Oleh: Imas Royani, S.Pd.
Hampir satu dekade kami para OTD (Orang Terkena Dampak) tinggal di sini, di sebuah gunung yang disulap menjadi dusun terpencil karena serakahnya pembangunan Waduk Jatigede proyek mahakarya sang negara kapitalis. Kami telah kehilangan banyak sanak famili, tetangga yang baik hati, harta, lahan pekerjaan, dan sumber mata pencaharian kami. Dan yang tidak bisa tergantikan di tempat manapun adalah kenangan yang ditoreh di sana.
Pembangunan yang katanya untuk rakyat nyatanya belum dirasakan. Untuk sekedar berharap memiliki akses jalan yang memadai pun, masih saja sebatas harapan. Jika dibanding dengan pembangunan jalan tol atau perkotaan begitu mudah dilakukan. Bahkan jalan provinsi yang baru beberapa bulan diperbaiki, sekarang sudah dipoles kembali.
Yang mengherankan pejabat wilayah setempat malah mengatakan itu adalah resikonya karena tidak mendukung salah satu calon yang dijagokan aparat tersebut yang ketika kampanye menjanjikan pengaspalan jalan kalau dirinya terpilih. Benarkah demikian? Bukankah jalan adalah kebutuhan bersama yang dia adalah sarana umum? Uang yang dipakai untuk mengaspal jalan pun bukan berasal dari kantong pribadi melainkan uang rakyat yang alokasinya sesuai kepentingan pejabat.
Keberadaan jalan merupakan elemen penting sebagai penghubung antarwilayah agar mendukung pengembangan ekonomi dan pembangunan. Bahkan, jalan merupakan urat nadi ekonomi masyarakat. Tidak adanya akses jalan yang memadai akan berdampak pada banyak hal, termasuk perekonomian. Aktivitas ekonomi masyarakat seperti bekerja, belanja, perdagangan, dan layanan jasa menjadi terganggu.
Distribusi barang antarwilayah akan membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga biaya transportasi makin besar. Risiko kerusakan barang karena terlalu lama di jalan dan terjadinya kecelakaan juga makin besar. Para pengusaha akan membebankan peningkatan biaya transportasi ini pada konsumen sehingga pada skala luas akan berpengaruh pada harga barang-barang. Hal ini akan berkontribusi pada kenaikan angka inflasi.
Pemenuhan kebutuhan rakyat juga menjadi terhambat. Misalnya untuk pendidikan, pengobatan, dan ibadah. Jika ada pemenuhan kebutuhan yang bersifat mendesak, seperti mengangkut orang sakit atau ibu yang mau melahirkan, tentu keterlambatan penanganan bisa berakibat fatal. Tanpa adanya infrastruktur jalan yang bagus dan merata, rakyat menjadi merana.
Akar dari masalahnya adalah kepemimpinan yang tegak saat ini adalah kepemimpinan sekuler yang menempatkan diri sebagai regulator dan fasilitator. Negara tidak ubahnya pebisnis yang memenuhi hak rakyat menurut hitungan untung rugi. Pemerintah akan membangun infrastruktur jalan jika ada keuntungan ekonomi dengan skema investasi. Jika ada investor (pemilik modal) yang berkepentingan untuk berinvestasi di suatu wilayah, negara akan membangun infrastruktur transportasi yang mulus.
Ini tidak lepas dari simbiosis mutualisme antara penguasa dan pengusaha, yakni dalam setiap investasi oleh pemilik modal akan ada keuntungan pribadi bagi penguasa. Selain itu, juga sebagai politik balas budi atas dukungan materiel para pengusaha pada penguasa untuk memenangkan kontestasi pada masa pesta demokrasi. Namun, jika semata rakyat yang membutuhkan, anggaran untuk infrastruktur jalan seolah-olah tidak ada. Sebenarnya, bukan anggarannya tidak ada, tetapi tidak diprioritaskan!
Sudah banyak upaya rakyat untuk mendorong pemerintah agar memperbaiki infrastruktur transportasi. Pengajuan pembangunan jalan sudah diajukan, protes secara langsung maupun melalui medsos sudah dilakukan, tetapi pemerintah tetap bergeming, tidak kunjung melakukan pembangunan jalan. Ini menunjukkan bahwa pemerintah abai terhadap pemenuhan kebutuhan rakyat. Pemerintah tidak peduli meski rakyat harus berjibaku melewati jalan yang tidak memadai hingga bertaruh nyawa.
Sungguh berbeda dengan kondisi di bawah kepemimpinan Islam. Negara yang menerapkan syariat Islam kaffah dalam seluruh aspek kehidupan mampu membangun jalan untuk rakyat. Dalam Islam, infrastruktur jalan adalah salah satu hak rakyat yang wajib dipenuhi negara dengan kualitas dan kuantitas yang memadai dan mempermudah kehidupan mereka. Negara Khilafah memosisikan dirinya sebagai raa’in (pengurus) rakyat dan wajib bagi Khilafah untuk membangun infrastruktur yang bagus dan merata ke pelosok negeri.
Negara memastikan tiap-tiap individu rakyat bisa menikmati jalan yang bagus, meski mereka tinggal di pelosok negeri atau daerah terpencil. Jalan yang bagus bukan hanya untuk wilayah perkotaan atau pusat bisnis dan industri, tetapi untuk seluruh rakyat. Negara tidak memperhitungkan untung rugi dalam pembangunan infrastruktur jalan, yang menjadi parameter pembangunan adalah kebutuhan rakyat. Ketika rakyat membutuhkannya, negara akan membangunnya.
Jalan-jalan di wilayah Khilafah dibangun secara terencana. Jalan-jalan tersebut menghubungkan ibu kota dengan kota-kota lainnya. Jalan-jalan itu juga berfungsi untuk menopang kegiatan ibadah, pendidikan, kesehatan, komersial (bisnis, perdagangan, industri), sosial, administratif, militer (jihad), dan lainnya.
Negara Khilafah tidak bergantung pada swasta dalam pembangunan infrastruktur jalan karena Khilafah memiliki banyak sumber pemasukan. Syekh Abdul Qadim Zallum menjelaskan dalam Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah bahwa baitulmal (APBN) Khilafah memiliki banyak pos pendapatan. Di antaranya adalah bagian fai dan kharaj (mencakup ganimah, fai, khumus, kharaj, jizyah, fai, dan dharibah) dan bagian kepemilikan umum (mencakup tambang migas maupun nonmigas, laut, sungai, hutan, padang rumput, dan aset-aset yang diproteksi negara untuk keperluan khusus). Pos-pos pemasukan tersebut akan cukup untuk membangun infrastruktur jalan yang bagus dan merata untuk rakyat.
Menjadikan rakyat sejahtera hukumnya wajib bagi khalifah. Kesejahteraan tidak akan terwujud jika tidak terpenuhi sarana dan prasarananya, termasuk infrastruktur jalan untuk memperlancar distribusi dan pemenuhan kebutuhan rakyat. Oleh karenanya, keberadaan infrastruktur jalan yang bagus dan merata ke seluruh pelosok negeri menjadi wajib hukumnya. Kewajiban ini harus dilaksanakan oleh khalifah.
Syariat mengatur tentang kewajiban menyingkirkan bahaya dari jalan, berdasarkan hadis, “Dan menyingkirkan duri dari jalan juga sedekah.” (HR. Muslim).
Juga hadis lainnya, “Barang siapa menyingkirkan gangguan dari jalan kaum muslim, niscaya dituliskan baginya satu kebaikan dan barang siapa diterima satu amal kebaikannya, niscaya ia masuk surga.” (HR. Bukhari).
Berdasarkan hadis tersebut, Khilafah akan mewujudkan jalan yang aman, tidak rusak, berlumpur, berlubang, maupun bergelombang sehingga membahayakan pengguna jalan. Khilafah juga akan menyediakan penerangan jalan sehingga tidak gelap yang berakibat bahaya dalam berkendara maupun berpotensi terjadinya kejahatan.
Pada masa Islam, Khilafah benar-benar mewujudkan infrastruktur jalan yang bagus dan merata. Khalifah Umar bin Khaththab ra. menyediakan pos dana khusus dari baitulmal untuk mendanai insfrastruktur jalan dan semua hal yang terkait dengan sarana dan prasarana jalan. Hal ini untuk memudahkan transportasi antara berbagai kawasan Khilafah. Khalifah Umar ra. juga menyediakan sejumlah besar unta sebagai alat transportasi bagi rakyat yang hendak menuju Syam dan Irak, tetapi tidak memiliki kendaraan.
Adapun pada masa khulafa berikutnya, pembangunan infrastruktur jalan di wilayah Khilafah sudah sangat modern. Dr. Kasem Ajram dalam buku The Miracle of Islam Science, 2nd Edition menyebutkan bahwa pembangunan infrastruktur begitu pesat pada zaman Khilafah Islamiah. Jalan-jalan di Bagdad, Irak sudah dilapisi aspal pada abad ke-8 M, sedangkan menurut catatan sejarah transportasi dunia, negara-negara di Eropa baru mulai membangun jalan pada abad ke-18 M. Peradaban Barat baru pertama kali mengenal jalan aspal pada 1824 M.
Mansour Elbabour dalam buku System of Cities: an Alternative Approach to Medieval Islamic Urbanism, menjelaskan bahwa pada abad ke-9, Bagdad sebagai ibu kota Khilafah Abbasiyah menjadi sentral. Negara membuka beberapa jalur dari dan menuju Bagdad hingga tercipta integrasi dengan kota-kota provinsi utama sampai wilayah perbatasan.
Pada abad ke-10, ibu kota provinsi juga menjadi sentral pembangunan sehingga dibangunlah jalan dengan pola yang sama, yaitu ibu kota provinsi menjadi sentral dan ada jalur dari dan ke ibu kota provinsi yang menghubungkannya dengan wilayah yang ada di bawah administrasinya hingga ke perbatasan dengan provinsi lain.
Khilafah juga mempermudah umat Islam untuk ibadah haji. Negara membangun jalur dari Bagdad menuju Makkah dan Madinah. Tidak hanya menyediakan jalan, Khilafah juga melengkapi jalan tersebut dengan fasilitas bagi pengguna jalan, yaitu sumur, penampungan air, tempat penginapan, dan masjid.
Demikianlah pembangunan infrastruktur jalan dalam Khilafah. Penguasa bekerja keras agar rakyat mudah melakukan perjalanan untuk berbagai urusan mereka. Ini merupakan bentuk pelayanan pemimpin pada rakyatnya.
Hal itu semakin membuat kami kagum dan berharap agar di tahun 2025 negara kami juga mau menerapkan sistem Islam agar tidak hanya jalan yang akan kami miliki tetapi kesejahteraan dan kemakmuran yang merata sampai ke pelosok negeri. Semoga Allah SWT. memudahkan jalan kami untuk merealisasikan harapan kami melalui usaha kami menyebarkan dakwah Islam ideologis kepada seluruh lapisan masyarakat dan penguasa. Aamiin allahumma aamiin.
Wallahu'alam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar