Islamofobia Akut Hingga Toleransi Versi Yaqut, Bukti Kapitalisme Kian Ciut


Oleh: Imas Royani, S.Pd.

Seperti tidak pernah lepas dari masalah, ada saja persoalan yang membuat umat Muslim di Tanah Air disibukkan dengan berbagai polemik. Terakhir, umat disibukkan dengan polemik terkait pernyataan Menag yang menyerupakan suara azan dengan gonggongan anjing masih terus berlangsung. Bahkan #AksiBelaIslamTangkapYaqut, menjadi tranding di Twitter. Alih-alih menciptakan keharmonisan di tengah masyarakat, justru pro kontra terkait Surat Edaran (SE) 5/2022 tentang pengaturan pengeras suara pun terjadi. Mayoritas umat Islam dan tokoh umat mengecam pernyataan tersebut karena dinilai menyakiti umat Islam dan terkategori penistaan agama. 

Dalam video berdurasi 1:01 detik yang viral akhir Februari kemarin, Menag Yaqut Cholil Qoumas menyebutkan alasannya mengatur pengeras suara masjid dan mushala. Menurutnya, pengaturan tersebut bertujuan untuk membuat masyarakat makin harmonis. Kemudian ia membandingkan suara azan dengan suara anjing yang menggonggong dalam waktu yang bersamaan. Pernyataan tersebut ia sampaikan usai menggelar pertemuan dengan tokoh agama se-Provinsi Riau di Pekanbaru. Sontak pernyataan tersebut mengundang reaksi dan kecaman masyarakat, termasuk beberapa tokoh agama. 

Sebagai bentuk pembelaan terhadap umat Islam yang merasa tersakiti, mantan Menpora Roy Suryo pun melaporkan Menag dengan dugaan penistaan agama. Sayangnya, kepolisian menolak pelaporan tersebut dan SE Menag tetap diberlakukan. Bahkan, ironisnya, Roy Suryo dilaporkan balik oleh LBH Pimpinan Pusat GP Anshor dengan tuduhan pencemaran nama baik Menag. (megapolitan.kompas.com).

Ada pula yang menyatakan bahwa umat Muslim tidak perlu menggunakan pengeras suara karena Tuhan Mahadekat dan tidak tuli. Lagi pula, menurut mereka, Muslim yang sadar akan kewajiban shalat tidak memerlukan panggilan keras seperti itu. Ia akan menunaikan shalat dengan sendirinya. Tersirat kekhawatiran jika masjid menggunakan pengeras suara lima kali sehari untuk azan dapat mengganggu ketenangan warga dan merusak toleransi antarumat beragama. Bahkan ada sebagian tokoh yang membela dan menilai apa yang dilakukan Menag sudah tepat, karena dia sedang menjalankan tugas negara untuk menyukseskan proyek moderasi. 

Sebagaimana yang disampaikan oleh Rektor UIN Maliki Malang Prof.Dr.M. Zainuddin dalam wawancara dengan Times Indonesia, bahwa SE 5/2022 bisa dikatakan turunan dari program presiden yang tertuang dalam Rencana Program Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, dimana pemerintah memiliki empat program prioritas. Pertama adalah revolusi mental dan kebudayaan nasional. Kedua,  meningkatkan pemajuan dan pelestarian kebudayaan. Ketiga memperkuat moderasi beragama. Keempat meningkatkan literasi, inovasi dan kreativitas. (Times Indonesia, 26/02/2022). 

Jelas sudah SE 5/2022  merupakan agenda politik penjajah, yakni menanamkan Islamofobia dimana suara azan, bacaan Al-Qur'an, shalawatan dianggap "polusi suara" dan sumber kebisingan pada masyarakat. Inilah agenda implementasi proyek moderasi beragama yang ditetapkan dalam RPJMN 2020-2024 tersebut dengan salah satu indikator keberhasilan toleransi yang tinggi dan hilangnya intoleransi. Tentu saja tujuannya agar Islam bisa selaras dengan ajaran agama lain.

Ditambah dengan pernyataan Dirjen Bimas Islam Kemenag Kamaruddin Amin yang menegaskan bahwa SE tersebut dikeluarkan dalam kerangka pengaturan ekspresi beragama di ruang publik atau yang dalam kerangka hak asasi manusia disebut dengan istilah forum externum. SE 5/2022 juga untuk menyukseskan tahun 2022 sebagai tahun toleransi. (Republika.co.id, 25/02/2022).

Di akhir tahun kemarin, Rizky Riyadu Topek selaku Kasubag TU Puslitbang BALK Kemenag RI menjelaskan bahwa saat ini kita sedang menyongsong era beragama yang lebih humanistis dan universal. Dari sini hubungan interreligius pada masa depan harusnya lebih positif. Kemandirian generasi dalam memanfaatkan teknologi akan mendorong mereka menuju peremajaan keyakinan dan moderatisme beragama. (Merdeka.com, 29/12/2021). Di sini dijelaskan bahwa setiap umat beragama dituntut untuk menyelaraskan keyakinannya dengan keyakinan agama lain. Perbedaan-perbedaan konsep yang ada wajib diredam atau bahkan dihilangkan.

Dalam SE 5/2022 sendiri terdapat 3 poin utama: pertama, kekuatan speaker tidak boleh lebih dari 100 desibel; kedua, suara menjelang salat maksimal 10 menit; dan ketiga suara yang dipancarkan bagus, tidak sumbang, dan pelafalannya baik dan benar. Meskipun dalam implementasinya SE tersebut akan berpotensi menimbulkan konflik horizontal di tubuh kaum muslimin.
Terlebih, kekuatan pengeras suara 100 desibel daya jangkaunya terbatas. Dilansir dari Purdue University, 100 dB seperti berkendara sepeda motor, klakson sejauh 5 meter. Padahal azan untuk memanggil orang untuk salat. Ditambah waktu yang dibolehkan untuk menggunakan pengeras suara hanya 10 menit sebelum salat, akan membuat jemaah terlambat salat berjemaah karena singkatnya waktu pemberitahuan. Lambat laun, hal ini akan meredupkan syiar Islam bahkan bisa membuat jemaah enggan ke masjid.

Bahkan SE bisa menjadi alat untuk melaporkan seseorang, mengingat pada poin 5 ada poin pembinaan dan pengawasan. Padahal yang namanya Surat Edaran sifatnya edukasi karena bukan produk undang-undang. Bunyi poin 5 dari SE 5/2022 tentang pembinaan dan pengawasan. (a) Terhadap pelaksanaan surat edaran ini menjadi tanggung jawab Kementerian Agama secara berjenjang. (b) Kementerian Agama dapat bekerja sama dengan Pemerintah Daerah dan Organisasi Kemasyarakatan Islam dalam pembinaan dan pengawasan. 

Sebenarnya masalah penggunaan pengeras suara sebelum massifnya proyek moderasi tidak ada persoalan. Sudah menjadi kebiasaan dari masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim. Azan, bacaan Al-Qur'an, shalawatan dan ceramah merupakan syiar Islam. Sudah sejak lama suara azan dari pengeras suara menjadi bagian dari khazanah budaya Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim. 

Apalagi azan merupakan panggilan shalat yang diperintahkan oleh Rasulullah Saw. kepada kaum Muslim. Beliau bersabda, "Jika waktu shalat telah tiba, salah seorang di antara kalian hendaknya mengumandangkan azan untuk kalian dan yang paling tua di antara kalian menjadi imam kalian." (HR al-Bukhari dan Muslim).

Suara azan memang harus dikeraskan. Semua makhluk Allah SWT. yang mendengarkan panggilan azan akan menjadi saksi pada Hari Kiamat. Nabi Saw. bersabda, "Tidaklah suara azan yang keras dari seorang muazin didengar oleh jin, manusia dan segala sesuatu melainkan itu semua akan menjadi saksi bagi dirinya pada Hari Kiamat." (HR al-Bukhari). 

Azan adalah bagian dari syiar Islam yang ditujukan kepada umat manusia. Imam an-Nawawi menyebutkan sejumlah hikmah dari azan yakni: menampakkan syiar Islam, berisi kalimat tauhid, pemberitahuan masuknya waktu shalat dan tempatnya, serta doa bagi jamaah. (Syarh an-Nawawi ’ala Muslim, 4/77, Maktabah Syamilah).

Tidak pantas pula seorang Muslim merasa terganggu dengan suara azan. Nabi Saw. menyebutkan bahwa yang terganggu oleh azan adalah golongan setan. Beliau bersabda, "Jika azan dikumandangkan, setan segera berpaling sambil kentut hingga dia tidak mendengar azan tersebut. Jika azan selesai dikumandangkan, dia pun kembali. Jika dikumandangkan iqamah, setan kembali berpaling. Jika iqamah selesai dikumandangkan, dia pun kembali. Ia akan melintas diantara seseorang dan nafsunya." (HR Muttafaq ‘alayh).

Merendahkan azan, seperti mensejajarkan azan dengan gonggongan anjing, atau dulu ada yang menyebutkan bahwa suara kidung jauh lebih indah daripada suara azan, adalah termasuk penistaan agama serta merupakan dosa besar. Allah SWT. telah mengingatkan dalam QS. al-Maidah: 58 yang artinya, "Jika kalian menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) shalat, mereka menjadikan seruan itu sebagai ejekan dan permainan. Yang demikian adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau menggunakan akal."

Banyak sekali masyarakat Indonesia–nonmuslim sekalipun–yang begitu mengagumi dan menyukai suara azan dari pengeras suara masjid yang bersahut-sahutan. Bahkan tidak jarang ada yang mendapatkan hidayah dan menjadi mualaf karena mendengarkan syiar Islam. Justru pernyataan Menag tersebut yang memicu gangguan keharmonisan umat beragama saat ini. Jelaslah bahwa di balik SE 5/2022 terjadi Islamofobia yang dibungkus dengan proyek moderasi untuk meredupkan syiar Islam dengan dalih mewujudkan harmoni sosial, tapi realitasnya berpihak kepada minoritas untuk meredupkan syiar Islam dan kebangkitan Islam.

SE tentang pengeras suara masjid sebenarnya bukan hal baru. Kemenag era Lukman Hakim Saifuddin sempat mengeluarkan SE 40/2018 yang isinya sama persis dengan SE Tahun 1978. Menurut Mustofa Nahwawardaya (Pemred Majalah Tablig PP Muhammadiyah) dalam diskusi "Yaqut, Toa dan Gonggongan Anjing" pada Jumat (25/02/2022), SE No. 5/2022 isinya agak sensitif dan tampak kajiannya tidak begitu matang. Kualitasnya downgrade dari SE sebelumnya, karena sebelumnya mengkaji secara geografis juga. Dalam SE tersebut, tidak disampaikan data jumlah pengaduan masyarakat akibat suara dari pengeras suara masjid dan mushala.  Ketidakjelasan latar belakang dan lemahnya data pendukung inilah yang menjadikan alasan “menjaga keharmonisan” terlalu mengada-ada.

Jika kita lihat latar belakang dikeluarkannya SE 5/2022, ada segelintir orang yang merasa suara azan, selawatan, bacaan Al-Qur'an dan syiar dari masjid - musala sebagai "polusi suara". Didasarkan pada temuan lapangan, katanya terjadi kebisingan yang muncul dari pengeras suara masjid - di Jakarta, setidaknya terdapat 4.000 masjid. Adanya keluhan artis Zaskia Adya Mecca yang mempertanyakan keetisan menggunakan pengeras suara masjid untuk membangunkan sahur (detik.com, 23/04/2021). Kasus penistaan agama di Tanjung Balai, Sumatera Utara, dengan terdakwa Meiliana yang divonis 18 bulan penjara karena berawal dari pengeras suara masjid. Ditambah dengan keluhan nonmuslim yang bernama Rina yang dimuat oleh media internasional yang berpusat di Perancis sehingga Indonesia dikecam sebagai negara muslim intoleran (CNN Indonesia, 14/10/2021) kemudian dikeluarkanlah Surat Edaran tersebut.

Sebenarnya banyak persoalan yang lebih utama dan penting untuk diselesaikan umat dan para pejabat di negeri ini daripada meributkan azan dan pengeras suara. Dewan Masjid Indonesia (DMI) pernah menyampaikan data 65 persen Muslim di Indonesia ternyata belum bisa membaca Al-Quran. Padahal Al-Quran adalah kitab suci kaum Muslim. Membaca Al-Quran berbuah pahala dan syafaat di akhirat. Mempelajari dan mengamalkan Al-Quran adalah kewajiban.

Demikian pula dalam masalah shalat. Andaikan Pemerintah mau menelusuri bisa jadi akan didapatkan data bahwa masih banyak Muslim di tanah air yang melalaikan kewajiban shalat lima waktu. Tugas negaralah untuk mengedukasi, menertibkan, dan menghukum mereka yang meremehkan pelaksanaan shalat.  Namun akibat sekularisme, ibadah dipandang sebagai urusan pribadi belaka. Tidak ada yang berhak memaksa, termasuk negara. Karena itu tidak sedikit orang yang enteng saja meninggalkan shalat. Padahal Nabi Saw. mengingatkan, "Perjanjian antara kita dengan mereka adalah shalat. Siapa saja yang meninggalkan shalat, maka ia telah kafir." (HR Ibnu Majah).

Para ahli ilmu sepakat bahwa orang yang sengaja meninggalkan shalat tanpa uzur hingga habis waktunya maka ia telah kafir. Para ulama Malikiyah dan Syafiiyah berpendapat bahwa orang seperti itu tidaklah kafir tetapi fasik dan ia diminta agar bertobat. Jika ia bertobat maka diterima tobatnya. Namun, jika ia tidak bertobat, ia mendapatkan sanksi hukuman mati sebagai sanksi (had). (Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Madzhâhib al-Arba’ah, 5/401, Maktabah Syamilah). 

Persoalan lain yang lebih utama dan penting untuk diselesaikan umat dan para pejabat di negeri ini daripada meributkan azan dan pengeras suara, adalah melepaskan diri dari cengkeraman kapitalisme dan oligarki. Segelintir orang berkuasa dan menzalimi rakyat. Kejahatan kapitalisme dan oligarki ini sudah demikian nyata. Terlihat dari naiknya harga-harga kebutuhan pokok seperti minyak goreng, kacang kedelai, dan sejumlah kebutuhan pokok lainnya. Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso pernah mengatakan bahwa pasar pangan di Indonesia hampir 100% dikuasai kartel atau monopoli. Ia mengatakan Bulog hanya menguasai 6%. Sisanya dikuasai kartel.

Kasus kelangkaan minyak goreng di tanah air juga adalah ironi. Pasalnya, Indonesia adalah negara dengan perkebunan sawit terbesar. Namun, perkebunan sawit itu dikuasai hanya oleh 29 taipan yang memiliki lahan separuh Pulau Jawa alias lebih dari 5 juta hektar. Industri minyak goreng pun dikuasai hanya oleh 4 konglomerat. Itulah sebabnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sama-sama menduga ada permainan kartel. Perusahaan minyak goreng menaikkan harga secara bersamaan, padahal mereka memiliki perkebunan sawit masing-masing. (TribunJabar, 26/01/2022).

Negara harusnya menjamin kebutuhan pokok rakyat dan mencegah serta menghukum permainan para pengusaha jika terbukti melakukan kecurangan, seperti menaikkan harga dengan sangat keterlaluan yang disebut ghabn fâhisy atau khilâbah (penipuan). Ataukah ini sengaja untuk mengalihkan isu agar masyarakat tidak mempermasalahkan hal tersebut dan sibuk dengan urusan toa masjid?

Penyebab utama adanya tudingan intoleransi kepada umat Islam sesungguhnya adalah buah dari kapitalisme dan sekularisme. Sekularisme adalah memisahkan agama dari kehidupan sehingga syiar agama Islam harus “diredam” karena dianggap mengganggu keharmonisan kehidupan bermasyarakat. 

Pengusung  kapitalisme begitu khawatir apabila syiar Islam berkembang. Oleh sebab itu, mereka melalui antek-anteknya melancarkan isu islamofobia dengan mengangkat persoalan intoleransi. Agama Islam ini seolah-olah begitu arogan dan tidak memperhatikan kehidupan umat beragama lainnya. Mirisnya, racun kapitalisme dan sekularisme ini telah mendarah daging di tubuh umat Islam di dunia saat ini, bahkan ada yang berpikir syiar agamanya sendiri sebagai gangguan. Atas nama toleransi dan demi dianggap muslim yang berpikiran global, mereka justru menjadikan dirinya kehilangan jati diri sejati.

Lebih aneh lagi, isu intoleransi hanya berlaku pada umat Islam–meskipun sebagai mayoritas umat beragama di negeri ini. Kita sering mendengar berita di beberapa daerah Indonesia yang jumlah nonmuslimnya mendominasi, tidak ada tindak tegas dari pemerintah jika ada kasus intoleransi. Contohnya, kasus pembakaran masjid saat Idul fitri di Tolikara, Papua, pada 2015 lalu oleh oknum Gereja Injili di Indonesia (GIDI). Pelaku hanya diserahkan ke polisi kemudian Presiden malah mengundang Ketua GIDI ke Istana Negara. Ataupun pelarangan hijab bagi pelajar muslimah di Bali dan Nusa Tenggara. Semua kasus itu tidak pernah mendapat label isu intoleransi.

Sekularisme juga melahirkan pluralisme hingga sinkretisme. Tidak sedikit kaum Muslim mencampuradukkan ibadah dan keyakinan mereka dengan umat lain. Sebagian dari mereka bahkan dipaksa mengikuti ritual agama lain karena aturan tempat bekerja atau lingkungan mereka tinggal. Di Bali, setiap tahun umat Muslim dipaksa untuk mematuhi aturan umat Hindu saat Hari Raya Nyepi. Mengapa hal ini tidak dipersoalkan oleh negara, khususnya Kementerian Agama?

Karena sekularisme pula umat Muslim di Tanah Air rentan mengalami pemurtadan. Pada tahun 2016, MUI pernah menyampaikan laporan bahwa setiap tahun ada 2 juta Muslim keluar dari agamanya di Indonesia. Ini menandakan lemahnya pembinaan dan perlindungan terhadap keimanan mereka yang semestinya dilakukan oleh negara.

Demikian pula kasus penistaan terhadap agama Islam yang semakin marak belakangan ini karena lemahnya penegakan hukum terhadap para pelaku. Bahkan sejumlah nama yang terkenal sebagai buzzer justru masih eksis dan terus menerus menyemburkan fitnah dan penistaan terhadap agama Islam. Seolah-olah mereka kebal hukum.

Ternyata gerakan Islamofobia tidak hanya terjadi di Barat sebagai jantung Kapitalisme tetapi juga terjadi di negeri-negari kaum Muslim, tidak terkecuali Indonesia. Di satu sisi, Islamofobia yang lahir dari kebencian Barat kepada Islam dan terjadi di Barat memang tidak mengherankan. Di sisi lain, hal ini menunjukkan sikap hiprokit (munafik/berpura-pura) karena menyalahi pandangan dan propaganda mereka tentang kebebasan.

Pandangan mereka tentang kebebasan dikalahkan naluri defence (pertahanan/pembelaan) mereka karena ideologi dan sistem mereka terbukti rapuh. Kapitalisme memang masih bisa bertahan setelah tambal sulam yang dilakukan dengan Sosialisme. Baik model Skandinavia, Jerman, maupun Rusia, dan Cina. Satu-satunya ketakutan dan kekhawatiran  mereka saat ini adalah bangkitnya kekuatan Islam. Karena itu, Islam dipecah-belah. Satu mereka rangkul, satu lagi mereka perangi. Meski akhirnya nanti semuanya mereka habisi.

Indonesia melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah menerapkan konsep pentahelix, yakni penanggulangan ideologi radikalisme dan terorisme dengan bekerja sama dan berkolaborasi secara multipihak yang melibatkan unsur pemerintah, akademisi, badan atau pelaku usaha, masyarakat, komunitas, media hingga pelaku seni. Maka, wajarlah muncul rilis pesantren yang "difitnah" berafiliasi dengan gerakan radikal/teroris, pendataan dan grading masjid, hingga terbaru tentang SE ini. Artinya, selama sekularisme - kapitalisme menguasai dunia maka arus islamofobia masih akan terus berlangsung. Karena targetnya adalah menghadang kebangkitan Islam dan menjauhkan umat dari Islam kafah.

Mereka sengaja menciptakan narasi kebencian kepada Islam yang kemudian dikenal dengan Islamofobia untuk menyerang Islam dengan harapan orang benci dan memusuhi Islam. Apapun yang berbau Islam diserang. Mulai dari jihad diidentikkan dengan terorisme, jilbab, bahkan sampai azan yang merupakan panggilan Allah yang mulia dibandingkan dengan “gonggongan anjing”. Gerakan ini marak terjadi di negeri kaum Muslim, Barat, dan Timur (Cina). Semua dilakukan secara masif dan sistemik karena secara global kapitalisme nyaris tumbang. Mereka menghadapi masalah di dalam ideologinya. 

Di sisi lain, perkembangan Islam sebagai agama yang sesuai dengan fitrah manusia terus mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini pantas terjadi karena Islam adalah agama Allah. Allah yang mempunyai Islam. Allah yang Menjaga Islam. Bahkan ketika Islam ditinggalkan di Hijaz atau bahkan dicampakkan, Allah hadirkan kaum dan wilayah lain yang memeluk, menjaga, dan memperjuangkannya. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
يُرِيْدُوْنَ لِيُطْفِـئُـوْا نُوْرَ اللّٰهِ بِاَ فْوَاهِهِمْ وَا للّٰهُ مُتِمُّ نُوْرِهٖ وَلَوْ كَرِهَ الْكٰفِرُوْنَ
"Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya." (QS. As-Saff 61: Ayat 8).

Dalam Islam, Allah SWT. telah menggariskan sejumlah rambu-rambu tentang bagaimana seorang muslim menyikapi keyakinan di luar Islam. Allah SWT. menyampaikan konsep toleransi (tasamuh) dalam konsep “Lakum dinukum waliyadin” yang artinya, “Untukmu agamamu dan untukku agamaku". Ini merupakan batasan yang jelas mengenai toleransi beragama.

Menghormati agama tidaklah bermakna menyeragamkan agama. Tidak juga memoderasi ajaran agama. Sebab, itu sama saja mengamputasi ajaran yang telah Allah patenkan. Silakan saja tiap-tiap penganut agama menjalankan keyakinan mereka dengan tidak memaksakan apa yang diyakini harus sama dengan ajaran agama lain. 

Misalnya syariat Allah mengenai jihad. Kaum moderat tidak boleh mengambil definisi jihad sebatas makna bahasa saja, yakni bersungguh-sungguh. Harus juga merujuk ke makna istilah jihad yang bermakna perang. Jangan juga memahami konsep jihad secara setengah-setengah. Sebab jika memahaminya tidak secara utuh, akan berbuntut kriminalisasi ajaran Islam. Islam akan dianalogikan dengan agama yang doyan perang. Padahal, konsep jihad juga ada syariatnya tersendiri. Demikian juga terkait keyakinan bahwa Allah itu satu, tidak beranak, apalagi lahir dari rahim seseorang. Dalam Islam, itu adalah akidah, meski konsep ini berbeda dengan keyakinan agama lain. Namun umat Islam tidak lantas menyerang agama lain karena perbedaan konsep ini.

Saat Kekhalifahan Islam tegak, di wilayah Spanyol waktu itu bahkan hidup berdampingan tiga agama. Di bawah sistem pemerintahan Islam, tiga agama ini hidup aman dan tenteram. Uniknya, meski syariat Islam berlaku untuk seluruh warga, yakni muslim maupun nonmuslim, semuanya merasa terlindungi di bawah kekuasaan Islam. Jadi, tidak terbukti jika ada yang mengatakan bahwa Islam menindas nonmuslim. Andai itu terjadi, mungkin saat ini tidak akan kita temukan gereja di Turki. Turki adalah salah satu wilayah bekas pusat pemerintahan Islam yang hingga saat ini masih terlihat jejak kejayaan Islam berikut bukti sejarah bahwa di negeri itu hidup berdampingan agama Islam dengan agama lainnya.

Tudingan intoleransi dan gagal menjaga harmonisasi tentu hanya fitnah yang mengada-ada. Sejarah mencatat bahwa ketika sistem kehidupan Islam terterapkan dalam bingkai Daulah Islamiah, kehidupan warga nonmuslim begitu diperhatikan. Mereka dapat menikmati segala fasilitas negara yang begitu menyejahterakan, mendapat penghidupan dan perlindungan, serta tetap dipersilakan beribadah sesuai kepercayaan mereka.

Buku The Great of Two Umars karya Fuad Abdurrahman menceritakan bahwa suatu hari di tengah jalan, Khalifah Umar bin Khaththab menjumpai seorang lelaki Yahudi tua yang sedang mengemis. Setelah diceritakan alasan ia mengemis dan merasa iba, ia pun membawa pengemis Yahudi itu ke bendahara Baitulmal seraya berkata, “Perhatikan orang ini dan orang-orang yang seperti dia. Beri dia sejumlah uang dari Baitulmal yang cukup dan dapat memperbaiki keadaannya.”

Peristiwa tersebut menunjukkan ketika sistem kehidupan Islam terterapkan, tidak akan ada isu intoleransi yang ditudingkan pada umat Islam. Pejabat dalam struktur negara Islam akan berlomba-lomba menggaungkan syariat Islam, tidak mungkin melakukan “penekanan” terhadap syiar Islam itu sendiri. Hak nonmuslim saja begitu dimuliakan oleh Islam, apalagi terhadap azan dan ajaran Islam lainnya. 

Sungguh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh penguasa saat ini. Menag sebagai pihak yang mengeluarkan kebijakan, masuk kategori penguasa. Penguasa yang menetapkan kebijakan atau peraturan yang bertentangan dengan syariah Islam, maka terkategori penguasa yang zalim. Rasulullah Saw. mendoakan kesusahan bagi para penguasa yang menindas umat beliau, “Ya Allah, siapa yang mengemban tugas mengurusi umatku kemudian dia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia. Siapa yang mengemban tugas mengurusi umatku dan memudahkan mereka, maka mudahkanlah dia,” demikian munajat beliau, sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim.

Sebagai umat muslim, sikap kita harus berani menolak moderasi beragama dan mengambil Islam kafah. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut: pertama, harus memahami bahwa moderasi beragama yang dimassifkan hari ini adalah bagian dari agenda politik penjajah untuk menghadang kebangkitan Islam. 

Kedua, harus mengetahui pemikiran-pemikiran utama dan turunannya, program-programnya dan agenda-agendanya. Karena apa pun narasinya, prinsip dasarnya adalah menjauhkan umat Islam dari pemahaman Islam yang kafah. Mereka menginginkan Islam yang moderat, yang toleran terhadap semua hal (semua agama, semua ideologi, baik kapitalisme, sosialis komunisme, sinkretisme, pluralisme, demokrasi, dll.) karena kebenaran bagi mereka relatif (Tidak boleh meng-klaim Islam sebagai satu satunya agama yang benar).

Dan yang ketiga, setelah kita memahami kerusakan dan bahayanya bagi umat Islam, kita diwajibkan untuk memahamkan kepada umat Islam tentang Islam kafah yang sebenarnya. Ada kewajiban bagi kita untuk melawan narasi jahat moderasi beragama ini (kewajiban berdakwah). Sehingga umat Islam akan memenangkan opini dengan agenda Islam kaffahnya sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah SWT. dalam QS Al-Baqarah: 208 yakni masuk ke dalam Islam secara kaffah/menyeluruh, bukan moderat. 

Allah SWT telah menjadikan syariah Islam sebagai solusi bagi setiap persoalan manusia. Penerapan syariah Islam secara kaffah adalah wujud ketakwaan. Ketakwaan pasti akan mendatangkan ragam keberkahan. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman, "Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan." (QS. Al-A'raf: 96).

Syariah Islam yang diterapkan oleh Khilafah akan mampu melindungi dan menyelesaikan persoalan yang dihadapi umat. Khilafah akan menghapuskan paham sekularisme, melindungi akidah umat dan membimbing serta menjaga ibadah mereka. Khilafah tidak akan membiarkan ada muslim yang tidak menunaikan kewajiban ibadah seperti shalat lima waktu atau ada muslim yang buta huruf Al-Quran. Khilafah akan mencegah pemaksaan ibadah agama lain terhadap kaum Muslim, sebagaimana juga melarang pemaksaan ajaran Islam terhadap orang-orang kafir.

Khilafah juga akan menciptakan regulasi untuk memberantas praktik bisnis kartel dan monopoli serta kecurangan lainnya. Negara Islam akan melindungi pengusaha, konsumen, majikan, dan buruh, sehingga semua mendapatkan haknya sesuai syariah Islam. Inilah kemuliaan ajaran Islam.

Dan tugas kita harus menjadi agen Islam kaffah, bukan Islam moderat. Untuk menjadi agen Islam kaffah yang membendung arus moderasi beragama dengan mengaruskan Islam kaffah, tidak bisa dilakukan secara individual/personal. Hal ini membutuhkan dakwah secara berjemaah. Allah SWT. telah mewajibkan dakwah secara berjemaah dalam Al-Qur'an surah Ali Imran ayat 104. Dengan berjamaah kemenangan Islam akan terwujud. 

Wallahu'alam bishshawab.



Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar