Oleh: Imas Royani, S.Pd.
Korban longsor di Petungkriyono, Pekalongan terus bertambah. Informasi terakhir, jumlah korban tewas mencapai 22 orang. Diketahui longsor itu terjadi di Desa Kasimpar, Petungkriyono pada Senin (20/1) petang. Ada tiga bangunan yang tertimpa longsor dan informasi terakhir pada Kamis (23/1) pukul 14.40 WIB korban tewas diketahui mencapai 22 orang dengan 4 orang masih dalam pencarian. Korban ditemukan 200 meter dari rumah Sekdes Kasimpar. Lokasi pencarian korban ini sebenarnya merupakan area persawahan. Namun kini banyak ditemukan puing-puing material bangunan rumah. Tampak ada satu mobil dan sekitar enam kendaraan sepeda motor yang ditemukan di lokasi. Diduga kendaraan itu tersapu aliran longsor sekitar 200 meter jaraknya.
Kepala Kantor Basarnas Semarang, Budiono, mengatakan lebih dari 1.200 personel tim SAR gabungan terdiri dari Basarnas, TNI, Polri, Dinsos, BPBD, PMI, puluhan organisasi SAR serta masyarakat sekitar. Tiga unit alat berat dan anjing pelacak juga dikerahkan di lokasi. (detikJateng, 24/1/2025).
''Terhitung sejak 21 Januari hingga 4 Februari 2025, Pemkab Pekalongan menetapkan status darurat bencana. Dan kami telah menyiapkan posko di 4 kecamatan terdampak longsor yaitu Petungkriyono, Lebakbarang, Paninggaran, dan Kandangserang'' ujar Bupati Pekalongan, Fadia Arafiq. (BBC online, 22/1/2025).
Secara geografis negeri ini adalah negeri yang rawan bencana karena terletak di daerah iklim tropis dengan dua musim yakni panas dan hujan, dengan ciri-ciri adanya perubahan cuaca, suhu, dan arah angin yang cukup ekstrem, tidak heran jika potensi bencana di Indonesia sangat besar mulai dari gempa, banjir, gunung meletus, longsor kekeringan, kebakaran dan lain-lain.
Semestinya hal ini menjadikan pemerintah lebih serius dalam melakukan upaya antisipasi dan mitigas. Dari sisi regulasi, Indonesia sebenarnya sudah memiliki banyak peraturan terkait mitigasi bencana, diantaranya adalah UU 24/2007 tentang penanggulangan bencana yang menegaskan tentang BNPB sebagai koordinator penanganan bencana di tingkat nasional, serta BPBD di tingkat provinsi dan kabupaten/kota; PP 21/2008 tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana yang mewajibkan penyusunan rencana penanggulangan bencana oleh pemda; UU 26/2007 tentang penataan ruang yang mengintegrasikan mitigasi bencana ke dalam tata ruang wilayah, serta mengatur pembangunan di zona rawan bencana, tsunami, dan tanah longsor, dan Permendagri 33/2006 tentang pedoman umum mitigasi bencana. Namun, mengapa kejadian bencana yang sama selalu berulang setiap tahun?
Bencana alam yang terjadi sering kali memiliki hubungan kausalitas yang erat dengan aktivitas manusia yang merusak lingkungan. Bencana banjir dan longsor distimulasi oleh aktivitas penggundulan hutan yang mengurangi kemampuan tanah menyerap air hujan sehingga aliran permukaan meningkat. Tanah yang kehilangan akar pohon juga menjadi tidak stabil dan mudah longsor.
Di Indonesia, pembukaan hutan untuk pembukaan lahan perkebunan, tambang, maupun permukiman sering menjadi penyebab utama banjir besar di daerah aliran sungai. Munculnya cuaca ekstrem seperti saat ini selain terkait perubahan iklim, juga karena aktivitas manusia yang berlebihan dalam penggunaan bahan bakar fosil. Eksploitasi SDA yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan dan kegagalan pengelolaan lingkungan juga dapat memicu bencana alam.
Berkaca dari berbagai kasus bencana yang terjadi, mitigasi bencana menjadi suatu kewajiban bagi negara untuk mempersiapkan masyarakat, sumber daya yang dibutuhkan, dan kelembagaan yang dibangun berdasarkan karakteristik sumber dan jenis bencana yang akan dimitigasi. Hanya saja di negeri yang menganut sistem kapitalisme, mitigasi diintimidasi oleh kepentingan oligarki yang difasilitasi oleh sang penguasa negeri. Hal demikian menjadikan pengaturan dan biaya mitigasi diatur seminimal mungkin agar tidak membebani anggaran negara yang termaksimalkan oleh gaji dan berbagai fasilitas mewah penguasa. Mitigasi hanya dilakukan sekedarnya saja untuk meninabobokan rakyat yang teraniaya.
Paradigma pembangunan yang sekuler kapitalistik dan berorientasi pada kepentingan investor telah membuktikan bahwa perilaku dan kebijakan penguasalah yang menjadi penyebab munculnya bencana (seperti bencana hidrometeorologi) yang sering terjadi. Kasus banjir akibat penggundulan hutan dan alih fungsi lahan untuk kepentingan investasi menjadi bukti penerapan kebijakan kapitalistik. Upaya mitigasi bencana akan sulit diterapkan karena akan bertolak belakang dengan kepentingan investor. Parahnya lagi, terdapat banyak tindakan melanggar aturan melakukan pembukaan lahan padahal izin lingkungan belum keluar. Hal ini dapat terjadi karena kolusi antara pemilik modal dan pejabat yang berkuasa.
Berbeda dengan sistem Islam. Di dalam Islam negara wajib menghindarkan rakyatnya dari kemudhorotan termasuk bencana. Negara akan melakukan perencanaan matang dalam membangun kota atau desa dan berorientasi pada kemaslahatan seluruh rakyat, negara membangun kota berbasis mitigasi bencana. Islam telah mengatur konservasi agar ada larangan berburu binatang dan merusak tanaman demi menjaga ekosistem. Islam juga mengharuskan adanya pemetaan wilayah sesuai potensi bencana berdasarkan letak geografisnya, sehingga akan membangun tata ruang yang berbasis mitigasi bencana sehingga aman untuk manusia dan alam. Semua dilakukan oleh negara karena Islam menjadikan penguasa sebagai raa'in dan junnah termasuk dalam menghadapi bencana.
Dalam Islam, mitigasi bencana memiliki dasar pada prinsip-prinsip syariat yang bertujuan untuk menjaga keberlanjutan kehidupan dan keseimbangan di bumi. Allah SWT. memberikan amanah pada manusia untuk menjadi khalifah di bumi (lihat QS. Al-Baqarah ayat 30). Manusia berkewajiban mengelola bumi dengan baik, termasuk mencegah kerusakan yang dapat memperbesar risiko bencana.
Islam melarang segala bentuk kerusakan (fasad) di muka bumi. Dalam QS. Ar-Rum ayat 41 Allah SWT. berfirman, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Salah satu tujuan utama syariat (maqasid syariah) adalah menjaga nyawa manusia. Dengan demikian, mitigasi bencana dengan menyediakan infrastruktur yang aman dan layak, membangun sistem peringatan dini, dan melatih masyarakat, menjadi kewajiban negara karena bertujuan untuk melindungi manusia dari risiko kematian atau kerugian akibat bencana.
Mitigasi bencana merupakan upaya pencegahan yang dapat melibatkan teknologi untuk mendeteksi potensi bencana. Ikhtiar di dalam Islam bersifat wajib untuk menghadapi segala kemungkinan. Rasulullah Saw. bersabda, “Ikatlah untamu, kemudian bertawakkallah kepada Allah.” (HR. Tirmidzi).
Islam mengutamakan tindakan yang memberikan manfaat bagi banyak orang dan menghindarkan mudarat (bahaya). Mitigasi bencana bertujuan menciptakan kemaslahatan melalui perlindungan lingkungan sumber daya alam, mengurangi risiko bencana yang merugikan masyarakat, dan menjamin keberlangsungan kehidupan generasi mendatang.
Mitigasi bencana juga membutuhkan peran kolektif dan solidaritas, oleh karena itu warga negara diajarkan untuk saling membantu dalam menghadapi kesulitan. Hal ini sesuai dengan QS. Al-Maidah ayat 2, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
Penjagaan keseimbangan alam ini dalam konteks mencegah aktivitas merusak lingkungan, melestarikan hutan, sumber air, dan ekosistem lainnya. Allah SWT. menciptakan alam dengan keseimbangan yang sempurna (lihat QS. Ar-Rahman: 7-8). Manusia diperintahkan untuk tidak melanggar keseimbangan ini.
Masyarakat diberikan pemahaman tentang bahaya bencana, cara pencegahan, dan tindakan penyelamatan sebagai bagian dari kewajiban menjaga nyawa. Syariat Islam mendorong umatnya untuk mencari ilmu dan memahami tanda-tanda alam. Dalam QS. Az-Zumar ayat 9, Allah SWT. berfirman, “Katakanlah, ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’”
Islam mendorong penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemaslahatan umat. Beberapa aplikasi sistem peringatan dini, membangun infrastruktur tahan gempa, maupun pemetaan risiko bencana dalam perencanaan wilayah merupakan hal yang penting dilakukan dalam mitigasi bencana.
Pemerintah melalui institusi negara berkewajiban melindungi rakyatnya. Hal ini melalui pembuatan kebijakan dan penyediaan infrastruktur serta melakukan pengelolaan dana untuk kepentingan mitigasi bencana, bantuan korban, dan pembangunan kembali infrastruktur dan pemukiman masyarakat pascabencana. Dalam pembiayaan tersebut, tidak boleh bergantung pada investasi asing sehingga terhindar dari penjajahan negara luar.
Sungguh, Islam adalah solusi seluruh problem kehidupan, sekaligus jalan keselamatan. Tidak hanya menyelamatkan mereka dari bencana di dunia, tetapi juga bencana yang lebih berat di akhirat kelak. Indonesia juga bisa seperti itu asalkan mengganti sistem yang dipakai saat ini dengan sistem Islam. Mari bersama-sama kita mewujudkannya.
Wallahua'lam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar