Oleh: Habsah
Sungguh tidak masuk akal, BPS atau Badan Pusat Statistik merilis standar hidup layak di Indonesia pada 2024 sebesar Rp 1,02 juta sebulan atau Rp 12,34 juta setahun. Menurut BPS, standar hidup layak ini mengacu pada rata-rata pengeluaran rill per orang per tahun. Nominal standar hidup layak mencerminkan banyaknya barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. BPS menyebut semakin tinggi angkanya berarti standar hidupnya lebih baik. Beberapa pihak menilai bahwa standar hidup layak (SHL) yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) untuk tahun 2024 tidak masuk akal: Tidak mencerminkan keadaan riil, Bisa mengelabui jumlah orang miskin, Tidak sesuai dengan realita, Kontradiktif dengan besarnya pemutusan hubungan kerja (PHK). Sebagai contoh, upah minimum di kota Medan yang 3,7 Juta saja termasuk kurang untuk kebutuhan sehari-hari, konon yang 1,02 Juta perbulan, sangat tidak masuk akal.
Negara zalim ketika menentukan standar hidup layak dengan jumlah minimal yang sejatinya tidak layak untuk terwujud kesejahteraan. Karena hal ini berarti negara membiarkan rakyat hidup dalam keterbatasan/kekurangan. Ini tidak bisa dilepaskan dari cara pandang negara terhadap rakyatnya yang mengikuti sistem kapitalisme. Dalam sistem ini rakyat bukan menjadi prioritas perhatian karena penguasa tidak menjadikan pengurusan rakyat sebagai tugas pokok penguasa.
Meminimalkan biaya untuk mendapatkan hasil yang besar adalah prinsip lain dari ekonomi kapitalisme. Sebaliknya, mereka juga diajarkan bahwa mendapatkan banyak materi adalah cara tertinggi untuk bahagia. Mereka juga menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta karena paham sekularisme itu sendiri. Semua ini menghasilkan pengusaha yang serakah. Mereka ingin biaya produksi rendah, tetapi keuntungan besar. Oleh karenanya, rendahnya upah yang diberikan kepada para pekerja kebanyakan meupakan salah satu upaya untuk mencapai hal tersebut.
Satu hal lagi, peran negara, dalam hal ini pemerintah, sebagai regulator juga sangat penting. Mereka merupakan pihak pembuat kebijakan untuk memenuhi kebutuhan para pengusaha. Tidak ada satu pun kebijakan yang mereka buat menguntungkan para pekerja apalagi yang upahnya sangat minim. Hal ini karena pada sistem demokrasi para penguasa pasti akan berpihak kepada pengusaha. Bagaimana tidak, biaya pemilu yang sangat tinggi menyeret mereka pada perjanjian dan kesepakatan dengan para pengusaha. Di sisi lain, Kapitalisme mengukur kesejahteraan dari pendapatan perkapita, yang akan membuat ukuran bersifat kolektif dan menyamarkan keberadaan individu miskin. Karena itu ukuran berdasarkan angka sejatinya adalah ukuran menyesatkan.
Sebagai sistem hidup yang sempurna, Islam memiliki pandangan yang khas. Pekerja dalam Islam akan mendapatkan kompensasi yang adil sesuai dengan pekerjaan mereka. Antara pekerja dan pemberi kerja akan ada kesepakatan (akad) mengenai hal-hal seperti upah, waktu kerja, jenis pekerjaan, dan lain sebagainya. Dengan demikian, semua orang bekerja sama, saling rela (ridho), dan berjalan dengan adil. Jika hal ini terjadi, tidak akan ada yang terzalimi antara pemberi kerja dan pekerja.
Selain itu Islam menjadikan negara sebagai raa’in yang wajib mengurus rakyat termasuk menjamin terwujudnya kesejahteraan individu per individu. Hal ini akan terwujud dengan penerapan Islam secara kafah Sistem ekonomi Islam memiliki konsep tentang kepemilikan harta, dan menetapkan apa saja yang termasuk kepemilikan umum yang wajib dikelola oleh negara. Hasil pengelolaan ini akan dikembalikan kepada rakyat untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Islam juga menetapkan kebutuhan pokok rakyat baik sandang, pangan dan papan juga layanan kesehatan dan pendidikan, menjadi tanggung jawab negara.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar