Oleh: Imas Royani, S.Pd.
Iklan lowongan pekerjaan di Indonesia hingga kini masih membludak melalui berbagai saluran, seperti platform lowongan pekerjaan milik swasta, media sosial, hingga aplikasi pesan instan. Tidak adanya sistem tunggal yang terstruktur dan terintegrasi untuk lowongan pekerjaan berpotensi memicu munculnya rekrutmen palsu yang merugikan pencari kerja.
Chief Operating Officer Jobstreet by Seek di Indonesia, Varun Mehta, mengatakan, di Indonesia, menurut dia, belum ada sistem lowongan pekerjaan yang terstruktur dan terintegrasi yang dikoordinasi oleh negara. Pihak pencari kerja dirugikan dengan kondisi ini.
”Apalagi, kebanyakan pekerja cenderung mementingkan ’yang penting bekerja’ sehingga asal sebar dokumen riwayat hidup atau CV, termasuk ke aplikasi media sosial dan pesan instan yang menawarkan iklan lowongan pekerjaan,” ujarnya, di sela-sela peluncuran inovasi Gerakan #NextMillionJobs, Kamis (24/1/2025), di Jakarta. (Kompas online, 23/1/2025).
Memang benar. Dan kejadian ini telah lama berlangsung. Jauh sebelum generasi milenial sibuk mencari kerja. Penipuan berkedok lowongan pekerjaan bonafit padahal setelah ditelusuri ke alamat yang dimaksud hanya rumah atau ruko sederhana dan pekerjaan bonafit yang dimaksud harus dilalui dengan terlebih dahulu training berupa menjajakan produk door to door alias sales. Itu masih mending. Karena ada yang lebih parah, mereka menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) jadi pekerja kasar, pekerja seksual, atau dibunuh untuk kemudian dijual organ tubuhnya.
Anehnya, meskipun telah lama tapi belum ada solusi mengakar dari negara. Seolah-olah mereka bukan bagian dari masyarakatnya yang harus dilindungi. Negara hanya memikirkan bagaimana mengurangi beban negara. Kalaulah bisa, mengentaskan kemiskinan justru dengan melenyapkannya, bukan mensejahterakannya. Begitupun ketika mengatasi banyaknya pencari kerja, negara malah memberikan pelatihan tanpa menyalurkannya. Atau UMKM, hanya sekedar semangat di awal setelah produksi selesai tanpa difasilitasi distribusi dan pasar untuk menjual produknya.
Kualitas lulusan bukannya semakin baik, malah sebaliknya. Banyaknya sertifikat dan ijazah palsu. Nilai yang diraih hanya memenuhi teori tanpa arti. Ilmu pengetahuan hanya dijadikan hapalan sebab kenyataannya banyak ilmu pengetahuan yang tidak terpakai di kehidupan umum. Kalaupun ada lulusan yang lolos, hanya menempati pekerjaan kasar bergaji kecil. Sementara posisi dan jabatan tinggi hanya bagi mereka yang tinggi pula dalam mengeluarkan uang sogokan.
Berita terbaru, pemerintah akan meminimalkan sekolah kedokteran/kesehatan padahal tenaga kesehatan Indonesia sangat kurang. Tersebab posisi tersebut akan digantikan oleh tenaga asing, maka tenaga kerja lokal harus puas sekolah di sekolah pencetak buruh korporasi.
Terbukti sistem kapitalisme yang menjadikan materi sebagai tujuan utama ternyata tidak bisa memberikan materi yang merata yang bisa dinikmati oleh semua kalangan. Negara yang menganut istem kapitalisme hanya memikirkan pemenuhan ambisi pengusaha rakus tak peduli menumbalkan begitu banyak generasi yang tertipu lowongan kerja palsu. Sungguh sistem ini tidak layak dipertahankan.
Saatnya mengganti sistem dengan sistem terintegrasi berupa sistem Islam kaffah yang akan meningkatkan kewaspadaan individu, masyarakat, juga negara, agar masalah ini dapat diminimalkan bahkan dinihilkan. Hal ini niscaya sebab negara yang menerapkan sistem Islam memiliki peran besar dalam memastikan terpenuhinya kebutuhan rakyat, orang per orang. Islam mendudukkan negara sebagai pengurus (raa’in) yang wajib mengurus rakyat termasuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan mewujudkan kesejahteraan.
Rasulullah Saw. bersabda,
الْØ¥ِÙ…َامُ رَاعٍ ÙˆَÙ…َسْئُولٌ عَÙ†ْ رَعِÙŠَّتِÙ‡ِ
"Seorang pemimpin (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus." (HR. Bukhari dan Muslim).
Para ulama mengartikan makna ar-râ’i adalah al-hâfizh al-mu’taman (penjaga, pemelihara, wali, pelindung, pengawal, pengurus, pengasuh yang diberi amanah). Artinya, selain memastikan terpenuhinya kebutuhan mereka, penguasa juga adalah pelindung rakyat. Ini karena penguasa/pemimpin wajib mewujudkan kemaslahatan tiap orang yang berada di bawah kepemimpinannya.
Untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya, Islam menetapkan sumber pemasukan negara berbasis baitulmal dari sumber-sumber yang beragam dan banyak yang cukup untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat individu per individu.
Al-‘Alamah Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah menjelaskan bahwa sumber-sumber utama penerimaan negara di baitulmal seluruhnya terstandarisasi oleh syariat Islam. Setidaknya terdapat tiga sumber utama pendapatan negara. Pertama, sektor kepemilikan individu, seperti sedekah, hibah, zakat, dan lainnya. Khusus zakat tidak boleh bercampur dengan harta yang lain. Kedua, sektor kepemilikan umum yakni tambang, minyak bumi, gas alam, ekosistem hutan dan sejenisnya. Ketiga, sektor kepemilikan negara seperti jizyah, kharaj, fai, usyur, dan lainnya.
Dengan sumber-sumber pemasukan ini, negara Islam (Khilafah) akan mampu membuka lapangan kerja dan merekrut banyak tenaga kerja. Ini sekaligus mekanisme negara untuk menciptakan lingkungan kondusif agar para laki-laki dewasa pencari nafkah dapat memenuhi kebutuhan orang/keluarga tanggungannya. Dengan demikian, kaum perempuan maupun anak-anak tidak harus ikut serta terlibat menjadi tulang punggung ekonomi keluarga.
Di sisi lain, negara berperan dalam menjamin individu rakyat dan masyarakat menjalankan transaksi ekonomi, baik melalui bisnis jasa maupun barang dalam batas-batas yang sesuai syariat. Untuk itu, negara menyelenggarakan sistem pendidikan Islam yang bertujuan untuk membentuk kepribadian Islam rakyatnya.
Sistem pendidikan Islam yang berasas akidah Islam akan mencetak individu yang berkepribadian Islam, yang senantiasa membingkai diri mereka dengan pola pikir dan pola sikap yang islami. Ketakwaan yang mereka miliki akan menghindarkan mereka dari berbagai kemaksiatan dan perbuatan yang melanggar syariat.
Penerapan syariat Islam bertujuan untuk merealisasikan tujuan-tujuan syariat (maqashid asy-syariah), yakni menjaga agama (hifzh ad-din), menjaga nyawa (hifzh an-nafsi), menjaga akal (hifzh al-aql), menjaga keturunan (hifzh an-nasl), dan menjaga harta (hifzh al-mal).
Untuk memastikan terjaminnya pelaksanaan syariat, negara hadir untuk menerapkan sistem sanksi tegas bagi siapapun yang melanggar. Negara akan merujuk pada tiap kasus dan diselesaikan sesuai dengan pandangan syariat dan menjatuhkan sanksi sesuai petunjuk syariat pula. Dengan demikian, solusi yang melibatkan berbagai level kehidupan bermasyarakat dan bernegara ini akan menihilkan penipuan berkedok lowongan pekerjaan atau yang selainnya secara sistemis dan komprehensif.
Kehidupan akan terus terpuruk, bahkan berujung kehancuran jika sistem kepemimpinan sekuler tetap bertahan. Satu-satunya cara untuk menyelamatkannya adalah dengan menghadirkan kepemimpinan Islam yang dibimbing oleh wahyu Allah SWT. dan dicontohkan oleh baginda Rasulullah Saw., serta para Khalifah setelah beliau. Mari bersama-sama kita mewujudkannya dengan mengkaji Islam kaffah bersama kelompok dakwah Islam ideologis.
Wallahu'alam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar