Oleh: Nuryanti
Jika kita cermati keberadaan hukum yang ada di sekitar kita sangatlah penting. Kenapa tidak, karena hukum adalah sederet peraturan yang sangat mengikat dalam mengatur kehidupan manusia baik dalam keluarga, masyarakat maupun bernegara. Dengan demikian pembahasan hukum dalam mengatur kehidupan manusia, alam sekitarnya sangatlah penting dan mendesak.
Para ulama fiqih, salah satunya Syech Taqiyuddin an-Nabhani telah membahasnya dalam kitab Syakhsiyah Islamiyyah tentang siapakah satu-satunya yang memiliki hak dalam mengatur kehidupan manusia dan alam sekitarnya, apakah manusia dari akal manusia atau berdasarkan syariah.
Penerapan hukum atas perbuatan manusia bisa dilihat dari 3 aspek. Pertama, dari fakta yang ada di sekitarnya, kedua dari kesesuaian atau pertentangan dengan tabiat manusia atau naluri manusia dan ketiga dari aspek antara pahala dan dosa, antara perbuatan yang terpuji dan perbuatan yang tercela. Dari ketiga aspek tersebut, maka akan dikembalikan kepada akal manusia itu sendiri atau kepada syariat.
Maka dari itu segala amal perbuatan manusia tidak bisa dikembalikan kepada akal manusia itu sendiri, karena akal manusia itu adalah terbatas dan tidak bisa diindera, misalnya dalam memerangi musuh, berkata benar dalam berbagai keadaan yang mengakibatkan penderitaan adalah termasuk perbuatan yang terpuji dan mendapatkan pahala dalam menetapkan hukum.
Hukum dalam perbuatan terpuji ataupun tercela jika dikembalikan kepada akal manusia yang terbatas dan lemah, maka manusia tidak akan mampu untuk menetapkannya. Karena manusia bisa menetapkan hukum yang terpuji hari ini, besok bisa berubah menjadi hukum yang tercela. Maka hal seperti ini tidak bisa menjadi hukum yang tetap, karena bisa berubah-ubah setiap kondisi. Maka dari itu akal manusia tidak bisa dijadikan sebagai penentuan hukum, karena otoritas untuk menetapkan hukum atas perbuatan manusia, memberikan predikat perbuatan terpuji dan tercela, ataupun pahala dan dosa itu terbatas dan lemah.
Atas dasar inilah yang berhak menjadi Al-Hakim atau menjadi pemilik otoritas yang membuat hukum manusia yang berkaitan atas aspek pujian dan celaan, pahala dan dosa hanya Allah SWT bukan pada akal manusia. Adapun yang terjadi hari ini, kemampuan manusia yang akalnya lemah dan terbatas bagaimana bisa menetapkan hukum atas perbuatan manusia. Maka jika hal itu terjadi bisa dikatakan suatu perbuatan yang lancang dan jelas diharamkan oleh Allah SWT. firman Allah dalam surat al-An'am ayat 57 dikatakan; "Katakanlah (Nabi Muhammad), “Aku (berada) di atas keterangan yang nyata (kebenarannya, yaitu Al-Qur'an) dari Tuhanku, sedangkan kamu mendustakannya. Bukanlah kewenanganku (untuk menurunkan azab) yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah."
Maka dari itu yang berhak menetapkan hukum adalah Allah SWT. Sedangkan hukum yang berkaitan dengan masalah teknis dan administratif dalam rangka kemaslahatan umat manusia, seperti hukum yang berkaitan dengan pengaturan jarak bangunan rumah, tata ruang ataupun jalan-jalan maupun pengaturan lalu lintas, hal seperti itu diserahkan kepada manusia (seorang Khalifah atau kepala negara).
Seorang Khalifah harus membuat aturan sesuai dengan kebutuhan umat dalam rangka kemaslahatan umat dan sebagai konsekuensi dan kewajibannya. Karena untuk melaksanakan ri'ayatul su'unil ummah ada di pundaknya. Dan Khalifah wajib menentukan sanksi atas pelanggaran terhadap aturan administratif.
Maka dari itu jelaslah bahwa hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia harus dikaitkan dengan pahala dan dosa, ataupun perbuatan tercela dan terpuji. Yang berhak menetapkan hukum adalah Allah SWT dan haram manusia yang menetapkannya sedangkan dalam hal administratif adalah Khalifah yang menetapkannya dalam rangka untuk kemaslahatan umat.
Wallahu a'lam bissowab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar