Oleh: Dianti
Keseharian ibu rumah tangga tak terlepas dengan benda yang bernama “sembako”. Bagaimana jadinya jika salah satu dari sembilan bahan pokok tersebut mengalami lonjakan kenaikan harga yang cukup mencengangkan. Tentu semakin menambah beban hidup di tengah kesulitan hidup pada masa pandemi ini, yang tak akan disebutkan satu-persatu pada tulisan ini. Karena saat ini kita akan membahas persoalan yang sedang booming, yaitu masalah “mahal dan kelangkaan minyak goreng”.
Tak hanya ibu rumah tangga yang terkena imbas dari persoalan minyak goreng ini, namun juga para pedagang eceran minyak goreng di pasar dan di warung-warung, pedagang gorengan dan makanan lainnya yang menggunakan minyak goreng sebagai bahan baku.
Harga minyak goreng yang semakin naik berimbas kepada pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) keripik pisang di wilayah Ciamis, Jawa Barat. Tingginya harga minyak goreng di pasaran membuat penjualnya terancam gulung tikar.
Berdasarkan data Dinas Koperasi Usaha Kecil Menengah dan Perdagangan Kabupaten Ciamis, harga minyak goreng curah di pasaran mencapai Rp19.375. Sedangkan harga minyak goreng juga masih tinggi yakni Rp19.500 per kilogram. Harga minyak goreng tersebut merupakan harga termahal dalam beberapa tahun terakhir. (https://www.medcom.id/nasional/daerah/GKdjnmpb-imbas-kenaikan-harga-minyak-goreng-pelaku-umkm-gulung-tikar)
Ini hanya salah satu contoh saja imbas dari persoalan mahal dan langkanya minyak goreng. Pihak yang terkena imbasnya lagi-lagi adalah rakyat kecil dan para pelaku usaha kecil yang selalu jadi korban ketidakberdayaan pemerintah dalam mengurusi permasalahan yang terjadi.
Melansir dari CNBC, berikut beberapa faktor kenapa harga minyak goreng mahal:
(https://www.cnbcindonesia.com/news/20220106062500-4-304982/bunda-jangan-ngamuk-ini-3-penyebab-harga-minyak-goreng-mahal)
1. Lonjakan Harga Minyak Nabati Dunia
Kenaikan harga minyak goreng saat ini dipengaruhi oleh harga crude palm oil (CPO) dunia yang naik menjadi US$ 1.340/MT. Kenaikan harga CPO ini menyebabkan harga minyak goreng ikut naik cukup signifikan. Namun selain CPO ada juga faktor lain yakni kenaikan harga minyak nabati dunia. Penyebab kenaikan harga karena gangguan cuaca yang menekan tingkat produksi minyak nabati dunia.
2. Permintaan Biodiesel untuk Program B30
3. Pemerintah memiliki program B30 yakni mewajibkan pencampuran 30% Biodiesel dengan 70% bahan bakar minyak jenis Solar. Tujuan program ini ialah agar semakin mengurangi laju impor BBM sehingga meningkatkan devisa negara.
4. Pandemi Covid-19
Pandemi Covid-19 menjadi penyebab utama harga minyak goreng terus merangkak naik. Pasalnya akibat Covid-19 produksi CPO ikut menurun drastis, selain itu arus logistik juga ikut terganggu. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Oke Nurwan menyebut turunnya pasokan minyak sawit dunia seiring dengan turunnya produksi sawit Malaysia sebagai salah satu penghasil terbesar.
“Meskipun Indonesia adalah produsen crude palm oil (CPO) terbesar, namun kondisi di lapangan menunjukkan sebagian besar produsen minyak goreng tidak terintegrasi dengan produsen CPO. Dengan entitas bisnis yang berbeda, tentunya para produsen minyak goreng dalam negeri harus membeli CPO sesuai dengan harga pasar lelang dalam negeri, yaitu harga lelang KPBN Dumai yang juga terkorelasi dengan harga pasar internasional. Akibatnya, apabila terjadi kenaikan harga CPO internasional, maka harga CPO di dalam negeri juga turut menyesuaikan harga internasional,” jelas Oke
Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 6 Tahun 2022 tentang Penetapan HET Minyak Goreng Sawit telah dikeluarkan pemerintah, imbas dari harga minyak goreng yang tak kunjung turun dari kisaran harga Rp20.000 per liter selama 4 bulan terakhir. Kebijakan pemerintah ini mulai berlaku dari tanggal 1 februari 2022.
Dalam Pasal 3 dituliskan bahwa pemerintah menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk minyak goreng curah sebesar Rp11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana sebesar Rp13.500 per liter, dan minyak goreng kemasan premium Rp14 ribu per liter.
Namun meskipun telah dilakukan intervensi pemerintah melalui Permendag nomor 6 tahun 2022 realita di tengah masyarakat harga minyak goreng tetap mahal dan kelangkaan terus terjadi, bahkan terjadi fenomena panic buying di tengah masyarakat.
Jika kita cermati masalah minyak goreng yang mahal dan langka ini terjadi akibat dari tata kelola pemerintah yang buruk, tidak bisa selalu dikaitkan dengan kenaikan harga minyak nabati dunia.
Kebijakan yang pemerintah keluarkan ini, ibarat istilah bahwa pemerintah saat ini lebih suka mengobati akibat dari suatu penyakit, tanpa meneliti akar masalahnya yang bisa menyelesaikan persoalan sampai ke akarnya.
Pemerintah lebih menggandeng pengusaha besar dalam operasi pasar minyak goreng murah dari pada pedagang pasar tradisional. Bukti dari ketidakadilan dalam operasi pasar ini adalah minyak goreng dengan harga Rp 14.000 mayoritas masyarakat bisa dapatkan melalui pasar ritel dibandingkan pedagang pasar tradisional.
Keberpihakan pemerintah dalam pelaksanaan operasi pasar minyak goreng murah tidak memprioritaskan masyarakat menengah ke bawah, tidak mungkin pedagang di pasar akan mengikuti kebijakan HET dari pemerintah ketika stok minyak lama mereka (dijual dengan harga murah) masih banyak tersisa, jangan paksa pedagang di pasar tradisional untuk rugi. Seperti itulah jika kebijakan yang dikeluarkan tidak menyentuh akat masalah, malah menambah keruwetan masalah.
Pangkal persoalan minyak goreng ini adalah penguasaan usaha kelapa sawit dan juga minyak goreng, serta berbagai produk turunannya yang berada di tangan korporasi. Kebijakan harga eceran tertinggi (HET) yang berlaku selama ini, baik atas minyak goreng ataupun komoditas pangan lainnya, sama sekali tidak efektif untuk menstabilkan harga dan justru menimbulkan kondisi distorsi ekonomi.
Dalam implementasi kebijakan pengurusan kebutuhan rakyat, negara sama sekali tidak boleh bergantung kepada pihak mana pun, baik korporasi ataupun negara-negara asing.
Hal tersebut terlihat dari data penguasaan lapangan usaha di sektor ini yang memang didominasi oleh korporasi-korporasi besar, sementara negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator.
Kebijakan domestic market obligation (DMO) pun menurutnya hanya menunjukkan ketakberdayaan negara di hadapan korporasi yang akhirnya harga minyak goreng untuk kebutuhan rakyat tergantung pada korporasi.
Kepentingan negara pun tersandera dalam kekuasaan korporasi ini. Seperti misalnya kita lihat bahwa ekspor yang dilakukan oleh perusahaan kelapa sawit ataupun perusahaan CPO ini ternyata menjadi pemasukan negara nomor dua selain pajak.
Diketahui, kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng akhirnya disolusi Pemerintah dengan dua kebijakan. Pertama, mewajibkan para eksportir crude palm oil (CPO) untuk memasok 20% volume ekspor tahunannya untuk kebutuhan dalam negeri sebagai kewajiban DMO. Kebijakan ini berlaku sejak 27/1/2022.
Kedua, berlaku sejak 1/2/2022, yakni penetapan ulang HET melalui Permendag 6/2022 untuk tiga jenis minyak goreng siap edar, yakni curah (Rp11.500/liter), kemasan sederhana (Rp13.500/liter), dan kemasan premium (Rp14.000/liter).
Seharusnya negara menetapkan kebijakan untuk rakyat dalam rangka menjalankan kewajiban sebagaimana ketetapan Allah dan Rasul-Nya, yaitu untuk mewujudkan pengurusan yang benar dan tepat terhadap segala urusan rakyat.
Kuncinya adalah negara harus menjalankan syariat Islam secara kafah, termasuk dalam pengurusan pangan. Mulai dari hulunya, yaitu sektor produksi; hingga pada konsumsi, yaitu bagaimana agar setiap individu rakyat mampu dan bisa mengakses bahan kebutuhan pokok mereka terkait kebutuhan minyak goreng ini.
Sistem Islam meniscayakan adanya peran utama negara sebagai penanggung jawab atas seluruh urusan dan kebutuhan rakyat, serta tidak bergantung pada pihak mana pun.
Ada beberapa kebijakan utama yang akan diambil oleh negara Islam. Pertama, mengatur kembali masalah kepemilikan harta yang sesuai Islam. Individu dan swasta tidak diperbolehkan menguasai harta milik umum.
Seperti hutan, misalnya, yang hari ini dijadikan sebagai perkebunan milik pribadi oleh para korporasi. Apalagi kemudian hutan-hutan dibuka dengan cara-cara yang merusak sehingga dampak dari kerusakan itu diderita oleh masyarakat secara umum.
Kedua, negara harus menjamin ketersediaan pasokan barang di dalam negeri, terutama mengupayakan dari produksi dalam negeri dengan mengoptimalkan para petani dan para pengusaha lokal. Apabila kebutuhan masih kurang, maka bisa diambil opsi impor dari luar.
Ketiga, negara melakukan pengawasan terhadap rantai niaga sehingga tercipta harga kebutuhan atau barang-barang secara wajar dengan pengawasan.
Pasar akan terjaga dari tindakan-tindakan curang, seperti penimbunan, penipuan, dan sebagainya. Pengawasan ini pun ditetapkan oleh negara dengan adanya struktur tertentu di dalam negara Islam, yakni Qadhi Hisbah.
Kunci terakhir, adalah kembalinya fungsi politik negara yang benar sebagai penanggung jawab dan pelindung bagi rakyat, serta penerapan syariat Islam kaffah.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar