ISLAM SOLUSI TUNTAS TANGANI BANJIR


OLEH: ANING JUNINGSIH (IRT DAN AKTIVIS DAKWAH ISLAM)

Fenomena banjir yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia dari tahun ke tahun tak kunjung menemukan solusi. Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah hanya sebatas respon atas dampak terjadinya banjir seperti dengan membuat kanal baru, membeli pompa baru, memperbaiki bendungan, dan lain sebagainya.

Salah satu penyebab banjir adalah curah hujan yang tinggi. Namun, curah hujan merupakan siklus alami yang bisa direkayasa dengan teknologi. Permasalahan utama banjir karena tidak terserapnya air oleh tanah akibat dari tidak adanya tanaman yang tumbuh pada tanah tersebut atau Jenis tanaman yang ada mempengaruhi penyerapan air pada tanah. Selain itu, daerah resapan justru dialih fungsikan menjadi perkebunan, atau bahkan perumahan.

Baru baru ini terjadi banjir bandang yang melanda wilayah Garut, Jawa Barat akibat guyuran hujan deras yang tak kunjung berhenti sejak Jumat (15/7/2022) malam. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jabar menyebutkan banjir Garut disebabkan oleh intensitas hujan yang tinggi. Hal tersebut menyebabkan naiknya volume air.

"Penyebab kejadiannya adalah hujan dengan intensitas tinggi. Sehingga mengakibatkan debit air Sungai Cimanuk tidak dapat terbendung, dan meluap ke daerah sekitar aliran," kata Kasi Kedaruratan BPBD Jabar Hadi Rahmat.

Dengan melihat berbagai penyebab banjir di atas maka akan kita temukan bahwa akar masalah musibah yang sebenarnya adalah sistem kebijakan yang dibuat tanpa mempertimbangkan kemaslahatan rakyat dan kondisi lingkungan. Banyak sekali kebijakan yang diambil oleh mayoritas pemerintahan di dunia, termasuk bangsa ini yang tidak mempertimbangkan kondisi lingkungan yang ternyata terdampak secara langsung akibat realisasi dari kebijakan yang diamini pemerintah. Mulai dari pembangunan infrastruktur seperti jalan raya, gedung tinggi sampai pembangunan pabrik dan perumahan yang minim pertimbangan akan kelangsungan sumber daya alam.

Adapun sistem kebijakan yang diambil oleh dunia bahkan bangsa ini saat ini ialah sistem pemerintahan demokrasi kapitalistik. Dalam sistem kapitalisme yang berlandaskan dengan kapital atau modal berarti bahwasanya setiap kebijakan yang terselenggara akan mengikuti pemilik modal.

Pemilik modal seolah menjadi tokoh sentral sehingga mampu membeli nilai pada sumber daya tertentu, maka sumber daya tersebut akan menjadi miliknya, terlepas apakah sumberdaya itu menyangkut hajat hidup orang banyak ataukah tidak. 

Sementara individu lain (termasuk rakyat) harus mengeluarkan usaha atau modal dan membayar harga tertentu untuk dapat mengakses sumber daya itu. Sehingga hubungan pemerintah dan rakyat layaknya hubungan penjual dan pembeli. 

Pembangunan properti, aktivitas penambangan dan sejumlah pembangunan di hulu sungai disetujui oleh pemerintah semata-mata adalah untuk pertumbuhan ekonomi. Para pemangku kebijakan menganggap bahwa jika aktivitas ekonomi tinggi, semua itu akan mendatangkan devisa bagi negara dan menciptakan lapangan kerja bagi rakyat.

Inilah yang diklaim sebagai jalan menuju kesejahteraan. Jika devisa negara makin besar, kemaslahatan bagi rakyat makin besar pula. Pemasukan APBN yang makin besar juga bisa menyebabkan pungutan pajak berkurang atau pembangunan infrastruktur yang makin masif.

Selain itu, banyaknya investor yang mau menyuntikkan dananya pada satu perusahaan akan menumbuhkan satu perusahaan. Sementara itu, perusahaan yang makin bertumbuh dianggap bisa membuka banyak lapangan pekerjaan.

Namun, alih-alih terjadi, kenyataannya justru sebaliknya. Pembangunan properti dan aktivitas penambangan nyatanya tidak menambah signifikan devisa negara. Keuntungan terbesarnya digondol semua oleh korporasi. Pemerintah hanya kebagian sangat sedikit, itu pun belum dipotong aktivitas korupsi yang jamak diketahui selalu melekat dalam setiap implementasi kebijakan.

Begitu pun lapangan kerja, tidak serta-merta bertambah. Banyak mata pencaharian yang hilang setelah pembangunan, misalnya petani, nelayan, dan pelaku UMKM. Sementara itu, perusahaan hanya menerima SDM yang kompetensinya jauh di atas para petani dan nelayan tersebut. Jadi, bukankah pembangunan kapitalistik ini malah menciptakan pengangguran?

Oleh karenanya, sebenarnya bencana ekologis bisa terselesaikan apabila kebijakan pemerintah independen dan pembangunannya berfokus pada kemaslahatan manusia. Namun, sistem kapitalisme tidak akan mampu mewujudkan hal yang demikian.

Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin memiliki aturan yang sangat terperinci mengenai pembangunan dan tata kelola lingkungan agar tidak terjadi bencana ekologis. Walaupun terjadinya bencana merupakan ketetapan Allah Swt., tetapi manusia wajib berikhtiar agar terhindar dari bencana tersebut. Ikhtiar optimal tentu tidak bisa dilakukan individu semata, melainkan harus skala negara karena negara memiliki kekuatan menyelesaikannya dan berwenang untuk menetapkan kebijakan. Sistem politik Islam yang menolak intervensi cukong pada sistem pemilihannya menjadikan kebijakan yang lahir akan independen, bebas dari pengaruh pengusaha.

Selain itu, sistem politik Islam akan menghimpun penguasa yang amanah dan kapabel dalam mengurus umat sehingga seluruh kebijakannya akan mengikuti kemaslahatan umat. Tidak akan lolos pula izin alih fungsi lahan di daerah resapan, walaupun valuasi perusahaan tersebut tinggi.

Pembangunannya pun berfokus pada kesejahteraan umat, bukan semata pertumbuhan ekonomi. Walhasil, pembangunan infrastruktur, misalnya, akan diprioritaskan pada fasilitas dan transportasi yang bermanfaat pada umat. Melimpahnya pemasukan baitulmal dari pengelolaan SDA menjadikan negara tidak perlu lagi memungut pajak.

Negara dengan sistem pemerintahan Islam pun akan memiliki masterplan dalam mengurus tata kelola lingkungan. Terjadinya banjir akan diteliti dengan cermat oleh para ahli yang lahir dari sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Pemerintahan Islam akan sangat ketat dalam perizinan alih fungsi lahan karena daerah resapan harus terlindungi agar tidak terkena banjir. Pemerintahan Islam juga memiliki pemetaan, mana saja daerah yang boleh dikonversi, termasuk boleh dijadikan daerah pemukiman; dan mana yang harus dilindungi, seperti kawasan hutan lindung.

Selain regulasi yang tegas dan pro umat, hukum sanksi dalam Islam juga bersifat menjerakan sehingga siapa pun yang melanggar, misalnya menambang tanpa izin, akan mendapatkan sanksi administrasi yang menjerakan.

Inilah kesempurnaan Islam dalam menyelesaikan permasalahan bencana ekologis akibat pembangunan kapitalistik dan kebijakan yang tidak independen. Oleh karenanya, agar bencana ekologis bisa terselesaikan dan malapetaka yang menimpa umat berakhir, urgen sekiranya negeri ini menerapkan syariat Islam dalam bingkai Khilafah Islamiah. 

Wallahu a’lam bishowab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar