Akankah Bencana Terus Terjadi Tanpa Solusi Hakiki?


Oleh: Siti Maemunah (Ummahāt Aktivis Literasi Islam Kaffāh)

Banjir yang melanda Garut pada Jumat (15/7) malam menyebabkan hanyutnya sembilan rumah. Selain itu, puluhan rumah mengalami kerusakan. Wakil Gubernur Jawa Barat, Uu Ruzhanul Ulum menilai, banjir yang terjadi di Garut tidak hanya akibat curah hujan yang tinggi. Lebih dari itu, banjir karena adanya pembabatan dan alih fungsi lahan di kawasan hulu sungai.sehingga merendam 20 desa di delapan kecamatan di Kabupaten Garut.

Pejabat fungsional PVMBG, Edi Mulyadi, mengatakan, terdapat beberapa faktor yang diselidiki di lapangan, seperti susunan bebatuan, bentang alam, aliran air, tata guna lahan, mekanisme terjadinya banjir bandang, dan penyebabnya. Ia menjelaskan, berdasarkan hasil penyelidikan, kondisi geologi di wilayah itu terdiri dari berbagai jenis bebatuan. "Batuan yang paling atas itu merupakan batuan gembur dan rapuh. Bebatuan itu merupakan produk dari gunung api purba di wilayah itu, seperti Talaga Bodas dan Karaha Bodas,". Sementara dari kondisi bentang alam, wilayah itu merupakan daerah pegunungan dengan kemiringan yang terjal. Sedangkan di bagian tengah relatif lebih landai.

Sementara menurut Adriansah Manu dalam diskusinya terkait bencana alam Garut ini menjelaskan bahwa bencana seharusnya dipandang bukan hanya sebatas fenomena alam yang harus diterima sebagai takdir, lebih dari itu bencana sebagai akibat dari berbagai kebijakan negara yang mengabaikan aspek-aspek kebencanaan yang setiap saat berpotensi menjadi ancaman bagi kehidupan dan keselamatan manusia. 

Bencana atau musibah tidak bisa ditebak kapan datangnya. Manusia mungkin bisa memperkirakan potensi bencana dengan melihat fenomena-fenomena alam. Namun kepastian hari, tanggal, hingga jam kejadian bencana berada di luar jangkauan manusia. Dampak kerusakan bencana juga tidak bisa diprediksi secara pasti. Bencana bisa memakan korban nyawa, merusak harta benda, hingga memaksa adanya pengungsian.

Sejumlah ayat yang memuat keterangan tentang alasan musibah didatangkan oleh Allah Subhānahu Wa Ta'ālā:

Terjadinya kerusakan di darat dan laut akibat ulah manusia (QS Ar Rum: 41).
Bencana menimpa manusia karena kesalahannya (QS An-Nisa:79).
Allah menimpakan siksa bagi yang zalim (QS Al-A’raf:165).
Allah menjatuhkan bencana pada yang ingkar sebagai balasan (QS At-Taubah:26).

Penjelasan dalam Al-Quran bisa menunjukkan bagaimana bencana dimaknai dalam Islam. Setidaknya ada 3 makna bencana dalam pandangan Islam.

Pertama, bala' atau ujian.
Sebagai ujian, bencana atau musibah datang untuk mengangkat derajat seseorang maupun kaum yang menerimannya. Jika mereka dapat melewati bencana atau musibah dengan kesabaran maka akan bertambah keimanan dan ketaatannya. Turunnya bala' turut menjadi penghapus dosa bagi yang mendapatkannya apabila dihadapi dengan baik dan penuh kesabaran.

Kedua, hukuman (iqab).
Bencana dalam arti hukuman atai iqab bisa diturunkan Allah Subhānahu Wa Ta'ālā apabila manusia telah bertindak melampui batas. Tindakan manusia dan kaumnya telah melanggar syariat sehingga menimbulkan kemurkaan dari Allah Subhānahu Wa Ta'ālā. Misalnya, di suatu hutan yang cukup lebat lalu dilakukan penebangan massal tanpa mengindahkan penghijauan. Akibat hutan gundul, bermunculan bencana seperti tanah longsor atau banjir. Semua bencana itu terjadi karena manusia telah merusak alam.

Ketiga, 'adzab atau pembinasaan
Makna bencana yang terakhir adalah azab atau pembinasaan. Bencana dalam bentuk azab banyak disebut di dalam kisah-kisah Nabi sebelum Rasulullah Muhammad Shallallāhu 'Alayhi Wasallam.

Misalnya, kaum Nabi Nuh yang menolak ajakan untuk bertauhid pada Allah Subhānahu Wa Ta'ālā, ditimpakan pada mereka azab berupa banjir bandang yang menewaskan seluruh orang-orang kufur.

Persoalan kerusakan hutan di hulu harus diselesaikan secara tuntas agar bencana tidak berulang. Alih fungsi lahan hutan oleh rakyat menunjukkan sesungguhnya rakyat “lapar” lahan. Sedangkan kepemilikan lahan di Indonesia bernilai 0,68, yaitu 1% penduduk menguasai 68% lahan.

Mestinya ada pengaturan kepemilikan lahan yang seimbang agar rakyat tidak merambah masuk ke hutan yang dilindungi. Juga tidak memberi rel penguasaan lahan dan hutan kepada korporasi.
 
Ini menunjukkan betapa penguasa lemah di hadapan korporasi, di samping lemah melayani rakyat. Lalu ke mana arah kebijakan penguasa berpihak? Akankah bencana terus terjadi tanpa solusi hakiki? Allāhu A'lam bishshawab []




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar