Oleh : Ai Sopiah
Kepolisian Resor Penajam Paser Utara (PPU) Kalimantan Timur, mengungkap kasus pembunuhan oleh seorang remaja berinisial J (16 tahun) terhadap satu keluarga berjumlah lima orang. Diduga motif pembunuhan yang terjadi di Desa Babulu Laut, Kecamatan Babulu karena persoalan asmara dan dendam pelaku terhadap korban. Antara pelaku dengan korban saling bertetangga.
“Pelaku Remaja berinisial J ini masih di bawah umur kelas 3 SMK, 20 hari lagi baru usianya 17 tahun,” terang Kapolres PPU AKBP Supriyanto saat dikonfirmasi, Kamis (8/2/2024).
Peristiwa sadis ini berawal saat pelaku berpesta minuman keras bersama teman-temannya pada hari Senin (5/2/2024). Kemudian sekitar pukul 23.30 WITA, pelaku diantar pulang oleh temannya.
Setelah diantar, J membawa senjata tajam berupa parang dan menuju ke rumah korban untuk melakukan pembunuhan. Sesampainya di rumah korban, pelaku langsung mematikan aliran listrik di rumah korban.
Selanjutnya pelaku langsung masuk ke dalam rumah. Lalu pada saat ayah korban berinisial W (34 tahun) pulang ke rumah pelaku langsung menyerangnya menggunakan parang. Kemudian pelaku juga menyerang istri korban berinisial SW (33 tahun) dan tiga anaknya berinisial RJS (14 tahun), VDS (10 tahun), dan ZAA (2,5 tahun). Ketiga terbangun karena mendengar keributan dan langsung diserang. (REPUBLIKA, 8/2/2024).
Makin ke sini, generasi muda sepertinya makin jauh dari kebaikan. Mereka menjadi dekat dengan tindak kriminal dan jauh dari aturan Islam, mereka tidak memperhatikan bagaimana konsekuensi yang akan diterimanya.
Tidak peduli setelahnya akan terjadi seperti apa apabila melakukan tindakan tersebut, padahal seorang muslim itu harus memilah dan memilih mana yang diperbolehkan syariat, mana yang dilarang syariat.
Tindakan seperti ini bisa timbul dari beberapa faktor, kurangnya penanaman akidah Islam sejak dini dari keluarga, pergaulan yang bebas, dan kurangnya perhatian dari negara yang sistemnya adalah liberalisme kapitalis, begitupun daya rusaknya sangat dahsyat. Bukan hanya keluarga, masyarakat dan negara pun ikut terimbas. Seperti apa daya rusaknya?
Pertama, keluarga. Keluarga memiliki peran kunci dalam pembentukan kepribadian anak. Kehidupan keluarga yang tidak stabil, kurangnya perhatian orang tua, dan pola asuh yang salah akan berdampak negatif bagi pertumbuhan dan perkembangan kepribadian anak. Pola pikir orang tua sekuler akan melahirkan generasi sekuler yang tidak paham agama.
Jika kita menginginkan anak saleh dan salihah, bukankah harus dimulai dari orang tua yang saleh pula? Kesalehan hanya dapat terwujud tatkala pola pendidikan keluarga merujuk pada Islam. Jika anak tidak memiliki teladan yang baik dikeluarga, mereka akan cenderung mencari dukungan atau identitas di luar keluarga yang terkadang membawanya pada pergaulan yang salah.
Disisi lain, meski banyak sekolah berbasis agama Islam, tetap belum mampu menghalau rusaknya generasi. Mau sebaik apa pun orang tua mengasuh dan mendidik dengan suasana iman, mereka tetap waswas dengan lingkungan masyarakat sekuler yang tidak kondusif. Inilah pentingnya sistem sosial masyarakat yang islami, bukan hanya keluarga islami.
Kedua, masyarakat. Kekondusifan masyarakat sangat diperlukan dalam membentuk kepribadian saleh bagi anak. Kontrol dan pengawasan masyarakat sangat dibutuhkan dalam mencegah perilaku. Ketika kontrol ini hilang, masyarakat cenderung apatis dan tidak peduli.
Dalam sistem kapitalis, cara pandang masyarakat cenderung menormalisasi perilaku yang sebenarnya menyalahi aturan Islam, seperti budaya pacaran, hedonistik, konsumtif, permisif, serta gaya hidup liberal. Bahkan, sebagian masyarakat menganggapnya sebagai bentuk modernisasi kehidupan. Alhasil, generasi sangat dekat dengan kehidupan sekuler liberal yang mendegradasi nilai moral dan akhlak.
Ketiga, negara. Mari refleksi sejenak, sudah berapa kali kurikulum pendidikan berganti dan sejauh mana pergantian kurikulum tersebut berpengaruh positif bagi perilaku anak didik kita? Hasilnya, nihil. Ini karena kurikulum yang ada selama ini berasas pada akidah sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Tujuan pendidikan yang sejatinya untuk membangun karakter baik akhirnya tidak bisa tercapai. Bagaimana mau tercapai jika asas kurikulumnya saja masih sekuler?
Disisi lain, generasi sekarang tumbuh dalam era keterbukaan informasi dan digitalisasi. Mereka bergaul dengan dunia nyata dan maya. Dalam hal ini, peran negara masih tampak mandul. Negara gagal membendung konten-konten negatif yang dapat merusak generasi, seperti konten porno, kekerasan, perundungan, penyimpangan seksual, seks bebas, dan sebagainya.
Karakter dan kepribadian yang baik terbentuk dari pola pikir dan pola sikap yang baik pula. Segala sesuatu yang baik pasti berasal dari aturan Zat Maha Baik, yakni Allah Taala. Oleh karenanya, masalah kerusakan generasi yang diakibatkan sistem sekularisme harus dituntaskan secara sistemis juga.
Kita tentu merindukan hadirnya generasi berkualitas, berkarakter mulia, dan cerdas. Generasi seperti ini mustahil lahir dari rahim sistem kehidupan kapitalisme sekuler. Fakta membuktikan, makin jauh dari Islam, kerusakan generasi makin parah. Makin tinggi nilai-nilai sekuler yang diterapkan, kejahatan kian merajalela. Artinya, peran sistem sangat mendukung dan berpengaruh besar dalam pembentukan generasi.
Terkait hal ini, Islam memberi solusi mendasar dengan tiga pilar. Pertama, ketakwaan individu dalam pendidikan keluarga. Pendidikan keluarga adalah sekolah pertama bagi anak. Setiap keluarga muslim wajib menjadikan akidah Islam sebagai asas dan tujuan dalam mendidik anak. Dengan pendidikan berbasis akidah Islam akan terbentuk karakter iman dan ketaatan yang dapat mencegahnya berbuat maksiat. Anak juga diajarkan tanggung jawab atas setiap perbuatannya sehingga akan terbentuk generasi yang mampu bersikap dewasa dengan menjadikan halal haram sebagai asas perbuatan.
Kedua, kontrol masyarakat dengan tabiat amar makruf nahi mungkar. Budaya saling menasihati akan mencegah individu berbuat kerusakan. Masyarakat yang terbiasa melakukan amar makruf nahi mungkar, tidak akan memberi kesempatan perbuatan mungkar menyubur. Dengan begitu, fungsi masyarakat sebagai kontrol sosial dapat berjalan dengan baik.
Ketiga, negara menerapkan sistem Islam secara kaffah disegala aspek kehidupan. Negara menyelenggarakan sistem pendidikan berbasis akidah Islam untuk membentuk generasi berkepribadian Islam. Negara wajib memenuhi kebutuhan pokok rakyat sehingga masyarakat terhindar dari berbagai kejahatan.
Negara juga wajib menghilangkan segala hal yang merusak keimanan dan ketaatan setiap muslim, seperti memblokir konten porno dan kekerasan; melarang produksi film atau tayangan pornografi, mengumbar aurat, dan konten negatif lainnya; menutup industri dan peredaran miras; hingga memberantas peredaran narkoba. Negara juga menegakkan sanksi hukum Islam sebagai penindakan atas setiap pelanggaran syariat Islam.
Berdasarkan UU 11/2012, kelompok usia yang digolongkan sebagai “anak” dalam ranah perkara hukum adalah yang berusia 12—17 tahun. Sementara itu, Islam tidak mengenal penggolongan semacam ini. Dalam pandangan Islam, ketika anak sudah memasuki masa balig, ia terikat dengan hukum-hukum Islam. Artinya, ia sudah menjadi seorang mukalaf (orang yang terbebani hukum) atas setiap amal perbuatannya, termasuk konsekuensi sanksi yang akan menjeratnya jika ia terbukti berbuat kriminal.
Namun, ketiga pilar ini hanya akan berfungsi secara optimal dan menyeluruh jika menerapkan sistem Islam (Khilafah). Khilafah telah melahirkan banyak generasi cemerlang dan unggul, tidak hanya dalam ilmu saintek, tetapi juga sukses menjadi ulama yang faqih fiddin. Keseimbangan ilmu ini terjadi karena menjadikan Islam sebagai asas dan sistem yang mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Maka, dengan begitu mari kita bersama-sama mengkaji Islam dan berjuang menegakkan dinul Islam.
Wallahua'lam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar