Drama Minyak Goreng di Negeri Produsen


Oleh: Imas Royani, S.Pd.

Bak sinetron di Nusantara yang kehadirannya begitu menghebohkan dan tayang hingga puluhan episode, begitulah yang terjadi dengan minyak goreng yang kini menempati ratting tertinggi melebihi artis papan atas. Betapa tidak, mulai dari kota hingga pelosok desa selalu yang dibahas adalah tentang minyak goreng. Ceritanya pun semakin hari semakin pelik dan berhasil mengocok emosi. Mulai dari menghilangkannya Nona Migor (minyak goreng), lalu tiba-tiba ada pahlawan kesiangan yang berusaha menyelamatkan dengan senjata andalannya penetapan HET. Namun ternyata senjatanya malah membuat  Nona Migor diculik oleh segerombolan mafia. Setelah menempuh perundingan, akhirnya sang pahlawan kesiangan menyerah pada penculik. Dan demi mendapatkan kembali Nona Migor, harus ditebus dengan tebusan yang mahal dan menelan banyak korban.

Itulah sekelumit sinopsis dari drama “Nona Migor”. Dan pada realitanya, apa yang terjadi pada minyak goreng di tanah air jauh lebih mengharu-biru. Berdasarkan info grafik yang dikeluarkan muslimahnews.net pada 19 Maret 2022, krisis minyak goreng bermula pada November 2021 dimana harga minyak goreng mulai mengalami kenaikan. Harga minyak goreng kemasan bermerek naik hingga Rp24.000/liter. Pemerintah lantas mematok kebijakan satu harga, yakni Rp14.000/liter.

Pada 27 Januari 2022, Kementerian Perdagangan (Kemendag) menerapkan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO). Dengan ini, Mendag Lutfi menyatakan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng berlaku baru. HET minyak goreng menyebabkan harga turun per 1 Februari 2022 dengan perincian HET sebagai berikut: Curah Rp11.500/liter; Kemasan sederhana Rp13.500/liter; Kemasan premium Rp14.000/liter. Dengan kebijakan ini, minyak goreng justru langka di pasar.

Akhirnya pada 16 Maret 2022, Pemerintah mengambil kebijakan revisi HET. Kemendag merilis aturan HET Rp14.000 untuk minyak curah dan mengembalikan harga minyak goreng sesuai harga pasar. Kemudian Kemendag melangsungkan rapat kerja dengan Komisi VI DPR pada Kamis (17/03/2022). Mendag Lutfi mengaku tidak bisa mengontrol mafia minyak goreng dan terpaksa harus menyerahkan harga ke pasar. Benar saja, setelah Mendag Lutfi mengibarkan bendera putih sebagai tanda menyerah, minyak goreng kembali melimpah, tetapi dengan harga dua kali lipat dari sebelumnya. 

Memang dalam sistem  sekuler kapitalistik, kehadiran para mafia pangan akan tumbuh subur karena sudah sepaket dengan implementasi sistemnya. Maka secara otomatis pemberantasan mafia pangan) pun tidak akan mungkin terealisasi apabila konsep pengaturan dan sistem kehidupan kita masih menggunakan sekuler kapitalistik yang justru makin menumbuhsuburkan para mafia. Meski  Mendag Lutfi koar-koar mengancam untuk menangkap para mafia minyak goreng, yaitu pihak-pihak yang melakukan ekspor dengan cara-cara melawan hukum, yang melakukan pengemasan ulang atau repack minyak goreng curah untuk dijual kembali dengan harga yang lebih tinggi, baik itu yang mengalihkan minyak subsidi ke minyak industri ataupun juga yang mengekspor ke luar negeri serta menjual dengan harga yang tidak sesuai dengan HET.

Dalam sistem  sekuler kapitalistik, sangat mengagungkan kebebasan individu termasuk kebebasan untuk memiliki dan berusaha, serta sangat mengakomodir sifat rakusnya manusia. Sementara, sistem pengelolaan kehidupan dari konsep neoliberalisme telah meminggirkan peran negara, tetapi di pihak lain memperbesar peran swasta. Dengan demikian, lepasnya pengelolaan pangan dari tangan negara menjadikan kelompok-kelompok swasta dan korporasi saling bersaing mengambil keuntungan dari pemenuhan hak-hak mendasar masyarakat tanpa mempedulikan apakah halal atau haram. 

Sungguh berbeda dengan sistem Islam. Islam telah menetapkan melalui sabda Rasulullah Saw. bahwa imam atau Khalifah ibarat penggembala dan hanya dia yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya atau rakyatnya. Oleh karena itu, semua pengaturan urusan pangan yang berkaitan dengan tanggung jawab pemenuhan hajat masyarakat dan individu per individu maka harus dilaksanakan sepenuhnya oleh negara. Tidak boleh dialihkan kepada pihak lain. Mulai dari pengaturan produksi, distribusi, dan impor yang berkaitan dengan stabilitas pemenuhan pangan rakyat. Sekalipun semua rantai usaha pertanian pangan boleh dilakukan atau diusahakan oleh individu namun negaralah yang memiliki kewenangan di dalam mengaturnya. Dengan demikian akan menghalangi proses-proses atau aktivitas yang menyebabkan terjadinya penumpukan pangan di beberapa pihak tertentu atau korporasi-korporasi pangan besar.

Untuk pengawasan dan penegakan sanksi, negara Islam juga memiliki suatu struktur yang khusus yaitu qadi hisbah yang akan melakukan pengawasan di pasar-pasar untuk menindak pelanggaran-pelanggaran yang mengganggu hak-hak masyarakat, seperti pencegahan serta pemberantasan terhadap praktik-praktik penipuan, kecurangan, kartel harga, penimbunan barang, dan sebagainya. Sanksi yang ditetapkan di dalam Islam pun sangat mampu menyelesaikan berbagai macam kasus pelanggaran secara cepat, tepat, serta memberikan efek jera. 

Nabi Saw. Bersabda, “Siapa yang melakukan menimbun makanan terhadap kaum muslim, Allah akan menimpakan kepada dirinya kebangkrutan atau kusta.” (HR. Ahmad). Penimbunan yang dimaksud adalah penimbunan berbagai komoditas perdagangan, bukan saja makanan. Tujuannya agar harga menjadi mahal. Lalu mereka menjualnya untuk mendapatkan keuntungan berlebih.

Adapun menyimpan stok makanan, termasuk minyak goreng, untuk keperluan rumah tangga atau untuk bahan baku usaha seperti yang dilakukan pedagang makanan bukan termasuk penimbunan yang dilarang. Dalam hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. pernah menyimpan bahan makanan pokok untuk kebutuhan keluarganya selama setahun.

Praktik monopoli pasar termasuk kartel adalah cara perdagangan yang diharamkan Islam. Praktik perdagangan seperti ini hanya menguntungkan para pengusaha karena mereka bebas mempermainkan harga. Sebaliknya, rakyat tidak punya pilihan selain membeli dari mereka. Inilah kezaliman nyata.

Nabi Saw. memperingatkan para pelaku kartel dan monopoli pasar ini dengan ancaman yang keras, “Siapa saja yang memengaruhi harga bahan makanan kaum muslim sehingga menjadi mahal, merupakan hak Allah untuk menempatkan dirinya ke dalam tempat yang besar di neraka nanti pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Dalam hadits lain Rasulullah Saw. pun bersabda, “Siapa saja yang menimbun makanan selama 40 malam, maka sungguh ia telah berlepas diri dari Allah dan Allah pun berlepas diri dari dirinya.” (HR Ahmad).

Dalam Islam, negara tidak boleh kalah oleh para pemilik kartel. Negara harus memberangus praktik kartel dan monopoli perdagangan. Sebab, salah satu kewajiban negara adalah melindungi hajat hidup masyarakat serta menjaga keamanan dan ketertiban, termasuk dalam perdagangan.

Khalifah Umar ra. memberlakukan larangan praktik monopoli di pasar-pasar milik kaum muslim. Khalifah Umar ra. pernah bertanya kepada Hathib bin Abi Balta’ah, “Bagaimana cara engkau menjual barang, Hathib?” Ia menjawab, “Dengan utang.” Khalifah Umar lalu berkata, “Kalian berjualan di pintu halaman dan pasar milik kami, tetapi kalian mencekik leher kami. Kemudian kalian menjual barang dengan harga sesuka hati kalian. Jualah satu shâ’. Bila tidak, janganlah engkau berjualan di pasar-pasar milik kami atau pergilah kalian ke daerah lain dan imporlah barang dagangan dari sana. Lalu juallah dengan harga sekehendak kalian!” (Rawwas Qal‘ahji, Mawsû’ah Fiqh Umar bin al-Khaththâb, hlm. 28).

Khalifah Umar tidak hanya membatasi praktik monopoli terhadap barang-barang kebutuhan pokok dan hewan, tetapi bersifat umum terhadap setiap barang yang mendatangkan mudarat (kerugian) bagi orang-orang jika barang itu tidak ada di pasaran. Imam Malik meriwayatkan dalam Al-Muwaththa’, bahwa Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. pernah mengatakan, “Tidak boleh ada praktik monopoli di pasar-pasar milik kami.” (Rawwas Qal’ahji, Mawsû’ah Fiqh Umar bin al-Khaththâb, hlm. 29).

Bukan hanya melarang praktik perdagangan monopoli dan kartel, Negara Khilafah juga menghukum para pelakunya. Khilafah juga berhak melarang mereka berdagang sampai jangka waktu tertentu sebagai sanksi untuk mereka. Tindakan ini terutama akan ditujukan kepada para pengusaha dan pedagang besar. Sebab, merekalah yang paling mungkin melakukan tindakan zalim tersebut.

Selain itu, Negara Khilafah akan memprioritaskan kebutuhan negeri untuk rakyat dibanding untuk keperluan ekspor. Khilafah juga akan menghapus berbagai kebijakan yang menimbulkan mudarat bagi rakyat. Sebab, menimpakan mudarat kepada siapa pun, apalagi terhadap rakyat, adalah kemungkaran. Nabi Saw. bersabda, “Tidak boleh ada bahaya dan yang membahayakan orang lain.” (HR. Ibnu Majah dan ad-Daraquthni).

Hal ini ditopang oleh pegawai dan aparat negara yang memiliki kualifikasi khusus, diantaranya: memiliki ketakwaan kepada Allah, memahami tentang konsep-konsep syariat secara umum, juga kompeten di bidangnya. Semua pelaksanaan aturan-aturan ini dan berjalannya struktur negara Khilafah di dalam mengurusi urusan pangan masyarakat didasarkan kepada penegakan sistem kehidupan Islam secara kaffah. Didukung ketakwaan individu rakyat dan keteladanan dari para penguasanya. Dan untuk membangun ketakwaan individu harus dilakukan berbagai edukasi kepada masyarakat, terutama edukasi yang berlandaskan kepada akidah Islam dan pemahaman syariat Islam yang dilakukan secara terus-menerus.

Betapa indahnya hidup dalam naungan Khilafah. Rindu ini akan segera terobati jika kita semua menyatukan visi dan misi untuk mengganti sistem kufur rusak kapitalis dengan sistem Islam kaffah. Wallahu’alam bishshowab.




Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.

Posting Komentar

0 Komentar