Oleh : vieDihardjo (Alumnus Hubungan Internasional)
Dana Moneter Internasional (IMF) merilis laporan World Enonomic Outlook April 2024 yang menyatakan bahwa Indonesia menduduki peringkat pertama pengangguran dari enam negara Asean yang disurvei. Jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 5,2 persen dari total 279, 96 juta penduduk sementara Filipina menduduki urutan kedua pengangguran sebesar 5,1 persen dari total 114,16 juta penduduk. Cakupan pengangguran yang dimaksud adalah angkatan kerja yang berusia 15 tahun ke atas yang aktif mencari pekerjaan, tidak termasuk ibu rumah tangga, mahasiswa dan dan orang yang tidak aktif mencari pekerjaan.
Tingginya angka pengangguran kontradiktif dengan terus naiknya angka pekerja asing yang terus masuk ke Indonesia. Menghimpun data dari Kementerian Ketenagakerjaan terdapat 121.206 tenaga kerja asing di Indonesia pada tahun 2023 dan trennya terus mengalami kenaikan. Selain faktor tenaga kerja asing yang terus masuk ke dalam negeri dan menempati lowongan-lowongan kerja teknis yang seharusnya bisa ditempati oleh warga negara Indonesia. Akibatnya lowongan pekerjaan bagi tenaga kerja Indonesia (TKI) semakin berkurang.
Pengangguran Makin Banyak Lowongan Kerja Informal Semakin Melonjak
Sensus penduduk tahun 2020 menunjukkan sekitar 70 persen penduduk berusia produktif (15-64 tahun), yakni rentang usia dimana seseorang memiliki kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari dengan efektif dan efisien. Dengan keadaan demikian maka Indonesia memasuki masa ‘bonus demografi’. Beberapa tantangan akan dihadapi Indonesia dalam masa ‘bonus demografi’ misalnya dengan kualitas tenaga kerja, kesehatan hingga penyediaan lapangan pekerjaan. Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada, Tadjudin Nur Efendi menyatakan, Indonesia membutuhkan 2,5 sampai 3 juta lapangan kerja baru setiap tahun untuk menekan pengangguran. Berdasarkan survei perhitungan angkatan kerja nasional (sakernas), setiap tahunnnya terdapat 2-2,5 juta angkatan kerja yang berusaha masuk pasar kerja, ternyata dari angka tersebut, tidak semua terserap pasar kerja sehingga pengangguran makin meningkat.
Sementara itu, menurut ekonom senior, Faisal Basri menyatakan bahwa lapangan yang tercipta cenderung kurang bermutu, karena pekerja disektor informal justru melonjak. Dikuatkan oleh rilis Badan Pusat Statistik (BPS) hingga akhir 2022, rata-rata persentase lapangan pekerjaan sektor informal 47,45 % dibandingkan tahun 2015 sebesar 45,97%. Pada Februari 2023 pekerja informal sudah mendominasi sebanyak 83,34 juta orang atau setara 60,12% dari total pekerja. Sedangkan untuk pekerja sektor formal sebanyak 55,29 juta orang (www.cnbcindonesia.com 10/5/2023) Tingginya angka pekerja disektor informal menandakan bahwa negara tidak bisa menciptakan lapangan kerja yang bermutu. Pekerja disektor informal sama seperti pekerja lepasan (freelancer)atau buruh harian yang tidak mendapatkan hak sebagaimana pekerja formal atau karyawan disebuah perusahaan.
Ekonomi Kapitalistik Tidak Mampu Menyelesaikan Persoalan Pengangguran
Masalah pengangguran tidak berdiri sendiri, ia adalah masalah sistemik yang terkait dengan banyak aspek, politik, ekonomi, pendidikan hingga ideologi yang diterapkan dalam kehidupan saat ini. Saat ini dunia diatur dengan kapitalistik sekuler, yakni dengan memisahkan agama dari kehidupan. Termasuk bagaimana menyikapi masa ‘bonus demografi’ . Negara dalam sistem kapitalistik memposisikan dirinya hanya sebagai regulator saja bukan sebagai pengurus urusan rakyat. Contoh, negara semestinya bertanggungjawab terhadap pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, sehingga mudah bagi rakyat untuk mendapatkannya baik akses maupun harganya. Dalam pendidikan negara juga semestinya mengambil peran untuk menyediakan kurikulum, sarana prasarana berkualitas yang bisa diakses oleh semua rakyat, bukan menjadi komoditas yang diperjual-belikan berdasarkan kualitas yang disediakan oleh penyelenggara pendidikan (swasta). Kesehatan juga demikian, negara wajib menyediakan fasilitas kesehatan berkualitas yang bisa diakses oleh semua rakyat. Negara juga wajib memastikan semua pencari nafkah bisa bekerja dan memberi nafkah pada keluarganya secara layak.
Ketika negara tidak mampu memastikan semua pencari nafkah bisa bekerja, maka persoalan pengangguran dan ketenagakerjaan semakin rumit, karena rakyat harus berjibaku sendirian untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka yang seharusnya menjadi tanggungjawab negara.
Islam Menyelesaikan Masalah Pengangguran
Saat ini masalah lapangan kerja terkait erart dengan masalah pemenuhan kebutuhan hidup dan kesejahteraan. Pemenuhan kebutuhan hidup erat kaitannya dengan barang (sandang, pangan, papan) dan jasa (pendidikan, kesehatan dan keamanan). Lapangan kerja dibutuhkan oeh rakyat dalam upaya menghasilkan pendapatan untuk membayar kebutuhan barang dan jasa tersebut.
Dalam sudut pandang islam menghadapi masalah ketenagkerjaan (pengangguran) dapat dilihat dari dua hal, yaitu terkait dengan pemenuhan kebutuhan pokok dan yang terkait dengan kontrak kerja antara pemberi kerja (pengusaha) dengan pekerja. Islam adalah sistem kehidupan yang adil, maka masalah ketenagakerjaan diatur dengan tidak ada yang akan dirugikan baik pemberi kerja (pengusaha) maupun pekerja.
Pertama, jika masalah ketenagakerjaan terkait dengan pemenuhan kebutuhan, baik barang maupun jasa, maka akan menjadi kewajiban negara untuk membuat kebijakan agar kebutuhan rakyat (pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan hingga keamanan) dapat diakses dengan mudah, murah bahkan gratis. Pemenuhan kebutuhan dan peningkatan kesejahteraan tidak boleh hanya diserahkan pada pengusaha yang memberi upah pekerja untuk membayar kebutuhan pokok mereka.
Kedua, jika masalah ketenagakerjaaan (pengangguran) terkait dengan kontrak kerja, hak pekerja, upah, dan sejenisnya, maka ini menjadi ranah pengusaha dan pekerja, karena akan lebih banyak pada kesepakatan kedua belah pihak. Posisi negara adalah sebagai pengawas dan penengah ketika terjadi konflik diantara keduanya.
Islam kaffah adalah sebuah sistem kehidupan yang komprehenif dan solutif. Pengangguran sebagai problem dalam masalah ketenagakerjaan diselesaikan dengan mengidentifikasi sumber masalah. Jika tingginya angka pengangguran disebabkan oleh kebijakan politik ekonomi yang salah, maka solusi harus dimulai dari hal tersebut. Negaralah yang harus bertanggungjawab dan menyelesaikan, dengan menerapkan kebijakan politik islam, yaitu, berbagai kebijakan yang memungkinkan tercapainya pemenuhan kebutuhan primer (pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan)rakyat dan juga menjamin agar rakyat juga bisa memnuhi kebutuhan pelengkap (sekunder atau tersier) sesuai kemampuan.
Dalam islam, pemenuhan kebutuhan pokok (primer) dilakukan per individu (pribadi) bukan secara kolektif sehingga faktor distribusi menjadi penting, sehingga negara menjamin setiap individu telah terpenuhi kebutuhan pokoknya. Syariat Islam yang mengatur tentang ekonomi mengikat individu, masyarakat dan Negara. Adapun masalah ketenagakerjaan yang terkait dengan kontrak kerja antara pengusaha dan pekerja, didorong untuk dapat diselesaikan oleh para pihak, karena syariat Islam juga mengatur secara rinci tentang kontrak kerja antara pengusaha dan pekerja dalam hukum-hukum Ijarah al-Ajir.
Politik ekonomi islam juga mengatur pengelolaan sumberdaya alam sebagai kepemilikan umum yang dikelola oleh negara dan hasilnya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan rakyat termasuk membangun lapangan-lapangan kerja, memberikan permodalan bagi para pencari nafkah agar dapat mencari nafkah. Dengan memenuhi syariat islam yang mengatur masalah ekonomi, maka persoalan penganggguran dapat diselesaikan.
Sebagai sebuah sistem kehidupan, hukum-hukum islam akan memecahkan berbagai problematika manusia, termasuk bagaimana menyikapi adanya ‘bonus demografi’ yang bisa menjadi kekuatan bagi negara atau justru menjadi masalah, karena tingginya jumlah usia produktif yang tidak bisa bekerja (menganggur) tetapi negara tidak mampu menyediakan lapangan kerja. Oeh karena itu, diperlukan penerapan hukum-hukum islam secara menyeluruh (kaffah) dalam institusi Khilafah’ala minhajin nubuwwah.
Wallahu’alam bisshowab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar