakukan hal yang sama.

Dalam Surat Al-Isra Ayat 29 Allah SWT. berfirman agar jangan kikir dan jangan berlebihan. Setiap orang yang beriman dilarang berbuat pelit dan berbuat boros dalam membelanjakan hartanya. Agar tidak dicela oleh sesama manusia dan oleh Allah SWT. 

Allah SWT. juga berfirman: "Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya." (TQS. Al-Baqarah: 275).

Memang Rasulullah Muhammad Saw. pernah menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi, tetapi bukan untuk berfoya-foya, melainkan karena ingin membeli makanan untuk dimakan bersama keluarganya.

"Dari Aisyah ra. berkata bahwa Rasulullah Saw. membeli makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran ditangguhkan dengan menggadaikan baju besinya." (HR. Bukhari dan Muslim).

Namun, sampai wafatnya Rasulullah Saw. tidak sempat melunasi utang tersebut hingga pada akhirnya Ali bin Abi Thalib lah yang membayarkannya.

"Rasulullah Saw. wafat dan baju besinya masih menjadi barang gadai pada seorang Yahudi dengan 30 sha’ gandum". (HR. Bukhari).

Demikianlah suri teladan yang diwariskan Rasulullah Muhammad Saw. Saatnya kita meneladaninya dengan melakukan langkah pertama yaitu  segera mengganti sistem rusak kapitalisme menjadi sistem Islam, agar tidak ada lagi kesia-siaan dalam mengisi usia dan pemanfaatan kelebihan kita sebagai manusia yang telah diberikan akal dan pikiran. Selayaknya kita keluar dari segala kebiasaan buruk yang hanya akan melahirkan kerugian dan penyesalan. Mari bersama-sama kita berjuang agar sistem Islam dapat diterapkan di bumi tercinta ini. 

Wallahu'alam bishshawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar