Memilih Jalan Berliku


Oleh : ESA Mardiah

Tak banyak yang aku ingat dari kehadirannya di antara para pelayat. Aku terlalu sibuk dengan duniaku yang mendadak gelap. Kehilangan sosok yang paling aku kasihi tepat di hari ketiga pasca wisuda membuatku shock berat.

Mama, jangankan membahagiakanmu, melepas rindu setelah bertahun-tahun sekolah berasrama pun aku belum sempat. Sedangkan kau sudah pergi teramat cepat.

Ternyata itu bukan satu-satunya ujian kesedihanku. Saat menemukan catatan utang piutang yang harus segera diselesaikan, aku terbelalak diam. Bukan hanya karena jumlah yang sangat besar, tapi juga karena aku tak pernah menduganya. Walau memang kehidupan keluarga kami belakangan semakin sulit. 

Tiba-tiba rasa sakit menyelinap, saat membaca daftar pemberi utang. Di antara nama-nama yang tercatat, beberapa di antaranya adalah orang-orang yang selama ini baik padaku. Lebih tepatnya menyukaiku. Bahkan beberapa pernah menyatakan cintanya dan kutolak. Tanpa sadar air mataku menganak sungai. Duhai, sejenak aku merasa diri ini seolah 'dijual' . Namun kemudian aku buru-buru ber-istigfar.

Siang itu, kumatikan kompor padahal aku belum selesai memasak. Tergopoh mencoba menenangkan bapak yang membentur-benturkan kepalanya ke tembok. Sepekan sudah berlalu semenjak kematian mama, wajah tuanya semakin kuyu. Rasa kehilangan semakin dalam menggelayut. Sementara adik bungsuku yang belum genap dua tahun tampak murung. Sesekali hilir mudik memanggil-manggil mama, ke kamar, ke dapur dan ruang tamu.

***

"Dia sudah mapan, sudah punya rumah dan kendaraan." Kakek jauhku menyodorkan seseorang yang ingin mempersuntingku.

"Ini orangnya baik, sudah pegawai negeri, hidup teteh akan lebih terjamin." Kali berikutnya bibiku yang mengajukan calon.  

Mendengarnya aku hanya menggigit bibir, perih. Aku seperti mendadak naik daun.

Aku tahu keluargaku menyayangiku dan mungkin mereka berfikir ini adalah salah satu cara mereka membantu. Tapi apakah mereka tahu isi hatiku? 

Aku hanya berlari ke dapur, tempat persembunyianku menangis. Pada siapa gundah ini 'kan kubagi.

"Agamanya Insya Allah bagus, dia aktivis dakwah." Begitu keterangan paman yang mengantarkan laki-laki asing itu. Saat itu Bapak ikut mendampingi.

"Tapi pekerjaannya tidak jelas," sergah bapak cepat.

 Aku hanya termenung. "Beri aku waktu," pintaku kali ini.

***

Terakhir kali aku salat istikharah adalah ketika aku meminta petunjuk Allah saat aku bingung memilih antara meneruskan sekolah atau bekerja sebagai TKI menjadi perawat di luar negeri. Namun kali ini, aku tak ingin istikharah. Aku takut. Takut jika tak bisa mengartikan apa yang harus kupilih. Dua rakaat salat sunah yang saat itu jadi pilihanku. Kuadukan semua gelisah yang aku rasakan. Aku larut dalam doa-doa panjang. Tentang aku yang sesungguhnya belum berniat menikah secepat ini. Tentang tanggung jawab yang harus kupikul sebagai seorang sulung. Tentang utang-utang yang menggunung. Tentang orang asing itu dan tentang sebuah nama yang diam-diam sudah lama mengisi hatiku.

Apa kabarmu? ah ....

Aku tertidur kelelahan dalam mukena yang masih kukenakan. Mama menemuiku dalam mimpi. Dia memberikan gaun pengantin yang sangat indah berwarna putih, memakaikannya padaku, lalu menatap wajahku lekat. Sayangnya aku terjaga sebelum bisa berkata-kata padanya.

***

"Apa? Seperangkat alat sholat?" Nenek jauhku bertanya terkejut. "Neng, kamu itu cantik, banyak orang berharap jadi suamimu. Tapi kamu malah memilih laki-laki asing yang miskin. Kamu nggak mau meminta apa pun? Bahkan walau hanya sebuah cincin?" sungutnya beruntun.

Aku tak mampu berkata-kata. Lidahku kelu. Ya mungkin keputusanku mengecewakan banyak orang, tapi semoga saja Allah menguatkan.
Jika yang kupilih laki-laki mapan, mungkin masalah finansial keluargaku cepat selesai. Tapi tak terbayang, aku akan merasa utang budi bahkan seumur hidup. Tidak, itu bukan aku, aku bahkan tak mau orang lain mengasihani ku.


***


Aku bergetar saat untuk pertama kalinya tangan itu diletakan di atas kerudungku. Tepat di ubun-ubun. Seuntai doa diucapkannya dengan pelan. Aku mengaminkannya dengan seribu satu perasaan yang tak mampu kulukiskan.

Ya Allah, biarlah dia, laki-laki asing itu yang menemaniku mengarungi bahtera rumah tangga ini. Aku memang belum mengenalnya, tapi aku yakin dia mengenal-Mu. Aku ingin dengan itu dia akan mampu membimbingku. Aku belum mencintainya, tapi aku ingin belajar mencintainya karena-Mu.

***

"Dik, Ibu bilang kamu menantu Ibu yang paling cantik," ucapnya dengan manis.

Pipiku menghangat malu.

"Iya, soalnya, kan, memang empat menantu ibu yang lainnya semuanya laki-laki ...," tambahnya sambil mengerling nakal. 

"Ih ... awas ya," rajukku kemudian. Aku mengejarnya saat dia berlari menghindar.

Posting Komentar

0 Komentar