Oleh: Asham Ummu Laila (Relawan Opini Konawe Selatan)
Perkembangan dunia yang begitu pesat di era serba digital, menyebabkan manusia seakan tidak dapat hidup dan beraktivitas tanpa digital dan internet. Berdasarkan hasil survei Asosiasi penyelenggara jasa internet Indonesia (APJII), per 2022, dari 270 juta jiwa penduduk Indonesia, lebih dari 210 juta diantaranya merupakan pengguna internet. APJII merinci bahwa 99,16% pengguna internet berasal dari kelompok usia 13 -18 tahun; 98,64% usia 19–34 tahun, dan 87,30% usia 35–54 tahun (apjii.or@id, 7/2022).
Hal ini berpengaruh terhadap pertumbuhan nilai kontribusi ekonomi digital Indonesia, diprediksi akan mencapai hingga 18% total produk domestik bruto (PDB) atau sekitar Rp4.531 triliun pada 2030 mendatang. Prediksi ini menunjukan meningkatan hingga sampai lima kali lipat dibanding saat ini yang hanya 4%, (Liputan 6, 19/6/2022).
Besarnya potensi tersebut menjadikan transformasi digital sebagai prioritas utama negara anggota G20 karena transaksi ini dianggap sebagai kunci keberlanjutan ekonomi dengan cara mendorong paradigma organisasi eksponesial, yakni perusahaan memanfaatkan teknologi dan mempekerjakan lebih banyak karyawan bertalenta teknologi dan cerdas. Sehingga para pemuda didorong agar bisa memiliki keterampilan yang mumpuni dan meningkatkan kemampuan kapasitas digitalnya.
Sudah pasti yang menjadi sasaran utama pelaku ekonomi di gital adalah pemuda. Karena usia muda merupakan fase produktif pada diri manusia. Pada fase ini, progresivitas generasi berada pada puncaknya. Ditambah tingginya akses para pemuda terhadap internet maka semakin besar potensi para pemuda dijadikan “aset“. Para pemuda disasar sebagai pelaku utama yang akan mendorong sekaligus mendongkrak nilai ekonomi digital pada eradigitalisasi.
Dalam pandangan kapitalisme, digitalisasi merupakan hal yang rentan akan menyibukkan para pemuda untuk sekedar mengejar kepentingan materi hingga terlena dan akhirnya lupa bahwa sesungguhnya mereka para pemuda memiliki potensi intelektual yang hakiki sebagai generasi. Sayang hal ini di perparah pula dengan lajunya arus ide sekularis dan liberal yang juga terus menyerang dengan mengikis potensi bahkan menghilangkan identitas para pemuda muslim.
Melalui arus digitalisasi promosi ide kebebasan dan gaya hidup hedonis semakin muda didapat. Seperti belum lama ini terjadi, media sosial mempopulerkan tren Citayam Fashion week yang menjadikan sebagian pemuda muslim ikut-ikutan mengejar popularitas, mereka dengan santainya menampakan aurat di depan umum, berlenggak lenggok dengan penampilan tidak senonoh dan sebagainya. Ironisnya tren ini kemudian menyebar hingga ke beberapa daerah bahkan ke pelosok, dengan mengatas namakan pelestarian budaya.
Akibat lain dengan adanya digitalisasi adalah munculnya Islamofobia, alhasil banyak kaum muda semakin jauh dari ajaran Islam. Namun di sisi lain, serangan pemikiran dan budaya asing juga semakin tidak bisa dihindari. Malah dicitrakan sebagai tren menarik dan estetis. Gaya hidup ala Barat dan sikap konsumtif berlebihan bukan menjadi sesuatu yang asing bagi para pemuda karena sudah begitu dekat bahkan lekat dengan kehidupan mereka. Tentu kondisi semacam itu akan membahayakan para pemuda, khususnya para pemuda muslim mereka berada dalam bahaya besar karena identitas ke Islaman mereka dipertaruhkan.
Sesungguhnya, digitalisasi merupakan produk peradaban yang sifatnya universal dan alat yang pengaruhnya bergantug kepada motif yang memakainya atau menggunakannya. Karena itu pengruh digitalisasi hari ini di pengaruhi dan ditentukan oleh sistem yang di terapkan negara yang juga tidak lepas dari kebijakan yang berlaku. Sebagaimana sistem kapitalis yang menempatkan materi sebagai tujuan hidup, maka digitalisasi akan dipandang sebagai alat untuk mengumpulkan materi semata. Sehingga dalam penggunaannya pun mereka akan memakai prinsip kebebasan, berbagai perangkat digital semata-mata akan digunakan untuk mendapatkan keuntungan dan kesenangan tanpa landasan agama yang benar.
Berbeda halnya dalam sistem Islam, yang menempatkan ibadah (Ridho Allah) sebagai tujuan hidup, sehingga memandang bahwa segala sesuatu harus dipergunakan dengan selalu menghadirkan kesadaran akan hubungan manusia dengan Allah SWT sebagai sang pencipta. Karena itu digitalisasi akan dipandang sebagai karunia Allah yang sehingga dalam penggunaanya pun senantiasa harus terikat pada syariat-Nya, dengan tujuan untuk mengumpulkan pundi pahala sebanya-banyaknya agar dapat meraih ridho-Nya.
Karena itu solusi terbaik untuk memastikan arus digitalisasi berjalan baik tanpa merusak fitrah dan mengancam identitas generasi adalah melepas diri dari jebakan digitalisasi yang membajak potensi dan merusak identitas diri mereka beralih ke sistem terbaik yang sesuai fitrah dan mampu menuntaskan segala persoalan kehidupan yaitu penerapan Islam yang sempurna oleh negara. Wallahu’alam Bishawab
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar