Mengatasi Bahaya Narkoba, Cabut Liberalisme Sebagai Akar Utama


Oleh : A. Maleeka (Pelajar/Homeschooler)

Perihal narkoba, seolah tiada hentinya menjadi berita. Usai kasus pertama, menyusul kemudian kasus serupa. Seolah memang hal yang amat sulit untuk memberantas peredaran narkoba, padahal pemerintah mengakui sudah mengerahkan berbagai upaya.

Mengutip genpi.co (20/6/2022) – Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) RI Komjen Pol. Petrus Reinhard Golose menegaskan tidak ada pembahasan legalisasi ganja untuk kebutuhan medis atau rekreasi di Indonesia, meskipun tanaman tersebut sudah dilegalkan oleh beberapa negara.

Para pemangku kebijakan sudah mengambil keputusan yang tepat dengan memberi penolakan keras terhadap narkoba atau tanaman ganja. Meskipun tanaman tersebut diklaim memberikan manfaat untuk kesehatan, penggunaan yang berlebihan dapat mengakibatkan halusinasi, gangguan jiwa, bahkan kematian. 

Jika terjadinya legalisasi obat-obatan terlarang di Indonesia, maka dampak yang dihasilkan tentulah akan merusak bangsa. Indonesia akan memiliki penerus yang tidak bermutu, pun juga meningkatnya kasus kriminal. Sebab, pemuda atau pemudi yang menjadi pecandu narkoba akan memiliki jiwa dan raga yang rapuh, habis digerogoti zat-zat adiktif penghancur saraf.

Sekalipun saat ini legalisasi untuk narkoba belum ada, mengapa hukuman dan berbagai upaya, tak berakhir menjadi efek jera? Jawabannya, jika kita pelajari lebih dalam, makin akutnya kejahatan narkoba, karena penanganan yang keliru serta keberadaan hukum yang lemah. 

Kita semua pasti sepakat bahwa penyalahgunaan narkoba adalah perilaku kriminalitas. Akan tetapi, di sisi lain pun muncul adanya anggapan bahwa pemakai narkoba–sebagai pelaku penyalah guna narkoba–dianggap bukan pelaku kriminal. Hanya yang memproduksi dan mengedarkan terkategori sebagai pelaku kriminal.

Padahal, wujud adanya transaksi, pasti tersebab permintaan. Pengguna tentunya saat mengonsumsi itu dengan niat dan kesadaran. Tidak ada sedikit pun kondisi yang bisa dikompromi. Pengguna narkoba bukanlah korban.

Aturan peraturan tentang rehabilitasi UU Nomor 35/2009 tentang Narkotika tumpang tindih. Pasal 54 menyatakan, pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Sementara Pasal 127 memerintahkan, setiap penyalahguna narkotika golongan I hingga III dipidana penjara.

Ketiadaan hukuman yang melahirkan efek jera, semakin membuat masalah merajalela. Sepertinya memberantas narkoba di dalam negeri hanya seperti mimpi dan ilusi.  Fakta yang ada, rusaknya generasi karena narkoba semakin tak tertanggulangi.

Narkoba ibarat buah yang tumbuh besar, dihasilkan oleh pohon sistem sekularisme-kapitalisme yang tumbuh liar, kemudian dipupuk hingga subur oleh liberalisme. Lahirlah gaya hidup hedonisme. Semua saling menjalin dan terikat, pelan-pelan membunuh fondasi kekuatan masyarakat, yang bernama pemuda dan pemudi. 

Liberalisme memberikan doktrin bahwa kebebasan adalah segala-galanya bagi keberlangsungan kebahagiaan manusia. Sehingga membuat banyak manusia berpikir bahwa mereka memiliki hak untuk berbuat sesukanya, tanpa berpikir dampak buruk apa nantinya.

Oleh sebab itulah, ketika pemerintah mengakui sudah mengerahkan berbagai upaya untuk memberantas narkoba karena dapat merusak bangsa, pun juga seharusnya berani menolak ide liberalisme sebagai akar dari setiap kerusakan jangka panjang yang terjadi dan banyak tak disadari.

Dalam sudut pandang Islam, seorang pemimpin negara memiliki fungsi sebagai pelayan dan pelindung bagi rakyatnya. Negara wajib mengunci berbagai gerbang akses kemaksiatan, contohnya seperti menutup tempat hiburan yang biasanya menjadi tempat peredaran narkoba dan mengawasi dengan ketat peredaran obat-obatan.

Islam memiliki hukuman yang tegas dan dapat membuat efek jera terhadap pelaku kejahatan narkoba, sehingga akan berulang kali berpikir  agar tak melakukan perbuatan yang sama. Islam memandang bahwa mengonsumsi narkoba apalagi memproduksi dan mengedarkannya adalah dosa dan perbuatan kriminal. Hukum tertingginya adalah berupa hukuman mati.

Lalu, terkait dengan pengguna yang terpaksa harus mengonsumsi obat-obat penenang, Islam telah memberikan contoh sepanjang sejarah kajayaannya, dengan adanya rehabilitas jiwa yang didirikan di Kairo, Mesir pada tahun 800 M.

Abu Zayd Ahmed bin Sahl Al Balkhi (850-934M) adalah dokter penyakit jiwa pertama yang menjadi rujukan dalam terapi gangguan jiwa. Pasien gangguan jiwa tidak dibedakan dengan pasien lain, semuanya dijamin oleh negara.  

Inilah saatnya rakyat dan pemerintah sadar, bahwa akar utama dari setiap kerusakan dan permasalahan generasi terletak pada paham liberalisme. Urgensi penerapan sistem Islam sangat tinggi. Sebab kondisi sistem hari ini sudah semakin darurat. Islam mempunyai bukti memiliki peradaban terpuji dan tatanan yang menjamin kesehatan jiwa dan raga rakyatnya, pun juga agar kerusakan tak semakin merajalela. 

Wallahualam bissawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar