Oleh: Ai Sopiah
Palestina, negeri para nabi, kini kembali membara. Pasukan Zionis dengan tega menyerang kaum muslim yang sedang menjalankan ibadah puasa. Korban pun berjatuhan, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Mereka syahid di tangan tentara kejam dan tidak beradab.
Dikabarkan, 158 warga Palestina terluka dalam kekerasan ketika pasukan Israel menahan ratusan warga, seperti dikutip dari Aljazeera, Sabtu (16/04/2022).
Video yang beredar online, menunjukkan warga Palestina melempar batu dan polisi menembakkan gas air mata dan granat. Yang lain menunjukkan jamaah membarikade diri mereka di dalam masjid di tengah apa yang tampak seperti awan gas air mata. Itu adalah kekerasan paling serius di tempat suci dalam hampir satu tahun. Warga Palestina melihat pengerahan besar-besaran polisi di Al-Aqsa sebagai provokasi.
Lembaga layanan medis darurat Bulan Sabit Merah Palestina mengatakan, telah mengevakuasi sebagian besar korban luka ke rumah sakit. Lembaga tersebut mengatakan salah satu penjaga di lokasi ditembak di mata dengan peluru berlapis karet.
Mereka pun menyebut, pasukan Israel menghalangi kedatangan ambulans dan paramedis ke masjid, ketika media Palestina mengatakan puluhan jemaah yang terluka masih terperangkap di dalam kompleks.
Setengah abad lebih Palestina dalam cengkeraman Israel. Negara bengis itu mencaplok wilayah negeri—yang ditaklukkan Shalahuddin al-Ayubi—dengan rakus. Setelah mendapat restu dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1948, negara Zionis tersebut “resmi” berdiri. Sejak saat itulah nasib bumi para nabi menjadi kelabu.
Israel secara besar-besaran melakukan pengusiran terhadap 750.000 warga Palestina. Mereka menduduki 50% wilayah di sana. Namun, ternyata itu belum cukup. Zionis melakukan agresi hingga menyisakan 22% wilayah Palestina, yaitu Tepi Barat dan Gaza.
Lebih parah lagi, Trump (mantan Presiden AS) telah mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan menyisakan 15% wilayah bagi Palestina.
Melihat kejahatan ini, tidak satu pun negeri muslim yang berani bertindak. Mayoritas hanya mampu mengecam atau menyerukan solusi dua negara. Lebih dari itu, sebatas menjadi penengah untuk melakukan gencatan senjata. Kepedulian kaum muslim atas saudaranya di Palestina terasa kurang karena para pemimpinnya tunduk pada PBB.
Bentuk ketakpedulian lain dari masyarakat dunia adalah pembatasan berita mengenai kebrutalan Israel. Media sosial ikut memblokir setiap posting yang mengabarkan kondisi Palestina atau serangan negara Zionis. Sikap ini membuktikan bahwa media pun tidak banyak memihak Palestina. Wajar saja, kebanyakan pemilik media besar saat ini bukan muslim ataupun pro Islam, melainkan orang-orang yang pro Yahudi.
Dengan kejadian ini, kita dapat mengetahui bahwa dunia sedang buta. Mereka tidak mau melihat kebengisan Israel dan cenderung membiarkan negeri para nabi diserang terus-menerus. Ini adalah bukti bahwa dunia yang saat ini dikuasai kapitalisme tidak akan pernah menyelesaikan masalah Palestina.
Palestina adalah masalah kaum muslim dunia. Dalam sebuah hadits disampaikan bahwa kaum muslim satu dan yang lain ibarat satu tubuh. Jika bagian tubuh satu sakit, tubuh yang lain akan merasa sakit dan sigap menolong serta membantu agar rasa sakit itu hilang.
Rasulullah Saw. bersabda, “Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan panas (turut merasakan sakitnya).” (HR Bukhari no. 6011 dan Muslim no. 2586).
Hadits ini menjelaskan bahwa kaum muslim di dunia ini adalah saudara. Jika ada yang sedang terdzalimi atau merasakan musibah, menjadi kewajiban muslim lainnya untuk membantu. Tidak hanya meringankan bebannya, tetapi juga hingga membebaskan mereka dari kedzaliman yang ada, termasuk yang dialami muslim Palestina saat ini.
Dalam catatan sejarah, Palestina dua kali diperjuangkan oleh kaum muslim. Pertama oleh Khalifah Umar bin Khaththab. Kedua oleh Shalahuddin al-Ayubi. Hingga akhirnya Palestina menjadi tanah kharajiah, yakni selamanya tanah Palestina milik kaum muslim.
Atas dasar itu pula Khalifah Abdul Hamid II juga mati-matian mempertahankan Palestina yang akan direbut Yahudi.
Sayangnya, hal itu tidak lagi terjadi saat ini. Selama pemimpin negeri muslim masih merasa ada di bawah ketiak AS, mereka tidak akan berani melangkah. Di sisi lain, mereka (pemimpin negeri muslim) juga telah melakukan kerja sama dengan Israel. Hal ini membuktikan jika ikatan kepentingan ekonomi jauh lebih didahulukan daripada ikatan akidah.
Oleh karena itu, kaum muslim memerlukan kepemimpinan yang tegas, pemimpin yang memahami mana kawan dan lawan, imam yang mengutamakan keselamatan kaum muslim daripada sekadar kerja sama bilateral.
Amir seperti itu hanya dapat dijabat oleh seseorang yang menjadikan akidah Islam sebagai landasan berpikir sekaligus kepemimpinan berpikirnya.
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS Al-Hasyr: 7).
Seorang pemimpin yang taat Allah dan Rasul-Nya akan berusaha memenuhi seluruh perintah dan larangan-Nya, termasuk dalam menerapkan aturan Islam kaffah. Hukum Islam hanya bisa terterapkan dalam bingkai pemerintahan Islam.
Sebagaimana zaman sahabat dan generasi setelahnya, Islam yang sempurna hanya diperoleh dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah).
Di sisi lain, yang menyerang Palestina bukan sekadar kelompok separatis, melainkan sebuah “negara” yang dilindungi oleh negara adidaya. Oleh karenanya, untuk membebaskan Palestina, umat muslim juga membutuhkan negara adidaya yang dapat menyaingi Israel dan pelindungnya (AS).
Satu-satunya negara yang dapat menyaingi dan menghadapi AS hanya negara Islam, yakni yang menjadikan mabda Islam sebagai landasannya (Khilafah). Khilafah akan mengirimkan pasukan untuk membebaskan Palestina dari cengkeraman Israel, termasuk dari pengaruh AS. Khilafah juga akan berperan sebagai junnah (perisai) agar kaum muslim Palestina tidak teraniaya lagi.
Khilafah akan menyatukan negeri kaum muslim hingga menjadi negara adidaya seperti waktu silam. Hanya pada Khilafah, Palestina mampu menyandarkan harapan.
Wallahu a'lam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar