MAHALNYA BIAYA KULIAH


Oleh : Sri Setyowati (Aliansi Penulis Rindu Islam)

Pendidikan merupakan kebutuhan setiap orang. Dengan adanya pendidikan maka membuat seseorang dapat memiliki kecerdasan, akhlak mulia, kepribadian, kekuatan spiritual, mampu bertanggung jawab dan ketrampilan yang bermanfaat bagi diri sendiri dan masyarakat. Namun, saat ini tidak semua orang, terutama masyarakat kalangan bawah bisa mendapatkan pendidikan yang layak, terlebih pendidikan tingkat tinggi atau kuliah karena mahalnya biaya pada jenjang tersebut.

Konsultan Pendidikan dan Karier Ina Liem menyampaikan, penyebab mahalnya biaya masuk jalur seleksi mandiri di universitas disebut karena beberapa universitas negeri tengah didorong untuk berbadan hukum. (Kompas.com, 22/07/2020)

Dan sejak pemerintah menetapkan agar kampus negeri menjadi perguruan tinggi berbadan hukum (PTN-BH), biaya kuliah semakin tinggi. Hal ini karena kampus yang berkedudukan sebagai PTN-BH tersebut diberi otonomi dalam pengelolaan keuangannya. Kampus pun berhak menentukan besaran biaya pendidikan yang ditanggung mahasiswa. Pada pelaksanaannya, biaya kuliah terus mengalami kenaikan atau mahal. Pada PTN-BH, pemerintah mengurangi dana subsidi. Kampus pun diberikan keleluasaan dalam mencari dana tambahan dari pihak lain di antaranya dengan subsidi silang.

Meskipun telah ada UU No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, dimana pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan. Dan juga UU No.12 Tahun 2021 Tentang Pendidikan Tinggi yang diamanatkan kepada pemerintah untuk mewujudkan keterjangkauan dan pemerataan yang berkeadilan dalam memperoleh pendidikan tinggi bermutu, namun dalam Pasal 4 ayat(2) huruf d UU Perdagangan, menyebutkan bahwa jasa pendidikan memang menjadi salah satu komoditas yang dapat diperdagangkan.

Berbagai kebijakan politik pendidikan tinggi di Indonesia berdampak pada tingginya biaya masuk perguruan tinggi negeri (PTN). Akibatnya, akses masyarakat terhadap pendidikan tinggi masih minim. Otonomi perguruan tinggi yang seharusnya mentransformasi tata kelola perguruan tinggi negeri justru menjadi jalan masuk komersialisasi pendidikan.

Makin beratnya beban pembiayaan perguruan tinggi karena komersialisasi pendidikan, lepasnya negara dari pembiayaan pendidikan tinggi dan makin besarnya beban pemenuhan kebutuhan hidup, jelas akan mendorong pada makin lunturnya pandangan terhadap perguruan tinggi sebagai sumber ilmu dan penghasil para ilmuwan.

Hingga saat ini pendidikan di negri ini  menjadi barang mewah karena pendidikan dijadikan sebagai komoditas jasa yang dapat diperdagangkan. Siapa yang bisa membeli, dia bisa sekolah dimanapun dia suka. Sedangkan yang tidak bisa membeli, tinggallah di rumah saja.

Itulah watak dari sistem kapitalis, semua sektor bisa dijadikan sumber keuntungan, tanpa terkecuali, termasuk pendidikan. Sementara itu, negara juga berlepas tangan terrhadap periayahan masyarakat di sektor pendidikan.

Berbeda dengan sistem Islam. Dalam sistem Islam,  negara berperan secara tegas sebagai penanggung jawab dan pelaksana langsung pengelolaan pendidikan. 

Disamping itu, pelayanan pendidikan harus bebas dari unsur komersial. Hal ini karena Islam telah menjadikan menuntut ilmu sebagai kewajiban setiap muslim dan menjadikan pelayanan pendidikan sebagai kebutuhan pokok publik yang dijamin langsung pemenuhannya oleh Negara.

Pendidikan, termasuk pendidikan tinggi merupakan kebutuhan primer masyarakat yang harus dijamin pemenuhannya oleh negara. Negara akan memastikan seluruh rakyat mendapatkan pelayanan tersebut, tak mengenal miskin atau kaya, pintar atau tidak. Semuanya dilayani dan diberi kemudahan akses.

Dengan demikian, negara akan memberikan anggaran berapa pun kebutuhannya. Negara harus mengupayakan melalui berbagai jalur yang sesuai tuntunan syariat yaitu menerapkan sistem ekonomi Islam sehingga mendapatkan sumber-sumber pemasukan negara bagi pembiayaan pendidikan tinggi. Dan biaya pendidikan tersebut akan diambil dari pengelolaan kepemilikan umum dan kepemilikan negara (fai’ dan kharaj). Semua diatur melalui mekanisme Baitulmal.

Wallahu a"lam bi ash-showab.



Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar