PROYEK STRATEGIS DIBIAYAI UTANG, AKAN MEMBAWA NEGARA MASUK JURANG


Oleh : Siami Rohmah

Tembus Rp 7000 triliun, itulah besar utang Indonesia. Jika utang ini dibebankan kepada seluruh penduduk negeri Zamrud Khatulistiwa ini, maka perorang akan kebagian utang sekitar 28 juta rupiah. Tentu hal ini bukan nominal yang kecil, dan belum hilang dari ingatan bagaimana Sri Lanka bangkrut, juga salah satunya karena utang.

Namun, alih-alih waspada dengan utang sebesar itu, pemerintah, melalui Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, mengatakan bahwa utang Indonesia masih jauh lebih aman dibanding dengan negara lain, dan hanya 41 persen dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia. (Kompas.com).  
                                                   
Jika kita lihat, jumlah utang negara Indonesia memang terus mengalami kenaikan. Jika di tahun 2021 jumlah utang luar negeri di posisi Rp 6008 triliun, kemudian di tahun 2022 tembus 7000 triliun, tentu sebuah kenaikan yang besar. Pemerintah menggunakan utang luar negeri ini untuk pembiayaan  berbagai sektor. Seperti pendidikan, kesehatan, pertahanan juga administrasi negara serta berbagai sektor lain, termasuk sektor konstruksi. Nah di sektor inilah yang menjadi dalih bahwa utang yang ada untuk investasi.     
                                                                          
Padahal logika sederhana saja, jika seseorang punya utang, dan dengan utang itu seseorang memenuhi kebutuhan sehari-hari, tentu akan terasa sulit. Lama kelamaan utang akan membengkak. Kalau pun mempunyai banyak uang, sesungguhnya itu bukan uangnya, karena harus dikembalikan, bahkan dengan jumlah yang lebih besar jika disertai bunga. Ini konteks individu, apalagi negara yang dibiayai utang, tentu lebih besar kesulitan yang dihadapi. Jika pemerintah menyebut utang Indonesia aman tentu sesuatu yang aneh. Karena utang itu menunjukkan keuangan yang tidak baik-baik saja.  

Sudah begitu jelas kesulitan yang nampak akibat utang, misalkan pemerintah harus mengambil Rp 405 triliun dari APBD untuk membayar bunga utang, belum pokoknya. Maka utang itu benar-benar membuat ekonomi ambruk. Belum lagi efek domino dari utang, yaitu ambrolnya kedaulatan negara. Utang adalah jebakan yang dipasang oleh negara-negara kreditur untuk negara debitur. Di mana negara kreditur akan memberi syarat-syarat yang harus dipenuhi jika mau mendapatkan pinjaman, misalkan pemerintah harus mencabut batasan kepemilikan asing pada bank-bank yang go public. Pemerintah harus melepas ke publik dari Badan Usaha Milik Negara. Dari contoh ini kita sekarang sudah kehilangan perusahaan telekomunikasi kita, Indosat.

Negara peminjam hanya menjadi boneka bagi negara kafir, yang bergerak sesuai arahan dari negara kreditur. Selama ada utang maka kondisi negara akan berada pada posisi terpuruk. Dengan semua fakta ini tentu aneh jika merasa aman, justru seharusnya panik, karena utang ini akan membawa negara masuk jurang. Namun, panik saja tentu tidak cukup, tetapi harus ada solusi, agar bisa lepas dari masalah ini.

Allah SWT, yang telah menciptakan manusia, mengutus Rasulullah dengan Islam, memberikan seperangkat aturan untuk dilaksanakan. Bagaimana manusia mengatur keuangan mereka, termasuk keuangan negara. Dalam Islam untuk pemasukan APBN, akan diambil dari berbagai pos, kharaj, jizyah, fa'i, ghanimah dan juga pengelolaan SDA, yang akan masuk ke Baitul Mal, kemudian digunakan untuk pembiayaan negara dan kebutuhan rakyat. Jika negara sudah bisa memenuhi kebutuhan, maka tidak akan melakukan pinjaman. Pinjaman yang didapat dari negara asing dan lembaga keuangan (misal IMF, World Bank) tidak dibolehkan dalam syari'at. Karena pinjaman tersebut selalu terkait riba, yang diharamkan syara'. Selain akan mendatangkan bahaya atas negeri muslim, yaitu penguasaaan orang kafir atas kaum muslimin. Dengan demikian negara tidak boleh menggunakan utang luar negeri untuk menutupi anggaran belanja.

Jika keuangan negara dalam kondisi sulit, negara bisa mengambil pajak (dharibah) kepada rakyat yang mampu, dan akan dihentikan pengambilannya ketika kebutuhan sudah tercukupi. Pajak dalam Islam tidak diambil terus menerus apalagi dengan paksaan seperti yang ada saat ini. Kalaupun negara harus berhutang, akan berhutang kepada kaum muslimin sendiri tidak kepada orang atau lembaga asing. Sehingga kedaulatan dan kehormatan negara akan terjaga. Maha benar Allah yang memberikan sistem sempurna, sistem Islam.

"Wahai orang-orang yang beriman, takutlah kepada Allah dan tinggalkanlah apapun dari riba itu apabila kamu beriman. Jika kalian tidak melakukan hal tersebut, maka bersiaplah menghadapi perang perang dari Allah dan Rasul-Nya, dan apabila kamu bertaubat maka milik kalian adalah harta pokok kalian, kalian tidak menzalimi dan tidak pula kalian dizalimi." (TQS. Al Baqarah 278-279).




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar