KETEGASAN ATURAN AGAR KEBEBASAN TAK KEBABLASAN


Oleh : Ni’mah Fadeli (Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)

Pengadilan Negeri (PN) Surabaya mengesahkan pernikahan beda agama pada Senin, 22 Juni 2022 yang tercatat dalam penetapan Nomor 916/Pdt/2022/PN/Sby. Hal ini tentu menuai polemik di masyarakat. Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah memprotes keputusan PN Surabaya tersebut. Sekjen MUI Amirsyah Tanbunan meminta agar PN Surabaya membatalkan putusannya. Wakil Presiden RI yang juga Ketua Dewan Pertimbangan MUI Ma’ruf Amin menilai bahwa penikahan beda agama tak seusai dengan fatwa yang dikeluarkan MUI dan telah disahkan ketika beliau masih menjadi Ketua Komisi Fatwa MUI. (CNN Indonesia, 28/06/2022). 

Sementara itu Sekjen Federasi Kontras, Andy Irfan menilai bahwa pernikahan merupakan hak dan persoalan privasi. Negara menurutnya tak perlu turut campur terlalu dalam terkait pernikahan karena pernikahan itu adalah hak dan bukan kewajiban jadi tak perlu terlalu pusing jika masyarakat memilih hak itu. Menurut Andy tidak ada sanksi dari sisi hukum bahkan untuk mereka yang memilih tidak beragama dan hanya sistem sosial yang mengharuskan orang beragama. Dalam Undang-undang tentang perkawinan dan sistem kompilasi agama Islam juga tidak ada aturan ketat untuk mengatur pernikahan berbasis agama. (suarajatim.id, 29/20/2022).

Pasal 2 ayat (1) UU/1/1974 tentang perkawinan menyebutkan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Pencatatan nikah untuk warga yang beragama Islam dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA) sedangkan untuk pernikahan warga selain Islam melalui Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispebdukcapil) misalnya untuk warga beragama Kristen dengan Kristen, Hindu dengan Hindu dan seterusnya.  Tidak ada aturan mengenai pernikahan beda agama. Meski begitu, pernikahan beda agama tidak hanya sekali ini terjadi di Indonesia. 

Surat Al Baqarah ayat 221, “Dan janganlah kamu menikahi perempuan musyrik sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang mukmin lebih baik dari perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan laki-laki musyrik dengan (perempuan beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Meraka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-nya. (Allah) menerangkan ayat-ayatnya agar mereka mengambil pelajaran.” Dalam konteks ini, Imam As Syafi’I menegaskan bahwa tidak halal bagi lelaki yang masih menyandang status kufur untuk menikahi wanita muslimah dan hamba sahaya muslimah sekalipun selamanya. Dalam hal ini tidak ada bedanya antara kafir dari ahli kitab maupun kafir dari golongan lainnya.

Apa yang menjadi aturan Allah tentu mengandung banyak hikmah. Pernikahan adalah perjalanan ibadah panjang bagi suami dan istri yang dimulai dengan adanya akad nikah. Hal ini akan menjadi cerita lain jika dilakukan suami dan istri yang berbeda agama. Pernikahan menjadi tidak sah dan dianggap layaknya berzina, naudzubillah min dzalik. Anak keturunan yang dihasilkan juga akan mengalami kebingungan karena akan melihat adanya “kompetisi” orang tua dalam memilihkan agama yang akan menjadi pegangan hidupnya.  

Kebebasan dalam demokrasi sekuler menjadikan manusia tak lagi dapat berpikir sehat. Dalih kebebasan menjadikan manusia hanya berpikir dan berperilaku sesuai keinginan tanpa melihat apakah itu diperbolehkan atau dilarang dalam kitab suci. Agama adalah masalah pribadi yang terpisah dengan pilihan kehidupan yang diambil. Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi alasan melegalkan apapun yang bahkan dilarang dalam agama.  Aturan yang berdasarkan hawa nafsu manusia meminggirkan aturan baku dari Allah Subhanallahu Ta’ala yang menciptakan bumi, manusia dan segala isinya. 

Bahwa pernikahan adalah kebebasan berperilaku dan agama merupakan ramah pribadi dimana negara tidak boleh mencampuri tentu adalah pemahaman sekuler. Tentu tak sepatutnya diikuti kaum muslim di negara dengan mayoritas muslim.

Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan janganlah kamu tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-nya.” (Q.S. Al Maidah :2). Maka adalah kewajiban kaum muslim senantiasa saling mengingatkan dalam kebaikan dan kebenaran. Tidak ada kebebasan dalam kita menjalani kehidupan karena Allah telah memberikan aturan. Allah tak pernah zalim pada makhluk-nya maka setiap aturan pasti ada hikmah dan membawa kebaikan baik untuk kehidupan di dunia maupun akhirat.

Melakukan syariat sesuai perintah Allah tentu tak bisa dilakukan per individu karena hukum Allah meliputi semua aspek kehidupan baik itu individu, keluarga, masyarakat dan negara. Pemimpin yang paham syariat Allah dan hanya takut pada Allah akan senatiasa menjadikan hukum Allah  dalam memimpin negara. Ketegasan dalam membuat aturan karena memang tidak ada liberalisme dalam Islam akan membuat rakyat tidak bertindak semaunya sendiri hingga akhirnya kebablasan. Pemahaman pemimpin yang akan senantiasa mengedukasi rakyat dalam mendekatkan diri pada Sang Rabb karena sejatinya semua akan dimintai pertanggungjawaban. Negara berdasarkan sistem Islam tentu adalah impian setiap kaum muslim dimana segala kebijakan diambil berdasarkan syariat Allah yang akan melahirkan keberkahan bagi semua.

Wallahu a’lam bishawwab.



Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar