Oleh : Ummu Umar
Beberapa waktu lalu, harga beras mengalami kenaikan. Per 31 Mei 2024, harga eceran tertinggi (HET) beras bakal naik secara permanen. Pemerintah melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas) tengah menyiapkan aturan tentang penetapan HET relaksasi beras yang saat ini akan berlaku menjadi HET permanen. Sebelumnya, Bapanas memperpanjang HET relaksasi beras hingga 31 Mei 2024. Untuk setiap wilayah, HET beras premium dan medium naik Rp1.000/kg dari HET sebelumnya. Untuk wilayah Jawa, Lampung, dan Sumatra Selatan diberlakukan relaksasi HET beras premium Rp14.900/kg dari HET sebelumnya Rp13.900/kg.
Wilayah Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Bengkulu, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, dan Kepulauan Bangka Belitung, relaksasi HET beras premium diberlakukan Rp15.400/kg dari HET sebelumnya Rp14.400/kg. Untuk wilayah Bali dan Nusa Tenggara, relaksasi HET beras premium di Rp15.400/kg dari HET sebelumnya Rp14.400/kg. Ini juga berlaku sama di wilayah NTT dengan relaksasi HET beras premium Rp15.400/kg dari HET sebelumnya Rp14.400/kg. (CNN Indonesia, 25-5-2024). Dengan kebijakan ini, akankah kehidupan petani membaik?Beras adalah makanan pokok bagi masyarakat Indonesia. Penetapan HET permanen dengan kenaikan harga beras dari HET sebelumnya jelas membuat rakyat tercekik. Apa alasannya?
Pertama, beras adalah kebutuhan pokok pangan yang wajib ada di setiap rumah, baik orang kaya maupun miskin. Bisa kita bayangkan jika HET beras dinaikkan, rakyat miskin dan akar rumput adalah kelompok masyarakat yang paling terbebani dengan kebijakan tersebut. Di tengah impitan ekonomi yang kian mencekik, beras naik, ancaman pengang guran makin menukik. Bukankah ini akan memicu peningkatan angka kemiskinan? Dampak terburuknya adalah kelaparan dan stunting.
Kedua, keberpihakan negara kepada rakyat makin jauh dari harapan. Pasalnya, setiap kebijakan yang pemerintah tetapkan, selalu berimbas pada rakyat kecil. Kalaulah ada bantuan sosial, apakah negara bisa memastikan 25,90 juta penduduk miskin di Indonesia (menurut catatan BPS) mendapatkan bantuan secara rutin? Lantas, Bagaimana solusi dalam kenaikan beras yang terjadi?
Pangan, dalam hal ini kebutuhan pokok semisal beras, merupakan hal krusial. Alhasil, negara tidak boleh bergantung pada negara lain. Negara harusnya memberi subsidi besar bagi para petani agar mereka dapat memproduksi beras dengan biaya ringan dan keuntungan bisa besar.
Berkaitan dengan beras, pasti bicara tentang lahan pertanian, alat produksi, dan petani itu sendiri. Petani tanpa tanah pertanian bagaikan sopir tanpa mobil. Tanpa tanah, kehidupan petani akan tenggelam. Bisa kita saksikan hari ini betapa banyak lahan-lahan kosong bertuan, tetapi tidak dikelola. Di antara kebijakan yang akan diambil jika negara mau menerapkan sistem Islam adalah sebagai berikut,
Pertama, menghentikan impor dan memberdayakan sektor pertanian. Sejak menjamurnya sektor industri, pertanian seolah dipandang sebelah mata. Lahan pertanian kian digusur karena disulap menjadi bisnis real estate dan profesi petani pun kian langka seiring penggusuran lahan sawah milik petani. Akibatnya, Indonesia banyak kehilangan lahan pertanian yang sejatinya sangat cukup mewujudkan swasembada pangan.
Berdasarkan data BPS (2019), luas lahan kering nasional mencapai 63,4 juta ha (33,7% luas lahan Indonesia). Lahan yang sudah digunakan untuk pertanian lahan kering 8,8 juta ha, sedangkan lahan untuk pertanian lahan kering campur semak 26,3 juta ha dan untuk perkebunan seluas 18 juta ha.
Kedua, kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Intensifikasi dilakukan dengan meningkatkan produktivitas lahan yang sudah tersedia. Negara dapat mengupayakan dengan penyebarluasan dan teknologi budidaya terbaru di kalangan para petani; serta membantu pengadaan mesin-mesin pertanian, benih unggul, pupuk, dan sarana produksi pertanian lainnya.
Pengembangan Iptek pertanian ini penting agar negara secara mandiri melakukan produktivitas pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri, bukan malah meliberalisasi sektor pertanian untuk kepentingan industri asing. Negara tidak boleh melakukan ekspor pangan sampai kebutuhan pokok setiap individu terpenuhi dengan baik. Negara harus memberikan modal bagi siapa saja yang tidak mampu.
Ketiga, kebijakan distribusi pangan yang adil dan merata. Islam melarang penimbunan barang dan permainan harga di pasar. Dengan larangan ini, stabilitas harga pangan akan terjaga. Negara pun akan memastikan agar stok beras di pasaran tidak langka. Negara akan menindak tegas kartel dan mafia pangan yang berupaya memonopoli harga beras di pasar.
Demikianlah, Islam dengan sistem pemerintahannya (Khilafah) sangat serius mewujudkan ketahanan pangan dan pengelolaan pangan yang berkeadilan. Khilafah akan memberangus praktik-praktik perdagangan yang diharamkan. Pengelolaan pangan akan diurus di bawah kendali negara, bukan diserahkan pada swasta, apalagi pengusaha.
Penulis bertanggung jawab atas segala sesuatu di tiap-tiap bagian tulisannya. Dengan begitu, ia jugalah yang akan menanggung risiko apabila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian.
0 Komentar