Nasib Honorer Di Ujung Tanduk, Sistem Kapitalisme Membuat Hidup Kian Terpuruk


Oleh : Ine Wulansari (Pendidik Generasi)

Nasib pilu dialami para honorer di negeri Zamrud Khatulistiwa. Tak terkecuali hal ini dialami banyak guru honorer yang terancam diberhentikan. Pasalnya, pemerintah tak main-main dengan wacana penghapusan tenaga honorer. Mulai tanggal 28 November 2023, pemerintah memastikan penghapusan ini akan dilaksanakan. Hal ini tertuang dalam surat Menteri PANRB NO. B/185/M.SM.02.03/2023 terkait Status Kepegawaian di Lingkungan Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Dengan adanya keputusan tersebut, maka Aparatur Sipil Negara (ASN) terdiri atas dua jenis, yakni PNS dan PPPK. Tenaga honorer akan dihapuskan dan diganti dengan sistem outsourcing. (detikfinance.com, 6 Juni 2022)

Menurut Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANBRB) Tjahjo Kumolo menyatakan, kebijakan penghapusan pekerja honorer ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Karena, selama ini mereka direkrut dengan sistem yang tidak jelas. Hasilnya mereka kerap mendapat gaji di bawah upah minimum regional (UMR).

Status honorer saat ini tidak langsung diberhentikan tahun 2023, tenaga non-ASN tetap dibutuhkan hanya saja pola rekrutmennya harus sesuai kebutuhan. Sehingga mendapat penghasilan yang layak. (Republika.co.id, 6 Juni 2022)

Wacana yang tengah dirancang pemerintah, sejatinya tengah membuat resah dan gelisah para pekerja honorer. Sebab, selama mereka menjadi tenaga honorer saja kesejahteraan pun jauh dari yang diharapkan. Apalagi jika rencana ini disahkan pada tahun 2023, maka nasib mereka kian merana. Bukan hanya itu saja, dapat dipastikan angka pengangguran jumlahnya akan terus bertambah. 

Kebijakan pemerintah jika dicermati, hanya berfokus pada penyelesaian penumpukan jumlah honorer agar tidak memberatkan keuangan pemerintah pusat. Faktanya, jika penghapusan tenaga honorer diberlakukan, dapat dipastikan ratusan ribu tenaga kehilangan pekerjaan. Tentu saja hal ini dapat menimbulkan masalah sosial ekonomi, juga memberi dampak pada proses belajar mengajar di sekolah.

Dalam benak sering kali terlintas pertanyaan, mengapa gaji guru honorer sangatlah kecil? Guru pada dasarnya memiliki tugas mulia dalam mendidik calon-calon generasi penerus dan unggul, yang kelak akan menjadi penopang peradaban masa depan. Tapi sungguh, persoalan klasik ini tak kunjung usai dihadapi para abdi negara.

Menjadi guru honorer di negeri yang kaya ini sangatlah tidak mudah. Keberadaan mereka seolah terombang-ambing tak tentu arah. Pada November 2020, pemerintah membuka kesempatan bagi para guru honorer untuk mendaftar dan mengikuti ujian seleksi menjadi guru Pegawai  Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) 2021. Seleksi ini terbuka bagi guru honorer yang terdaftar di Data Pokok Pendidikan (Dapodik), serta lulusan pendidikan profesi guru (PPG) yang saat ini tidak mengajar.

Pemberian gaji peserta PPPK Guru yang lolos tahun 2021 maupun 2022, sudah dianggarkan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam Dana Alokasi Umum (DAU). Sayangnya setelah Januari 2021 berakhir, PPPK Guru belum juga diangkat dan memperoleh status ASN.

Hingga saat ini, baik panselnas (panitia seleksi nasional) dan pemerintah daerah (pemda) belum memberikan keterangan lebih lanjut mengenai kapan tepatnya PPPK Guru diangkat sebagai ASN. (Tirto, 7 Februari 2022)

Sungguh miris, sudahlah tidak ada kejelasan akan nasib tenaga honorer, kini pemerintah berencana menghapusnya ditahun 2023. Bagaimana mungkin penghapusan ini dilakukan agar tenaga honorer bisa sejahtera dan mendapatkan penghasilan yang layak, jika jumlah honorer yang akan diberhentikan sangat banyak. Siapa yang bertanggung jawab terhadap keberlangsungan hidup mereka setelah tak ada lagi pekerjaan? 

Inilah realitas kehidupan yang dihadapi tenaga honorer saat ini. Regulasi penggajian tenaga guru dalam sistem kapitalisme sekuler tidak manusiawi. Padahal, beban kerja yang diemban guru honorer sama berat dengan ASN. Fakta di lapangan menunjukkan, bahwa guru honorer mendapatkan tugas lebih berat dari tugas utamanya. Diantara tugasnya, mereka bisa menjadi operator sekolah, pengelola Bantuan Operasional Sekolah (BOS), serta administrasi lainnya. Akan tetapi, tugas berat yang membebani tenaga honorer, tak seimbang dengan gaji yang diterima. Tugas tak main-main, tetapi gajinya bercanda.

Tentu saja, penyebab benang kusut penggajian guru honorer ini tidak akan pernah terurai, selama penerapan sistem kapitalisme sekuler ini terus dipertahankan. Sebab, sistem inilah yang membawa hidup pada lubang kehancuran. Jika terus hidup dalam sistem rusak ini, penderitaan tak kunjung usai akan terus dirasakan para guru honorer. Padahal guru adalah tulang punggung pendidikan nasional, yang akan menentukan nasib bangsa.

Generasi yang akan datang, sangat ditentukan oleh peran guru dalam mendidik mereka. Jika pemerintah memperhatikan bagaimana pentingnya peran guru dalam mendidik generasi, maka pemerintah tidak akan abai dan akan membuat regulasi yang dapat menyejahterakan guru.

Sudah menjadi tanggung jawab pemerintah terhadap nasib guru honorer yang tidak mendapatkan gaji yang pantas. Padahal jasa mereka sungguh luar biasa dalam mendidik generasi. Ini semua terlihat jelas gagalnya sistem kapitalisme sekuler memberikan perhatian dan jaminan kesejahteraan bagi tenaga honorer.

Sangat berbeda dengan sistem Islam, negara bertanggung jawab sepenuhnya terhadap kesejahteraan para guru. Dalam sistem pendidikan Islam, negara menetapkan regulasi terkait kurikulum, akreditasi sekolah, metode pengajaran, bahan-bahan pengajaran, termasuk penggajian tenaga pendidik dengan regulasi manusiawi, bahkan memuaskan.

Kepala negara (khalifah) akan semaksimal mungkin memenuhi kepentingan rakyatnya, termasuk para pegawai yang telah berjasa. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.: “Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat, dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al-Ahkaam menjelaskan, bahwa seorang kepala negara berkewajiban untuk memenuhi sarana-sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk mendidik masyarakat. 

Dalam sejarah Islam tercatat, betapa besarnya perhatian kepala negara terhadap pendidikan rakyatnya. Begitu juga dengan kesejahteraan tenaga pendidiknya. Guru dalam naungan pemerintah Islam, akan mendapatkan penghargaan yang tinggi. Termasuk gaji yang sangat besar.

Sebagai contoh, di masa Shalahuddin al-Ayyubi, terdapat dua madrasah yang didirikan, yaitu Madrasah Suyufiah dan Madrasah Shalafiyyah. Tenaga pendidiknya diberikan gaji kisaran antara 11-40 dinar. Artinya, apabila dikonversikan dengan nilai saat ini, gaji guru adalah Rp42-153 juta. MasyaAllah.

Demikianlah gambaran indah yang terlukis dalam sistem Isam. Dimana kesejahteraan guru sangat terjamin dengan perhatian yang besar dari negara. Ditambah akses sarana dan prasarana pendidikan yang memadai, sehingga akan memudahkan dalam mengajar dan meningkatkan kualitas pendidikan. Hal ini menjadikan guru bisa fokus menjalankan tugasnya sebagai tenaga pendidik yang akan mencetak generasi unggul. Tujuannya tentu untuk membangun peradaban agung dan mulia, yakni kejayaan Islam.

Wallahua’alam bish shawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar