Oleh : Yunita Purwadi
Kisah pilu Mariance, pekerja migran asal Nusa Tenggara timur (NTT) yang sedang mencari keadilan karena mendapat perlakuan sadis dari majikannya di Malaysia sungguh memprihatinkan. Ia menceritakan selama berbulan-bulan mengalami penyiksaan fisik oleh majikannya. Kepalanya dihantam ikan beku, hidungnya patah karena seringnya mendapat pukulan, salah satu telinga pun sudah tidak berbentuk karena banyak hantaman oleh sang majikan. Mariance sering mengalami demam karena luka-luka yang tidak pernah diobati. Sekujur tubuhnya menjadi sasaran penyiksaan majikannya. Hingga polisi menjemputnya setelah 8 bulan lamanya ia mengalami mimpi buruk itu. Kisah ini bukanlah kisah baru. Sebelumnya ada Adelani Lisau, pekerja migran yang dianiaya majikannya hingga tewas di Malaysia. Dan masih banyak lagi kisah tragis lainnya yang jumlahnya mencapai ribuan. Dari ribuan kasus yang menimpa pekerja rumah tangga Indonesia di Malaysia, ratusan diantaranya kasus penganiayaan termasuk penyiksaan fisik.
Menurut Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Hermono mengatakan, “korban terus berjatuhan dari gaji tak dibayar, penyiksaan, dan lain-lain”. Beliau pun mengatakan, “tak tahu kapan ini akan berakhir”. Walaupun pemerintah sudah mengeluarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 4 Tahun 2023 tentang perlindungan dan pelayanan bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI) namun nyatanya PMI masih mengalami tindak kekerasan atas berbagai kasus yang menimpanya. Pemerintah melihat bahwa banyaknya kasus yang dialami oleh Pekerja Migran Indonesia (PMI) karena melewati jalur unprosedural. Padahal jika mengingat MoU yang disepakati oleh Indonesia-Malaysia seharusnya penyaluran pekerja migran dilakukan satu pintu (One Channel System). Namun pihak Malaysia menyalahi kesepemahaman tersebut dan membuka Maid System Online. Inilah yang membuka celah adanya oknum atau mafia untuk mengeksploitasi dan perdagangan manusia (Human Trafficking).
Maraknya pekerja migran Indonesia bukanlah semata tentang Permenaker di atas. Namun secara akar masalah ini merupakan buah dari kemiskinan yang melanda rakyat Indonesia. Ditambah sempitnya lapangan kerja yang mengakibatkan masyarakat sulit memenuhi kebutuhan pokok. Kemiskinan yang terjadi saat ini merupakan kemiskinan yang bersifat struktural. Yaitu salahnya sistem yang diterapkan. Masyarakat sulit mendapatkan akses-akses pendapatan di sekitarnya. Pengolahan Sumber Daya Alam (SDA) yang berlimpah seharusnya dikelola negara untuk kepentingan rakyatnya, bukan diprivatisasi oleh swasta. Kemiskinan ini bukan karena negerinya yang miskin namun lebih mengarah pada tata kelola yang keliru. Hermono pun mengatakan dalam wawancara dengan BBC, bahwa Indonesia merupakan negara yang besar namun rakyatnya menjadi pelayan di negeri orang. Begitu pula dengan kurangnya kemampuan dan rendahnya keterampilan menjadikan PMI rentan terhadap kekerasan.
Pengelolaan SDA Ala Islam.
Sumber Daya Alam (SDA) sejatinya milik rakyat. Negara mengelolanya dan hasilnya diperuntukkan untuk kesejahteraan rakyat. Negara wajib memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya per kepala dengan pemenuhan yang sempurna. SDA tidak boleh diserahkan pada swasta atau pihak asing. Sebagaimana Rasul mengingatkan bahwa padang, api, dan tanah berserikat atas kaum muslimin. Ini maknanya kaum muslimin memiliki hak atas apa-apa yang dihasilkan dari pengolahan SDA tersebut. Ini sifatnya umum sehingga individu tidak boleh memilikinya walaupun ia mampu membelinya. Jika pengolahan SDA ini benar dan didistribusikan secara merata di tengah rakyat maka tidak akan ada kesenjangan antara kaya dan miskin. Namun kapitalisme ini justru yang menjadikan beberapa individu menguasai hajat hidup orang banyak. Seperti tahun 2019, separuh aset nasional dikuasai hanya 1% penduduk Indonesia. (Tempo Bisnis).
Berbeda dengan pandangan Islam yang memandang bahwa harta harus menyebar, tidak boleh bertumpuk pada sekelompok orang. Tugas negaralah yang nanti akan mendistribusikan hasil kekayaan SDA kepada seluruh rakyatnya. Tata kelola SDA yang dibawahi oleh sistem ekonomi Islam akan mengantarkan terjaminnya seluruh kebutuhan rakyat (sandang, pangan, papan, sekaligus kesehatan, pendidikan, dan peradilan). Negara pun akan membuka lapangan kerja seluas-luasnya untuk laki-laki. Sehingga kaum ibu tidak perlu pergi ke luar negeri lagi untuk mencari sesuap nasi. Sistem inilah yang akan memanusiakan manusia dengan memberikan perlindungan, kesejahteraan, dan kenyamanan dalam menjalani kehidupannya. Jika sistem Islam ini diadopsi maka berakhirlah berbagai kisah tragis para pekerja migran Indonesia (PMI).
Wallahu ‘alam bishshowab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar