Tren Bunuh Diri Meningkat, Islam Solusi Tepat Atasi Masalah Kesehatan Mental


Oleh: Ferdina Kurniawati (Aktivis Dakwah)

Warga Perumahan Jakarta Hills Kelurahan Lok Bahu Kecamatan Sungai Kunjang digemparkan dengan penemuan seorang pria berinisial A tewas gantung diri di rumahnya, Senin (20/1/2025). Sebelum kejadian tragis ini, korban diketahui terlibat pertengkaran dengan keluarganya.

Haji Rian, Ketua Lingkungan Cluster Hindia, menyebut korban baru tinggal di kawasan tersebut sekitar sebulan terakhir. “Sebelum kejadian, kami sering mendengar korban bertengkar dengan istrinya. Bahkan, istrinya sempat pulang kampung,” ungkap Haji Rian.

Kejanggalan mulai terasa saat saudara korban datang untuk mengantarkan kulkas beberapa hari sebelum penemuan mayat. “Pintu rumah diketuk berkali-kali, tapi tidak ada jawaban. Kami mengira korban sedang bekerja di luar kota,” ujar Haji Rian.
Kecurigaan semakin bertambah ketika Haji Rian mencium bau tidak sedap yang berasal dari rumah korban. “Saya sempat mengira baunya dari bangkai hewan, tapi ternyata dari dalam rumah,” tambahnya.

Puncaknya, istri korban yang baru pulang dari kampung mencoba mendobrak pintu rumah dan menemukan suaminya dalam kondisi tergantung. Tim Inafis Polresta Samarinda yang tiba di lokasi kejadian kesulitan melakukan evakuasi karena postur tubuh korban yang besar dan kondisi rumah yang sempit. “Kami memperkirakan korban sudah meninggal sekitar 6-7 hari sebelum ditemukan,” kata Zainal, Ketua Relawan Inafis Polresta Samarinda. (RadarSamarinda.com)


Meningkat Signifikan

Berdasarkan data Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Kepolisian RI (Polri), ada 971 kasus bunuh diri di Indonesia sepanjang periode Januari hingga 18 Oktober 2023. Angka itu sudah melampaui kasus bunuh diri sepanjang 2022 (900 kasus). Kasus bunuh diri paling banyak ditemui di perumahan atau permukiman (741 kasus), kemudian di perkebunan (104 kasus), dan persawahan (18 kasus). (Katadata, 18-10-2023).

Fakta ini mengindikasikan bahwa Indonesia sedang darurat kesehatan mental. Ketika seseorang dihinggapi masalah hidup yang begitu pelik, diambillah jalan pintas kematian. Bunuh diri seolah menjadi aktualisasi atas keputusasaan menyelesaikan masalah atau mencari jalan keluar terbaik dari masalah yang ada. Angka bunuh diri yang makin meninggi menunjukkan seakan hidup tidak ada artinya lagi.

Melansir laman Detik (12-10-2023), pakar psikologi Universitas Airlangga Atika Dian Ariana menjelaskan bahwa terdapat penyebab biologis dan psikologis atau mental yang melatarbelakangi seseorang melakukan bunuh diri. Secara biologis, orang tersebut mungkin memiliki keluhan fisik yang membuatnya merasa tidak berdaya, misalnya seperti masalah jantung dan hormonal. Sedangkan secara psikologis, korban mungkin memiliki kerentanan untuk merasa tidak berarti dalam kehidupan.


Faktor Sistem

Ada banyak faktor yang melatarbelakangi seseorang nekat bunuh diri. Salah satu faktor terbanyak adalah depresi karena persoalan hidup yang tidak kunjung usai. Makin banyaknya pemuda bunuh diri sesungguhnya menggambarkan realitas generasi hari ini. Mereka cenderung mengambil jalan pintas dengan bunuh diri untuk menyelesaikan masalah.

Mereka juga menjadi generasi yang mudah menyerah dalam menghadapi gelombang kehidupan. Alhasil, sikap putus asa, hopeless, stres, hingga depresi, menjadi penyakit mental yang mudah menghinggap dalam kehidupan mereka. Mereka berpikir dengan bunuh diri, semua beban masalah dan mental mereka akan terlepas dan berakhir. 

Mengapa generasi kita menjadi seperti ini? Faktor utamanya ialah penerapan sistem sekuler kapitalisme yang gagal mewujudkan generasi kuat dan tangguh. Sistem ini mengeliminasi peran tiga pilar pembentuk generasi.

Pertama, keluarga. Generasi yang memiliki mental rapuh kebanyakan dialami oleh mereka yang lahir dan besar di lingkungan keluarga broken home, fatherless, motherless, atau hidup berjauhan dengan orang tua. Belakangan ini, ramai perbincangan terkait Indonesia yang disebut sebagai negara fatherless ketiga terbanyak di dunia. Orang tua ada, tetapi kehadiran mereka seperti tidak ada. Anak tidak merasakan peran dan kehadiran ayah atau ibunya, baik secara fisik maupun psikis.

Kedua, sekolah dan masyarakat. Kurikulum pendidikan yang berlaku hari ini adalah kurikulum sekuler yang menjauhkan manusia dari aturan Allah Taala. Hasilnya, generasi kita terdidik dengan cara pandang kapitalisme sekularisme. Standar kebahagiaan hidup tertinggi adalah meraih sebanyak-banyaknya materi dan kesenangan duniawi. Ketika mereka gagal meraihnya, depresi menjadi hal yang tidak terhindarkan. Perilaku mereka tidak lagi terkendali dalam standar halal-haram. Masyarakat yang terbentuk adalah individualis kapitalistik.

Ketiga, peran negara. Remaja dan pemuda merupakan salah satu kelompok yang paling rentan terhadap perilaku bunuh diri. Salah satu hal yang juga harus diperhatikan dari kasus bunuh diri adalah terjadinya copycat suicide, tindakan bunuh diri yang dilatarbelakangi ingin meniru kasus bunuh diri sebelumnya. Contohnya, kasus puluhan pelajar SMP di Bengkulu yang melukai lengan kirinya dengan benda tajam. Usut punya usut, mereka melakukan itu karena mengikuti tren di media sosial. Mereka mengalami krisis identitas sehingga tidak mampu menyaring mana yang harus jadi panutan dan mana yang tidak layak dijadikan teladan.

Pada era digital, internet telah menjadi sumber utama informasi yang memberikan penggambaran tidak pantas mengenai bunuh diri dan masalah kesehatan mental. Apalagi jika melihat tayangan/tontonan yang mengangkat perihal bunuh diri. Media berperan sangat signifikan dalam menciptakan lingkungan kondusif bagi pertumbuhan kesehatan jiwa tiap individu. 
Hal ini membutuhkan peran negara dalam melakukan kontrol dan pengawasan terhadap media dalam menyebarkan informasi dan tontonan. Melalui media, negara harus menciptakan suasana iman, tontonan yang menuntun pada ketaatan, bukan yang mengarah pada kemaksiatan.

Tidak jarang, generasi muda banyak meniru gaya hidup sekuler liberal lewat tayangan yang mereka tonton sehari-hari tanpa filter yang benar. Di sinilah peran negara terkesan mandul untuk sekadar bersikap tegas terhadap muatan film atau tayangan bernuansa sekuler liberal.

Walhasil, peran negara sebatas membatasi akses konten, tetapi akar masalahnya, yakni pemikiran dan gaya hidup kapitalisme sekuler, justru tidak dihilangkan. Sedangkan akibat gempuran pemikiran inilah generasi kita memiliki mental dan kepribadian rapuh dan lemah. Mereka kerap dijejali dengan kesenangan sesaat hingga lupa cara menjalani hidup dan menyelesaikan masalah dengan cara pandang Islam.


Solusi Islam

Tersebab masalah bunuh diri dipengaruhi problem sistemis, untuk menyelesaikannya juga harus dilakukan secara sistemis. Islam adalah solusi persoalan hidup. Tidak ada manusia hidup tanpa masalah dan tidak ada masalah tanpa ada solusinya. Bagaimana mekanisme Islam mencegah bunuh diri?

Pertama, menanamkan akidah Islam sejak dini pada anak-anak. Dengan penancapan akidah yang kuat, setiap anak akan memahami visi dan misi hidupnya sebagai hamba Allah Taala, yakni beribadah dengan menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Prinsip ini harus dipahami bagi seluruh keluarga muslim sebab orang tua adalah pendidikan pertama bagi anak-anaknya. Negara akan membina dan mengedukasi para orang tua agar menjalankan fungsi pendidikan dan pengasuhan sesuai akidah Islam.

Kedua, menerapkan kurikulum pendidikan berbasis akidah Islam. Sejarah Islam telah membuktikan bahwa kurikulum pendidikan Islam mampu melahirkan generasi kuat imannya, tangguh mentalnya, dan cerdas akalnya. Negara akan mengondisikan penyelenggaraan pendidikan yang bertujuan untuk membentuk syahsiah Islam terlaksana dengan baik. Generasi harus memiliki pola pikir dan pola sikap yang sesuai syariat Islam. Dengan begitu, mereka akan memiliki bekal menjalani kehidupan dan mengatasi persoalan yang melingkupinya dengan cara pandang Islam.

Ketiga, memastikan para ibu menjalankan kewajibannya dengan baik. Ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Kaum ibu dalam sistem Islam (Khilafah) akan diberdayakan sebagai ibu generasi peradaban, bukan mesin ekonomi seperti halnya dalam sistem kapitalisme yang malah menghadapkan para ibu pada persoalan ekonomi dan kesejahteraan. 

Khilafah akan menetapkan kebijakan ekonomi yang mampu menyerap banyak tenaga kerja dari kalangan laki-laki. Alhasil, peran ayah dan ibu dalam keluarga dapat berjalan seimbang seiring pemenuhan kebutuhan pokok yang dijamin negara.

Penerapan sistem Islam kafah yang paripurna akan membentuk individu bertakwa, masyarakat yang gemar berdakwah, dan negara yang benar-benar me-riayah. Dengan begitu, masalah bunuh diri akan tuntas karena setiap individu muslim dapat memahami hakikat dan jati dirinya sebagai hamba dengan menjadikan Islam sebagai the way of life. 

Ketika Islam menjadi jalan hidup bagi setiap muslim, tidak aka nada generasi yang sakit mentalnya, mudah menyerah, atau gampang putus asa. Mereka akan menjadi generasi terbaik dengan mental sekuat baja dan kepribadian setangguh para pendahulunya. 

Wallahu'alam.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar