Dilema RUU KIA: Membela atau Mendiskriminasi Kaum Ibu?


Oleh: Indri (Mahasiswi dan Aktivis Dakwah KoAs)

DPR RI sedang membahas soal RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) yang salah satu isinya membahas soal cuti melahirkan selama enam bulan. RUU KIA disebut telah disepakati oleh Badan Legislasi dan disetujui oleh fraksi di DPR. Dikutip dari detiknews.

Puan maharani mengatakan bahwa RUU KIA bertujuan untuk menciptakan sumber daya manusia Indonesia yang unggul. Ia menilai RUU KIA menitik beratkan pada masa pertumbuhan emas anak (Golden age) yang merupakan periode krusial tumbuh kembang anak, masaini sering terkait dengan seribu hari pertama kehidupan (HPK) sebagai penentu masa depan anak. Ia menegaskan bahwa ibu wajib mendapat waktu yang cukup memerah ASI selama waktu kerja. Dia menyebut, RUU KIA juga mengatur cuti melahirkan paling sedikit enam bulan, serta tidak boleh diberhentikan dari pekerjaan. Selain itu, ibu yang cuti hamil harus tetap memperoleh gaji dari jaminan sosial perubahan maupun dana tanggug jawab sosial perusahaan.

Dalam RUU KIA, cuti hamil berubah menjadi enam bulan dan masawaktu istirahat 1,5 bulan untuk ibu bekerja yang mengalami keguguran. RUU KIA juga mengatur penetapan upah untuk ibu yang cuti melahirkan, yakni 3 bulan pertama masa cuti mendapat gaji penuh dan mulai bulan keempat upah dibayarkan 70 persen.
Wajar saja jika dilema ini muncul dari sebagian perempuan terlebih lagi jika perempuan tersebut menjadi tulang punggung keluarga sebab ideologi kapitalisme jadi sistem kehidupan saat ini memang gagal menjamin kesejahteraan perempuan. Pangkal kegagalan ini disebabkan ideologi kapitalis mengukur kesuksesan perempuan dengan capaian materi posisi publik. ukurannya angka belaka seperti samanya gaji dengan laki-laki. sementara tolak ukur spritual dan tugas utamanya adalah ummu wa rabbatul bait (Ibu rumah tangga) sama sekali tidak dimasukkan dalam parameter keberhasilan tersebut. apalagi perempuan tersebut hidup dalam himpitan ekonomi keluarga maka tawaran bekerja adalah solusi realistis untuk menghadapi persoalan tersebut. Perempuan dikatakan berkarya dan terhindar dari diskriminasi jika bekerja  sebagaimana yang digaungkan aktivis gender dalam balance for better.   

Oleh karena itu wajar jika para perempuan merasa khawatir dengan kebijakan RUU KIA mereka justru kehilangan kesempatan bekerja. sekalipun cuti melahirkan adalah hak mereka. Dilema ini tidak akan menjadi masalah ketika kehidupan manusia diatur oleh sistemshohih yaitu sistem islam,posisi laki-laki dan perempuan dalam islam akan dipandang sama sebagai seorang hamba contohnya diwajibkan dalam melaksanakan sholat, puasa, zakat, haji maupun dakwah.

Islam mengatur bahwa nafkah perempuan di tanggung walinya sebagaimana perintah Allah dalam Al Qur'an surah Al Baqarah ayat 233. Di sisi lain Islam memberikan hak kepada perempuan untuk terlibat dalam aktivitas ekonomi, perdagangan, pertanian, industri dan melakukan interaksi didalamnya, boleh memiliki dan mengembangkan harta. Oleh karena itu hukum bekerja bagi wanita adalah mubah (boleh).     

Maka ketika perempuan ada di masa melahirkan maupun menyusui tidak akan menjadi masalah, mereka bisa mengajukan cuti tanpa beban ekonomi mereka akan terganggu sebab nafkah di tanggung oleh walinya. Wallahu alam bishawab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar