Oleh : Ummu Ihsan (Penulis Opini Islam)
Simpang siur polemik pagar laut disebabkan oleh hukum buatan manusia, asas kepentingan membuat aturan bisa dipermainkan. TNI Angkatan Laut bersama dengan nelayan membongkar pagar laut misterius sepanjang 30,16 km di Kabupaten Tangerang, Banten, (Tribunnews.com, 18/1/2025).
Penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) pagar laut di kawasan pesisir pantai utara (pantura), Kabupaten Tangerang, Banten, berstatus cacat prosedur dan material. Dia menjelaskan, dari 266 SHGB dan SHM di area tersebut yang dicocokkan dengan data peta yang ada, telah diketahui berada di luar garis pantai, alias berada di atas laut.
Berdasarkan data BHUMI, situs web informasi spasial yang dikelola Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Elisa memperkirakan total wilayah laut yang masuk area HGB mencapai 537,5 hektare.
Senin (20/01), Menteri Agraria dan Tata Ruang Nusron Wahid membenarkan bahwa sertifikat HGB telah terbit untuk 263 bidang di dan sekitar wilayah perairan tersebut. Selain itu, ada sertifikat hak milik (SHM) untuk 17 bidang lainnya.
Nusron bilang ada sembilan bidang yang mendapat sertifikat HGB atas nama perorangan. Sementara itu, sertifikat HGB untuk 254 bidang dimiliki dua perusahaan. "Atas nama PT Intan Agung Makmur sebanyak 234 bidang, dan atas nama PT Cahaya Inti Sentosa sebanyak 20 bidang", ungkap Nusron saat jumpa pers, dua perusahaan itu—secara langsung dan tidak langsung—dimiliki PT Agung Sedayu dan sejumlah entitas lain, yang dikendalikan keluarga konglomerat Sugianto Kusuma alias Aguan. Bersama Salim Group, Agung Sedayu Group mengembangkan kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2, yang bersebelahan dengan titik awal pagar laut di Desa Tanjung Burung. (Sumber : BBC News Indonesia 21 Januari 2025)
Investigasi Kementerian ATR/BPN menemukan bahwa HGB dan SHM di perairan utara Tangerang cacat prosedural dan material. Belum lagi, pagar laut terbukti dibangun di luar garis pantai. Oleh karena itu, Kementerian ATR/BPN pun memutuskan untuk mencabut HGB dan SHM yang terdaftar di area pagar laut Tangerang. “Karena itu, kami memandang bahwa sertifikat tersebut yang berada di luar garis pantai, cacat prosedur dan cacat material. Karena cacat prosedur dan cacat material, berdasarkan PP Nomor 18 Tahun 2021, selama sertifikat belum berusia lima tahun, maka Kementerian ATR/BPN mempunyai kewenangan untuk mencabutnya atau membatalkan,” jelas Nusron dalam konferensi pers di Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Rabu (22/1/2025).
Kapitalisme menjadikan negara tidak memiliki kedaulatan mengurus urusan umat. Kedaulatan itu tergadaikan akibat prinsip kebebasan kepemilikan dari sistem Kapitalisme. Negara hanya menjadi regulator yang bergerak sesuai dengan arahan para kapital, bahkan menjadi penjaga kepentingan kapital. Akibatnya Negara tidak memiliki kuasa untuk menindak para kapital yang perbuatannya menyengsarakan rakyat.
Syaikh Abdul Qodim Zallum di dalam kitabnya al-Amwal fii Daulah al-Khilafah menjelaskan bahwa “Sesungguhnya laut, sungai, danau, teluk, kanal umum seperti terusan Suez, lapangan umum, masjid-masjid, merupakan kepemilikan umum yang menjadi hak bagi setiap individu rakyat.” Masih dari kitab yang sama dijelaskan bahwa sebab menjadi kepemilikan umum karena karakter pembentukannya yang mencegah seorang individu untuk memilikinya.
Dari sini kita dapat memahami bahwa wilayah laut adalah milik umum yang tidak boleh dimiliki individu. Berbagai aset atau wilayah yang menjadi kepemilikan umum adalah milik seluruh kaum muslim, yang mereka memiliki hak yang sama dalam memanfaatkannya tanpa dibedakan keberadaannya apakah dia laki-laki atau perempuan, anak kecil atau dewasa, yang baik maupun yang tidak baik. Karena laut adalah kepemilikan umum, maka negara tidak berhak menjual wilayah laut itu kepada individu atau korporasi, karena pada hakikatnya laut itu bukan milik negara namun milik seluruh kaum muslim.
Memagari laut adalah salah satu bentuk dari melakukan proteksi terhadap suatu wilayah tertentu, yang di dalam Islam hal ini tidak boleh dilakukan kecuali oleh negara, sebagaimana dijelaskan dalam riwayat Abu Dawud dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Shallahu ‘alaihi wasallama bersabda: “Tidak ada proteksi (hima) kecuali oleh Allah dan Rasulnya” yaitu oleh negara. Kalaupun negara ingin melakukan proteksi terhadap kepemilikan umum, maka tujuan proteksi itu tiada lain adalah untuk kemaslahatan umum, misalnya memproteksi suatu wilayah untuk keperluan jihad, untuk keperluan fakir miskin dan untuk kemaslahatan kaum muslim secara keseluruhan, tidak seperti proteksi pada masa jahiliyah yaitu memproteksi dengan memberikan hak istimewa dari individu tertentu untuk diproteksi bagi dirinya sendiri.
Dari sisi bahwasanya laut adalah kepemilikan umum dan adanya larangan memproteksi suatu wilayah untuk kepentingan individu maka jelas hukum aktivitas memagari laut yang dilakukan selain oleh negara adalah haram. Di sisi lain kita mengetahui bahwa laut adalah tempat para nelayan menggantungkan hidupnya dalam mencari nafkah, jika laut tersebut dipagari dan membuat para nelayan kesulitan mencari nafkah, maka ini akan membahayakan banyak nelayan yang sehari-harinya mencari nafkah dengan mencari ikan dan sebagainya. Dalam hal ini Rasulullah Shallahu ‘alaihi wasallama bersabda: “Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain” (HR. Ibnu Majah).
Maka negara sebagai pengurus urusan rakyat, harus bertindak tegas ketika ada pihak yang memagari laut, negara juga tidak boleh memberikan izin memagari laut karena laut bukanlah milik negara, namun laut adalah milik umum yang setiap individu rakyat berhak untuk memanfaatkannya. Selain itu laut adalah tempat yang menjadi hajat hidup orang banyak yang akan membahayakan banyak pihak jika kemudian laut dipagari atau diproteksi untuk kepentingan individu atau korporasi tertentu. Wallahu a’lam bis shawab. Sumber : (MediaUmat)
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar