Oleh : Maya Dhita (Pegiat Literasi)
"Kami ada dan terus berlipat ganda. Panjang Umur Perjuangan!"
Lantang suara Koordinator Media BEM SI 2022, Luthfi Yufrizal, menunjukkan eksistensi mahasiswa. Disebutkan akan ada 1000 massa aksi yang akan menyuarakan pendapat dari mahasiswa seluruh penjuru tanah air pada tanggal 11 April ini. (www[dot]m[dot]liputan6[dot]com, 11/4/2022)
Mahasiswa kembali turun ke jalan setelah sekian lama vakum. Tampaknya gejolak permasalahan dalam negeri mulai membuat mereka terusik. Entah karena malu dianggap apatis atau murni peduli. Yang jelas mereka mulai panas saat penguasa menyalahgunakan otoritas.
Berbagai tuntutan diajukan. Paling kencang tentang penolakan penundaan pemilu atau masa jabatan tiga periode. Menuntut pemerintah untuk mendengarkan aspirasi rakyat, bukan partai. Menjemput aspirasi rakyat sebagaimana diajukan pada aksi massa sebelumnya yaitu tanggal 28 sampai 11 April 2022. Menuntut pemerintah untuk menyampaikan kajian disertai 18 tuntutan mahasiswa kepada presiden yang sampai saat ini belum ditindaklanjuti. (www[dot]google[dot]com, 11/4/2022)
Sepertinya partai oposisi akan tersenyum karena usahanya diperingan oleh Mahasiswa. Tidak perlu terjun langsung, cukup mengawasi dari kejauhan dan menunggu hasil. Namun, bisa jadi mereka ikut andil entah itu sengaja mengkonter pemikiran atau dugaan adanya elite partai yang menunggangi aksi. Apapun bisa terjadi di sistem demokrasi. Terlalu banyak kepentingan-kepentingan politik yang harus diakomodasi dengan menghalalkan berbagai cara.
Demokrasi meniscayakan terjadinya perang politik kepentingan. Demokrasi melahirkan aturan-aturan batil yang malah menimbulkan permasalahan baru. Tak jarang aturan yang berlaku dihapus atau diubah untuk melancarkan kepentingan yang lain. Bahkan dibuat pula undang-undang sapu jagat yang mampu melegalkan yang ilegal.
Demokrasi juga menyuburkan praktik politik transaksional. Kebijakan menjadi alat tukar pembiayaan kampanye politik yang berbiaya fantastis. Hal ini yang menjadikan oligarki lebih berkuasa dari penguasa.
Penguasa menjadi pengusaha dan pengusaha bertindak sebagai penguasa hanya bisa terjadi di sistem demokrasi. Bagaimana bisa di saat rakyat bergulat dengan pandemi covid yang tak kunjung usai, sang menteri malah menjadikan vaksin, alat screening virus dan obat-obatan sebagai ladang bisnis. Padahal tugas seorang pemimpin adalah meriayah bukan membuat sengsara.
Mahasiswa sebagai agen perubahan seharusnya mampu memahami konteks perubahan itu sendiri. Apakah segala tuntutan yang diajukan mampu mengubah tatanan kehidupan menjadi lebih baik dan sejahtera, atau hanya mengatasi masalah hilir saja. Bahkan lebih parah jika ternyata pemerintah tidak merespon tuntutan tersebut dan malah bersikap otoriter dengan melanjutkan agenda politiknya.
Perubahan akan bersifat permanen dan menyeluruh saat dilakukan secara mendasar. Bukan hanya sekedar mengganti kebijakan, atau mengganti pemimpinnya saja, tetapi sistem yang harus diubah. Ideologinya yang harus diganti. Tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari aturan buatan manusia.
Islam mengatur segalanya dengan sempurna. Hanya ideologi Islam yang mampu membawa keadilan dan kesejahteraan hakiki. Membuang segala bentuk penyelewengan hukum syarak.
Sistem Islamlah yang seharusnya diperjuangkan oleh Mahasiswa. Tolaklah demokrasi yang jelas merugiakan rakyat dan bertentangan dengan syariat Islam.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar