Oleh: Ratna Mufidah, SE
Bulan suci Ramadhan seharusnya menjadi bulan yang sakral untuk umat Islam, dimana mereka lebih khusyuk menjalankan ibadah melebihi bulan-bulan lainnya karena pahala yang dilipatgandakan oleh Allah SWT. Namun sayangnya, sebagian masyarakat tak menyadari hal tersebut, tak lain adalah kalangan usia muda alias remaja, yang justru membuat kegaduhan bahkan kejahatan dan kriminalitas meski di bulan yang penuh rahmat ini.
Tawuran antar geng yang bermula dari aktivitas membangunkan warga untuk sahur terjadi di Jakarta Barat hingga menewaskan seorang remaja. Tawuran terjadi pula di Serang Banten, dan Bekasi (kompas.id, 10/4/2022). Di Palembang saja, terdapat tiga titik tawuran remaja dimana ditemukan senjata tajam berjenis samurai (Suarasumsel.id, 11/4/2022). Bahkan, di Yogyakarta, kejahatan jalanan yang disebut klitih juga menimpa sekelompok remaja yang sedang santap sahur di warung kopi dan menewaskan seorang remaja (liputan6.com, 14/4/2022).
Sungguh sangat memprihatinkan bagi orang tua, keluarga maupun masyarakat secara keseluruhan apa yang terjadi pada generasi baik itu korban maupun pelaku tawuran. Pasalnya, di tangan merekalah segala harapan dan cita-cita orang tua berlabuh. Hati orang tua mana yang tidak sedih bila melihat buah hatinya terlibat tawuran bahkan terenggut nyawanya, atau menjadi pelaku kejahatan yang akhirnya harus masuk bui.
Sosok labil, mencari identitas diri dan penuh emosi seringkali dilekatkan pada sosok remaja. Namun, apakah semua gambaran masa remaja dari seluruh masa seperti demikian? Tentu tidak. Pelekatan remaja dengan gambaran sifat-sifat tersebut tak lepas dari akibat atau hasil produk sistem yang sedang diterapkan saat ini yaitu sistem kapitalis-sekular.
Sistem ini meniscayakan keterpisahan agama dengan kehidupan, sehingga agama tidak dijadikan landasan mengatur kehidupan termasuk dalam pendidikan generasi. Padahal baik-buruknya generasi tergantung kepada pendidikan yang diterimanya. Bila semenjak kecil tidak ditanamkan keimanan yang kokoh, mengenalkan siapa Tuhannya dan hakikat dia diciptakan untuk apa, wajar saja apabila pribadi dalam sistem ini akan terus-menerus mencari identitas diri walaupun sudah bukan usia remaja lagi.
Masa muda atau remaja adalah masa dimana seseorang mencapai kondisi fisik yang paling prima. Segala potensi, minat dan bakat yang tersimpan bisa dimunculkan dan dilejitkan pada usia ini sehingga menjadi jalan untuk kehidupan masa depan mereka nanti menjadi sosok yang mampu menggapai kesuksesan di dunia dan akherat dan bermanfaat bagi bangsa dan agama.
Tentu saja hal tersebut akan menjadi kenyataan apabila ada yang mengarahkan kehidupan pemuda/remaja ini berdasarkan tuntunan agama baik itu oleh orang tua, guru/ustadz di sekolah maupun penerapan sistem Islam oleh Negara. Karena Islam mengarahkan bahwa misi penciptaan manusia adalah menjadi khalifah di muka bumi. Setiap manusia diciptakan sesuai fitrahnya sebagai hamba Allah yang tujuan penciptaannya adalah menyembah Allah SWT. Makna menyembah tentu saja bukan hanya seputar ibadah mahdhoh semata, tetapi meliputi seluruh perintah dan larangan-Nya.
Dengan bimbingan dan pembinaan agama, akan terwujud sosok-sosok remaja/pemuda yang sangat membanggakan bukan hanya orang tua tetapi juga peradaban Islam. Sosok Ali bin Abi Thalib yang memutuskan mengikuti ajaran Rasulullah dalam usia 8 tahun sementara orang tuanya masih kafir, dan kemudian dengan kefaqihan ilmunya mendapat julukan babul ilm selain juga terpilih sebagai menantu Rasul.
Saad Bin Abi Waqqosh dipilih Rasul memimpin pasukan datasemen dalam usia 17 tahun. Muhammad Al Fatih dalam usia 21 tahun berhasil menaklukan Konstantinopel yang menjadi pusat kekuatan imperium Barat saat itu sekaligus mewujudkan bisyaroh Rasulullah selama 800 tahun yang lalu bahwa sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin yang mampu menaklukannya.
Dan masih banyak lagi tinta emas yang menggambarkan sosok generasi peradaban Islam yang hidup dalam naungan Islam sebagai sosok generasi dambaan umat dan agama, jauh dari sosok yang meresahkan orang tua maupun masyarakat yaitu labil, brutal dan kriminal.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar