Oleh: Imas Royani, S.Pd.
Pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) diusulkan untuk turut melibatkan masyarakat dalam soal pembiayaan. Usulan tersebut disampaikan oleh Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Sultan Najamuddin. Sultan menyatakan kalau program MBG bisa manfaatkan dana zakat. Penggunaan dana zakat itu, menurutnya, sekaligus bisa meringankan beban APBN.
“Saya sih melihat ada DNA dari masyarakat Indonesia itu kan dermawan, gotong royong. Nah kenapa enggak ini justru kita manfaatkan juga. Contoh, bagaimana kita menstimulus agar masyarakat umum pun terlibat di program makan gizi gratis ini. Di antaranya adalah, saya kemarin juga berpikir kenapa enggak ya, zakat kita yang luar biasa besar ini juga kita mau libatkan ke sana,” kata Sultan ditemui di Kantor DPD RI, Senayan, Jakarta, Selasa (14/1/2025).
Terkait hal itu, Wakil Ketua Umum MUI Anwar abbas buka suara. Menurutnya, ada perbedaan pendapat terkait penggunaan dana zakat untuk program MBG. Akan tidak menjadi masalah jika program itu untuk anak-anak yang berasal dari keluarga fakir dan miskin. Untuk itu, ia meminta agar pemerintah mau melakukan perhitungan kembali. Jika dirasa anggaran tidak cukup maka ia menyarankan penyelenggaraan dilaksanakan dalam beberapa hari saja.
hal senada juga disampaikan oleh anggota Komisi II DPR Mohammad Toha. Toha menilai usulan itu salah kaprah dan melenceng dari program Asta Cita pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Pasalnya, DPR telah setuju menganggarkan Rp71 triliun untuk MBG selama 6 bulan.Ada juga rencana penambahan Rp140 triliun pada Juli atau Agustus 2024.
“Sesederhana ini memahami peruntukkan zakat, apakah 82,9 juta pelajar yang ditargetkan menerima MBG tahun 2025 masuk 8 kategori tersebut? Apa kita tega mengkategorikan semua pelajar yang menjadi sasaran MBG itu fakir atau miskin. Ingat, program MBG ini untuk semua golongan, termasuk pelajar nonmuslim. Jangan sampai usulan ini justru mengarah pada penistaan agama,” ucap Toha. (SINDOnews, 17/1/2025).
Sungguh miris, Indonesia yang katanya tanah surga dimana tongkat kayu dan batu bisa tumbuh menjadi tanaman tetapi untuk MBG saja akan mengalokasikan dana zakat. Bukan kali pertama saja program pemerintah yang diwacanakan akan didanai dari zakat. Beberapa tahun lalu pun dengan kepemimpinan yang berbeda hal tersebut pernah mencuat, diantaranya untuk program SDGs, pemulihan pasca Covid-19, penanganan bencana alam, dll.
Padahal sudah sangat jelas dana zakat tidak sah secara syar’i dialokasikan untuk hal lain dengan cara apa pun dan dalam bentuk bagaimanapun, termasuk untuk mendanai program MBG. Sebab dana zakat adalah milik delapan asnaf.
Allah SWT. berfirman:
اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَآءِ وَا لْمَسٰكِيْنِ وَا لْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَا لْمُؤَلَّـفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَا بِ وَا لْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَا بْنِ السَّبِيْلِ ۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗ وَا للّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
"Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana." (QS. At-Taubah: 60)
Sudah maklum dalam syariat bahwa yang tidak memiliki berarti tidak boleh men-tasharruf-kan. Tasharruf adalah perbuatan atau perkataan yang memiliki akibat hukum (qaulun aw fi'lun lahu atsar hukm). Ringkasnya, tasharruf adalah perbuatan hukum. Misalnya, mengucapkan akad muamalah (tasharufat qauliyah), atau melakukan serah terima barang (tasharrufat fi'liyah). Men-tasharruf-kan sesuatu yang tidak dimiliki adalah batil menurut syarak.
Karena itulah Nabi Saw. bersabda, "Janganlah kamu menjual apa yang bukan milikmu (laa tabi' maa laysa 'indaka)." (HR. Ahmad).
Amil wajib hukumnya menyalurkan dana zakat kepada delapan asnaf. Jika tidak, berarti amil meninggalkan kewajiban itu dan berdosa. Suatu kewajiban pada dasarnya tidak boleh ditinggalkan, kecuali demi mengerjakan kewajiban lain yang lebih penting. Kaidah fikih menyebutkan, "Laa yutraku waajib illa li waajib (Suatu kewajiban tidak boleh ditingalkan kecuali karena mengerjakan kewajiban lain (yang lebih penting)." (Imam Suyuthi, Al-Asybah wa An-Nazha`ir).
Sedangkan MBG adalah gagasan/rayuan presiden terpilih saat berkampanye yang menjanjikan jika ia terpilih akan melaksanakan program tersebut. Dari namanya saja sudah disebutkan "gratis" seharusnya benar-benar gratis. Meski dalam kenyataannya, tetap saja tidak gratis karena pemerintah menaikkan pajak. Terlebih program tersebut bertujuan untuk mengentaskan kasus stunting. Bagaimana bisa terselesaikan jika ternyata faktor utama terjadinya stunting tidak diselesaikan?
Rakyat bukan tidak tahu menu bergizi, bukan pula tidak mau memberikan makanan bergizi, melainkan benar-benar tidak mampu sebab beratnya beban hidup yang harus ditanggung oleh rakyat di negara yang menganut sistem kapitalisme. Mahalnya harga bahan pokok, BBM, listrik, air, biaya pendidikan, biaya kesehatan, pajak, dll.
Sedangkan lapangan pekerjaan begitu sulit yang mengakibatkan banyak pencari nafkah sulit pula dalam memenuhi kewajibannya kepada keluarga yang menjadi tanggungannya. SDA yang begitu melimpah nyatanya hanya dinikmati oleh segelintir orang. Janji investasi akan membuka lapangan pekerjaan, nyatanya bukan untuk tenaga kerja lokal melainkan untuk TKA. Kalaupun memakai tenaga kerja lokal, gajinya jauh lebih rendah dan ditempatkan di bidang pekerjaan kasar pada level rendah.
Situasi keuangan pemerintah saat ini memang sangat berat. Keadaan ini akibat menumpuknya utang terutama di era darurat Covid-19. Tumpukan utang ini adalah akumulasi dari utang utang sebelum Covid-19 yang juga sudah sangat besar. Maka semua kebijakan keuangan dilakukan sepenuhnya untuk menjawab darurat keuangan negara.
Apalagi APBN yang dikelola secara sekuler kapitalistik memiliki skema pembelanjaan dan realisasi anggaran yang tidak jelas sehingga sering kali tidak efisien dan banyak terjadi kebocoran. Ini, misalnya, sebagaimana pernyataan Mendagri Tito Karnavian pada acara Penganugerahan APBD Award dan Rakornas Keuangan Daerah 2024 bahwa penggunaan anggaran di wilayah (daerah) tidak efisien. Tito menyampaikan ada wilayah yang menganggarkan Rp10 miliar untuk penanganan stunting, tetapi sebagian besar malah habis untuk rapat dan studi banding, yakni mencapai Rp6 miliar. Untuk evaluasi mencapai Rp2 miliar. Sedangkan yang jadi makanan untuk ibu hamil dan anak di bawah dua tahun hanya Rp2 miliar.
Hal krusial lainnya adalah bahwa pemasukan negara mayoritas berasal dari pajak sehingga peningkatan anggaran pendidikan dan kesehatan tetap akan ditanggung rakyat melalui pajak. Hal ini telah disahkan dalam UU APBN 2025. Pemerintah menargetkan tahun 2025 penerimaan perpajakan sebesar Rp2.490,9 triliun (Kemenkeu, 19-9-2024). Jumlah ini mencapai 83% dari total pendapatan negara yang mencapai Rp3.005,1 triliun.
Dengan demikian, peningkatan anggaran belanja negara, termasuk untuk pendidikan dan kesehatan, ekuivalen dengan peningkatan pajak dan retribusi, termasuk pajak dan retribusi di sektor pendidikan dan kesehatan. Pada akhirnya, lagi-lagi rakyat yang harus “dicekik” dengan pungutan pajak dan retribusi. Lantas, bagaimana rakyat bisa keluar dari kemiskinan?
Semua ini adalah konsekuensi penerapan sistem sekuler kapitalisme yang jauh dari fungsi riayah (mengurusi rakyat) dan junnah (melindungi rakyat), tetapi melayani kekuatan modal, yaitu para kapitalis yang menjadi cukong penguasa. Pengentasan kemiskinan dalam sistem sekuler kapitalisme hanyalah kebijakan populis yang sarat pencitraan, seperti MBG, bansos, dan lainnya demi mengesankan sebagai pemimpin yang pro terhadap rakyat, padahal aslinya justru banyak kebijakan yang menyengsarakan rakyat.
Berbeda dengan sistem Islam. Pengentasan kemiskinan dengan turunannya (stunting, gizi buruk, dll) dalam sistem Islam berbasis pada penerapan syariat Islam kaffah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Politik ekonomi Islam menjamin terpenuhinya kebutuhan primer (pokok) pada tiap-tiap individu rakyat secara menyeluruh dan membantu tiap-tiap individu di antara mereka dalam memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai kadar kemampuannya (Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam).
Negara Islam (Khilafah) menjalankan politik ekonomi ini dengan memenuhi kebutuhan pokok rakyat yang meliputi sandang, pangan, papan, keamanan, pendidikan, dan kesehatan. Pendidikan dan kesehatan termasuk dua sektor yang dijamin pemenuhannya dalam sistem Islam.
Khilafah memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya secara mandiri, tidak bergantung atau menyerahkannya pada swasta. Ini karena penguasa dalam sistem Islam berfungsi sebagai raa’in (pengurus rakyat) dan junnah (melindungi rakyat).
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw., “Imam (kepala negara) itu adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyat yang dia pimpin.” (HR Bukhari-Muslim). Juga sabda beliau Saw., ”Sesungguhnya imam (khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR. Muttafaqun ’Alayh).
Mekanisme pengentasan kemiskinan dalam Khilafah dijelaskan oleh Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Kitab Muqaddimah ad-Dustûr Pasal 149, “Negara menjamin lapangan kerja bagi setiap warga negara.”
Dengan adanya jaminan lapangan kerja ini, setiap rakyat bisa menafkahi keluarganya sehingga kebutuhan pokoknya tercukupi. Negara juga mewujudkan iklim usaha yang kondusif sehingga rakyat bisa bekerja dengan tenang dan stabilitas harga barang sehingga terjangkau oleh seluruh rakyat. Selain menjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, negara juga memampukan rakyat untuk memenuhi kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sehingga rakyat merasakan kemakmuran.
Hal ini dijelaskan dalam Pasal 154:
Negara memberikan solusi untuk memampukan setiap individu dari rakyat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkapnya dan menciptakan keseimbangan di masyarakat dengan cara-cara sebagai berikut.
– Negara memberikan harta-harta bergerak ataupun tidak bergerak yang dimiliki negara di baitulmal, dari harta fai dan lainnya.
– Negara memberikan tanah-tanah garapan kepada orang yang tidak memiliki lahan yang cukup. Adapun orang yang memiliki tanah dan orang-orang yang tidak mau menggarap tanah maka negara tidak akan memberikan kepada mereka. Negara memberikan subsidi bagi mereka yang tidak mampu mengolah lahan pertaniannya agar mereka memiliki kemampuan untuk menggarapnya.
– Melunasi utang orang-orang yang tidak mampu membayarnya dari harta zakat, fai, dan lainnya.
Khilafah memastikan bahwa harta kekayaan terdistribusi secara adil sehingga seluruh rakyat merasakan kemakmuran. Tidak ada ketimpangan dalam ekonomi. Ini sebagaimana terdapat dalam Pasal 153, “Negara selalu berusaha memutar harta di antara rakyat dan mencegah adanya peredaran harta di kelompok tertentu.”
Dengan mekanisme ini, tiap-tiap rakyat terbebas dari kemiskinan dan merasakan kemakmuran. Bahkan, orang-orang yang lemah pun merasakan kemakmuran karena negara mengurusi mereka. Dalam Pasal 152 disebutkan, “Negara menjamin biaya hidup bagi orang yang tidak memiliki harta dan pekerjaan atau tidak ada orang yang wajib menanggung nafkahnya. Negara menampung orang lanjut usia dan orang-orang cacat.”
Di bidang pendidikan dan kesehatan, Khilafah menyediakan layanan bagi seluruh rakyat dengan pembiayaan dari baitulmal. Muqaddimah ad-Dustuur Pasal 148 menyebutkan, “Pembangunan sarana pelayanan masyarakat yang vital seperti jalan raya, masjid, rumah sakit, dan sekolah mendapatkan biaya dari baitulmal.”
Juga Pasal 164 , “Negara menyediakan seluruh pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat secara cuma-cuma. Namun, negara tidak melarang rakyat untuk menyewa dokter, termasuk menjual obat-obatan.”
Kebijakan pengentasan kemiskinan dalam Khilafah, termasuk penyediaan layanan pendidikan dan kesehatan, dibiayai dari baitulmal, yaitu dari dua bagian. Pertama, bagian fai dan kharaj yang mencakup ganimah, fai, khumus, kharaj, jizyah, dan dharibah. Kedua, bagian kepemilikan umum yang mencakup tambang migas maupun nonmigas, laut, sungai, hutan, padang rumput, dan aset-aset yang diproteksi negara untuk keperluan khusus (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah). Selain itu, Khilafah juga memungkinkan pembiayaan untuk kemaslahatan rakyat, termasuk pendidikan dan kesehatan, dari wakaf oleh individu penguasa maupun rakyat.
Dengan mekanisme berdasarkan syariat ini, Khilafah mampu mengentaskan rakyat dari kemiskinan dan mewujudkan kemakmuran bagi seluruh rakyat. Negara tidak perlu mengadakan MBG apalagi jika pembiayaannya dari alokasi zakat, sebab dengan pengaturan sistem Islam rakyat telah sejahtera sehingga mampu menyediakan makanan bergizi bagi keluarganya setiap hari. Indonesia juga bisa seperti itu asalkan mengganti sistem yang dipakai saat ini dengan sistem Islam. Mari bersama-sama kita mewujudkannya.
Wallahua'lam bishshawab.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar