Tambang di Tangan Kampus, Pendidikan Kehilangan Fokus


Oleh: Arina Sayyidatus Syahidah (Penulis & Aktivis Dakwah)

Wacana perguruan tinggi diberikan izin untuk mengelola tambang telah memantik diskusi yang cukup panas. DPR RI tampak memberikan sinyal positif terhadap usulan ini, menyebutkan bahwa langkah tersebut dapat menjadi kesempatan bagi institusi pendidikan untuk terlibat langsung dalam sektor energidan sumber daya alam. Di atas kertas, gagasan ini terlihat menarik—kampus dapat menjadi pusat pengembangan ilmu sekaligus memberikan dampak nyata bagi perekonomian. Namun, apakah ini sejalan dengan esensi perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan dan riset? Sebagian pakar mengingatkan bahwa ada bahaya besar di sini: konflik kepentingan yang berpotensi mengaburkan batas antara dunia pendidikan dan dunia komersial. (Berita Satu).

Beberapa kampus besar, seperti ITB, justru menyambut baik gagasan ini. Mereka bahkan mengusulkan kriteria tertentu bagi perguruan tinggi yang dianggap layak mengelola tambang, seperti kesiapan SDM dan rekam jejak penelitian yang relevan. Dengan standar tersebut, pengelolaan tambang diharapkan dapat berjalan profesional dan tetap mempertimbangkan keberlanjutan. Namun, apakah standar ini cukup untuk memastikan tidak adanya penyalahgunaan izin? Atau justru kriteria ini hanya mempersempit peluang bagi kampus-kampus lain yang sebenarnya memiliki potensi tetapi minim akses? (CNBC Indonesia).

Sementara itu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menilai ide ini sebagai langkah inovatif yang dapat menjembatani dunia pendidikan dengan dunia industri. Di permukaan, ini terdengar seperti win-win solution: mahasiswa mendapatkan pengalaman langsung di sektor strategis, dan kampus menjadi lebih mandiri secara finansial. Tetapi, kritik tajam datang dari Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), yang mempertanyakan prioritas sejumlah perguruan tinggi yang tampak terlalu bersemangat mendukung usulan ini. Ia khawatir, orientasi pendidikan akan bergeser ke arah komersialisasi, dan independensi akademik bisa menjadi korban. (Detik, CNN Indonesia).

Wacana kampus mengelola tambang sejatinya adalah buah dari penerapan konsep otonomi perguruan tinggi dalam kerangka kapitalisme, di mana kampus didorong untuk mencari sumber pendapatan secara mandiri. Dalam sistem ini, perguruan tinggi tidak lagi dipandang sebagai lembaga yang murni berfungsi mencetak insan berilmu, tetapi menjadi entitas bisnis yang berorientasi materi. Akibatnya, orientasi pendidikan bergeser dari misi mencerdaskan umat menuju kepentingan ekonomi. Dalam Islam, perguruan tinggi seharusnya menjadi tempat menuntut ilmu yang luhur, yang bebas dari kepentingan duniawi dan hanya berfokus pada mencetak generasi beriman, berilmu, dan bertakwa.

Fenomena ini menunjukkan adanya disfungsi peran negara sebagai raa’in (pengurus rakyat) dan junnah (pelindung rakyat), yang seharusnya bertanggung jawab penuh atas pemenuhan kebutuhan pendidikan dan pengelolaan tambang. Islam memandang bahwa pendidikan adalah kebutuhan dasar umat yang harus dijamin oleh negara tanpa memungut biaya. Sementara itu, tambang sebagai harta milik umum adalah amanah yang pengelolaannya harus dilakukan oleh negara untuk sebesar-besarnya kemaslahatan rakyat, bukan diserahkan kepada institusi tertentu, apalagi dipertaruhkan untuk kepentingan komersial. Ketika tanggung jawab ini diabaikan, maka rakyat, khususnya dari kalangan yang kurang mampu, akan semakin sulit mengakses pendidikan tinggi. 

Lebih jauh, kapitalisasi pendidikan ini merupakan salah satu dampak dari sistem kapitalisme yang menitikberatkan pembiayaan pada individu, baik mahasiswa maupun orang tua. Hal ini tidak hanya memberatkan, tetapi juga menutup peluang pendidikan bagi mereka yang berasal dari keluarga miskin. Dalam Islam, pendidikan adalah hak setiap individu, dan negara wajib menyediakannya tanpa memandang kemampuan finansial. Pergeseran tanggung jawab dari negara kepada perguruan tinggi hanyalah bentuk pelepasan amanah yang akan menciptakan ketimpangan sosial yang semakin besar.

Solusi terhadap permasalahan disorientasi pendidikan yang muncul dalam wacana kampus mengelola tambang dapat ditemukan dengan kembali kepada tujuan sejati pendidikan dalam Islam. Kampus, sebagai lembaga pendidikan, seharusnya fokus pada pembentukan syakhsiyah Islamiyah (kepribadian Islam) dan melahirkan generasi unggulan yang menguasai ilmu pengetahuan sertaberkontribusi pada umat dengan karya terbaiknya. Pendidikan tinggi dalam Islam bukanlah untuk mengejar keuntungan duniawi, melainkan untuk menciptakan insan yang berilmu, bertakwa, dan membawa manfaat bagi umat. Oleh karena itu, perguruan tinggi seharusnya tidak dibebani dengan kewajiban mencari keuntungan materi, terutama melalui pengelolaan tambang, yang hanya akan mengalihkan fokus dari misinya sebagai lembaga pencetak ilmuwan dan pemimpin umat.

Dalam sistem Islam, negara memiliki tanggung jawab untuk menyediakan pendidikan bagi seluruh rakyatnya tanpa membebani individu atau keluarga. Pembiayaan pendidikan tinggi menjadi kewajiban negara, yang harus dipenuhi dari kas kepemilikan umum, termasuk hasil tambang dan sumber daya alam lainnya. Semua harta milik umum adalah milik umat, yang pengelolaannya harus dilakukan oleh negara dengan amanah dan transparansi untuk kepentingan bersama. Negara bertanggung jawab penuh untuk memastikan bahwa pendidikan tinggi dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat, tanpa terkecuali, sehingga tidak ada anak bangsa yang tertinggal hanya karena kendala finansial.

Tambang, dalam pandangan Islam, adalah harta milik umum yang tidak boleh dikuasai oleh individu atau swasta. Pengelolaan tambang harus dilakukan oleh negara, dengan hasilnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk layanan publik yang bermanfaat, termasuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Negara bertindak sebagai raa’in (pengurus urusan rakyat) dan junnah (pelindung rakyat) yang bertanggung jawab untuk memastikan bahwa kekayaan alam dikelola dengan adil dan digunakan untuk kesejahteraan umat. Pengelolaan sumber daya alam oleh negara ini adalah amanah yang harus dijalankan demi kemaslahatan umat danuntuk menciptakan keadilan sosial yang merata.

Dengan menerapkan sistem ini, perguruan tinggi akan kembali pada tujuan aslinya, yaitu mencetak generasi ulul albab, yang berilmu dan berakhlak mulia, serta siap memberikan kontribusi terbaik untuk umat. Pendidikan tinggi bukan lagi beban bagi individu atau keluarga, tetapi menjadi hak yang dijamin oleh negara. Tanpa sistem ini, wacana seperti kampus mengelola tambang hanya akan mengarah pada kemudaratan, merusak esensi pendidikan yang seharusnya memberikan manfaat bagi seluruh umat, dan semakin memperburuk ketimpangan sosial. Islam memberikan solusi yang adil dan bijaksana dengan mengembalikan pengelolaan sumber daya alam kepada negara, sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umat, termasuk pembiayaan pendidikan yang berkualitas bagi seluruh rakyat.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar